Social Media

30 menit Bareng Mbak Hilly: Mengupas Kebijakan Gender Gus Dur

“Hal yang perlu dipahami dari seorang Gus Dur adalah dia tidak mengaku dirinya seorang feminis, atau pembela kesetaraan gender. Akan tetapi, kita bisa melihat perilaku, kebijakan serta upaya Gus Dur untuk menciptakan kesetaraan gender,” ucap Ashilly Achidsti, penulis buku Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid dalam acara “30 menit Bareng Mbak Hilly: Gus Dur Presiden Adil Gender” #FestivalBulanGusDur.

Dalam obrolan yang dilakukan oleh Hilly dengan Adin Fahima selaku host, keduanya banyak menyinggung peran Gus Dur sebagai presiden dengan kebijakan yang mendukung pemberdayaan perempuan. Hilly, selaku penulis buku Gender Gus Dur menjelaskan dalam bukunya bahwa banyak pelajaran untuk masyarakat secara umum untuk memperjuangkan kesetaraan gender yang diteladankan oleh Gus Dur.

Bagi Hilly, kesukaannya terhadap kajian gender tidak lepas dari bacaan yang selama ini menemaninya. Berkenalan dengan gender sejak waktu SMA, membuatnya menekuni fenomena-fenomena kesetaraan gender yang selama ini mengalami ketimpangan cukup besar antara laki-laki dan perempuan.

Di samping itu, dengan latar belakang pendidikannya di kebijakan publik, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong dirinya untuk menulis kebijakan Gus Dur tentang kesetaraan gender. Ia melihat bahwa ada banyak sekali upaya yang dilakukan oleh Gus Dur untuk mewujudkan kesetaraan gender, salah satunya mensosialisasikan perihal gender ke pesantren-pesantren.

Upaya tersebut nyatanya banyak ditolak oleh banyak pesantren karena hal itu dianggap berasal dari Barat. Akhirnya gagasan tentang gender itu diterima dengan mengubah term “kesetaraan gender” menjadi “mitra sejajar” dan menjelaskan kaitan Islam dengan peran publik. Akhirnya, melalui penjelasan tersebut, pesantren-pesantren lebih menerima gagasan itu.

Gagasan Gus Dur tentang peran perempuan tidak lepas dari penafsiran perempuan di masa silam. Bagi Gus Dur, peminggiran perempuan dengan keberadaan hadis harus disesuaikan dengan konteks masalah yang terjadi dahulu, sehingga sangat tidak relevan jika dibawa pada saat ini.

Tidak hanya itu, kehidupan Gus Dur secara personal juga tidak lepas dari pemikirannya yang memahami kesetaraan gender. Buktinya, pola pengasuhan yang diterapkan oleh Gus Dur tidak hanya dibebankan kepada istrinya, Sinta Nuriyah Wahid, akan tetapi Gus Dur juga ikut andil dalam melakukan perannya sebagai seorang bapak yang juga terlibat dalam pengasuhan anak.

Gus Dur dan kesetaraan gender

Pada masa menjadi presiden, sirkel kebijakan yang diberlakukan oleh Gus Dur adalah menghadirkan perempuan sebagai subjek kebijakan.

“Presiden Abdurrahman Wahid mendorong perempuan supaya bisa terlibat dalam perencanaan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan yang diberlakukan, sehingga peran perempuan tidak hanya sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Meskipun demikian, Gus Dur tidak mempersoalkan sebutan “wanita” dengan “perempuan”,” terang Hilly.

Dalam konteks itu, Hilly menjelaskan bahwa Gus Dur mengubah Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Perubahan tersebut tidak lain sebagai bukti bahwa Gus Dur melibatkan peran perempuan dalam kebijakan yang diambilnya untuk menjadi subjek pengambil keputusan, serta melihat pelbagai kebutuhan perempuan agar berdaya dan mengembangkan dirinya.

Tidak hanya itu, Gus Dur sebagai sosok yang memperjuangkan HAM dan keadilan bagi masyarakat kecil, tidak bisa dilepaskan dari perjuangannya ketika membela buruh migran bernama Siti Zaenab yang telah divonis hukuman mati karena dituduh membunuh majikannya di Arab Saudi.

“Dalam kasus buruh ini, Gus Dur mengetahui masalah tersebut melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan pada waktu itu yaitu Ibu Khofifah Indar Parawansa. Kemudian, melakukan diplomasi tingkat tinggi yang cukup baik dengan menggunakan kedekatan dengan pihak Arab. Tidak hanya itu, Gus Dur juga menunggu ahli waris dari majikan yang tidak disengaja dibunuh oleh Siti Zaenab, di mana pada saat itu upaya yang dilakukan Siti Zaenab sebenarnya hanya untuk melindungi dirinya. Sehingga melalui upaya tersebut, kita dapat memahami bahwa diplomasi semacam itu perlu dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan, dalam hal ini Gus Dur sebagai presiden, untuk membantu buruh migran yang sedang mengalami permasalahan cukup serius”, jelas Hilly.

Selain itu, menurut Hilly, keteladanan Gus Dur yang perlu diadopsi oleh pemerintah saat ini adalah komitmen pemerintah untuk melindungi perempuan serta memberdayakan perempuan dengan pelbagai upaya. Di tengah kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan, pemerintah harus memberikan payung hukum yang jelas agar kehadiran negara bisa menjadi pelindung bagi masyarakatnya, bukan malah sebaliknya.

Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.