Social Media

30 Menit Bareng Mas Hamzah: “Gus Dur adalah Mujaddid Humor”

Humor merupakan salah satu jembatan untuk mengkritik, menyampaikan pesan dengan cara menggelitik, serta termuat makna di baliknya. Para ulama NU, sudah lama dikenal dengan menyampaikan sesuatu melalui humor. Hal itu terkadang membuat sesuatu menjadi lebih bermakna, dapat dipahami meski kompleks, dan membuat suasana menjadi tidak beku.

Begitulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan buku yang ditulis oleh Hamzah Sahal (pendiri alif.id) yang berjudul Ulama Bercanda Santri Tertawa. Buku tersebut lahir karena keinginan untuk mencatat narasi-narasi kecil di setiap acara NU. Bagi Hamzah, biasanya para kiai akan sangat berat ketika membicarakan tentang agama, bangsa, Pancasila, dan sejenisnya.

“Di sela-sela itu ada narasi kecil yang tidak kalah pentingnya karena menggambarnya dunia batin kiai, NU dan para aktivisnya yang banyak tertekan pada waktu itu, entah tertekan karena kemiskinan, politik, atau cita cita yang tidak segera kunjung tercapai. Muncullah humor. Dari situlah, humor merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan untuk dicatat,” ucap Hamzah dalam acara #FestivalBulanGusDur pada sesi “30 menit Bareng Mas Hamzah”.

Acara yang dipandu oleh Heru Prasetya sebagai host ini membicarakan beberapa humor yang ditulis oleh Hamzah dalam bukunya. Salah satu humor yang terdapat dalam buku tersebut yakni humor yang diriwayatkan oleh Ngatawi Al-Zastrow.

“Ketika Gus Dur kencing di tengah jalan, kejadian itu merupakan Khowariqul Adah. Kejadian yang menyimpang dari kewajaran. Di sela-sela kencing itu, Gus Dur bilang bahwa mereka sedang pentas seni, sebab mengeluarkan air seni. Bayangkan seorang tokoh PBNU, orang besar di NU, kok bisa kencing di tengah jalan. Kalau kita lihat secara fikih tidak sah ceboknya, atau unsur yang lain. Daripada itu semua, dengan keadaan tersebut, justru Gus Dur mengeluarkan joke”, jelas Hamzah sambil tertawa.

Humor adalah hikmah

Narasi-narasi humor itu penting dikumpulkan untuk menyampaikan sesuatu dan tidak bisa disepelekan.

Sama seperti musik, humor sesuatu yang indisipliner dalam agama. Agama itu sifatnya serius, khusyu’. Tetapi orang-orang NU tidak melulu bicara agama itu shohih atau dhaif. Salah atau benar saja. Tetapi beragama ada yang namanya hikmah, kisah-kisah yang tidak ada dalam Al-Qur’an atau hadis bisa diambil hikmahnya. Orang-orang NU seperti kita, memaknai agama lebih dari itu, sehingga banyak pelajaran yang dapat kita ambil,” terang Hamzah.

Meskipun humor tidak resmi menjadi bagian dari Islam, tetapi tidak bisa lepas pula dari Islam. Humor itu seperti benci, cinta dan sedih, ataupun yang lain. Meskipun sebenarnya harus dipahami bahwa Islam mewanti-wanti bahwa humor berlebihan memang tidak boleh. Sama seperti cinta yang tidak boleh berlebihan.

Menurut Hamzah, Gus Baha juga sering bercerita tentang Nu’aiman, salah satu sahabat Rasulullah. Meskipun dia tidak terkenal sebagai sahabat yang agung, namun Nu’aiman sering menyampaikan humor. Di NU ada Gus Dur, Kiai Wahab Hasbullah, atau Saifuddin Zuhri yang sangat humoris.

Bahkan humor Kiai Wahab Hasbullah telah diselipkan ketika menentang kompeni atau Belanda. Ketika orang-orang di zamannya menjadi pegawai kompeni, Kiai Wahab Hasbullah menentangnya dengan berkata, “Jangan sekali-kali terbersit, apalagi bercita-cita menjadi ambtenaar (pegawai)! Karena ambtenaar itu singkatan dari ‘antum fin nar’ (kalian di neraka).

Gus Dur sang master humor

Ada bagian khusus yang terdapat dalam buku tersebut, yakni humor Gus Dur. Menurut Hamzah beberapa humor Gus Dur telah dikenal secara luas. Dalam humornya, Gus Dur sering kali menertawakan diri sendiri.

Humor tersebut merupakan khas Gus Dur. Meskipun demikian, bagi kalangan NU dan pesantren, Gus Dur bukanlah orang pertama yang menyampaikan sesuatu melalui humor. Tapi dialah mujaddid humor.

“Kalau masanya Kiai Wahab Hasbullah, Mahbub Djunaidi, mereka menyampaikan humor hanya untuk kalangannya. Tapi ketika jaman Gus Dur, humor yang disampaikan menjadi bernuansa lintas agama, lintas budaya, lintas golongan, lintas kelompok,” jelas Sahal

Ia mencontohkan misalnya, ada humor Gus Dur ketika ditanya tentang siapa orang yang paling dekat dengan Tuhan. Katanya, orang Buddha adalah yang paling dekat, karena mereka memanggil Tuhan dengan sebutan “Om”. Sedangkan orang Katolik juga mengaku sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan, karena memanggil Tuhan dengan sebutan “Bapa”. Gus Dur bingung sebagai orang Islam ketika ditanya seperti itu. Kemudian ia menjawab, “Boro-boro dekat, kita manggilnya aja lewat speaker”.

Humor di atas tidak lain merupakan sebuah kritik dengan menertawakan diri sendiri. Kritik terhadap speaker masjid yang terlalu keras, yang sampai saat ini masih menjadi polemik. Menurut Hamzah, Gus Dur menciptakan humor baru, meskipun kita tidak tahu adaptasi dari humornya siapa.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.