Social Media

Aak Abdullah Al-Kudus dan Kemanusiaan bagi Warga Kristen Korban Terorisme

Tengah hari tanggal 19 Desember 2020, pria tegap berambut gondrong itu memandang rumah kayu bercat putih di depannya. Sesekali ia menyentuh cat yang masih berumur beberapa hari, masih belum sepenuhnya kering. Aak Abdullah Al-Kudus, nama pria gondrong itu, menatap sejenak rumah yang berukuran hanya beberapa meter itu. Sejenak dia membayangkan peristiwa teror yang terjadi beberapa minggu sebelumnya.

Belum genap satu bulan sebelum kedatangan Aak, rumah bercat putih itu berwarna legam, rata dengan tanah akibat dibakar oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora. Rumah itu menjadi salah satu dari enam rumah yang dibakar pada tragedi berdarah 27 November 2020. Di rumah itu pula terjadi pembunuhan keji yang menewaskan Naka dan Pedi, si pemilik rumah dan dua warga lainnya, Yasa dan Pinu, yang semuanya beragama Kristen.

Dalam catatan perjalanan Aak di situs Gusdurian.net, Aak menceritakan dengan cukup detil bagaimana kelompok teroris biadab itu membantai empat warga desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Rumah Naka dan Pedi menjadi tempat pertama yang disatroni oleh kelompok teroris. Setelah membantai keduanya dengan keji, para teroris merampok semua barang di dalam rumah dan kemudian membakar rumah tersebut. Setelah rumah terbakar, mereka beralih ke rumah di sebelah kirinya yang berjarak 50 meter, menuju rumah Yasa. Di situlah para teroris membantai Yasa dan Pinu, dua korban tewas lainnya, untuk kemudian merampok barang seisi rumah tanpa membakarnya. Membayangkannya saja, saya merinding. Apalagi bagi warga seisi desa yang menyaksikannya langsung. Teroris biadab itu berhasil menebar ketakutan warga yang akhirnya berlari ke segala penjuru meninggalkan desa.

Total terdapat delapan rumah di desa Lemban Tongoa yang dibakar. Dua di antaranya milik warga Muslim. Satu rumah merupakan pos pelayanan ibadah warga desa, yang diberitakan di banyak media sebagai gereja. Empat rumah di antaranya rata dengan tanah, menyisakan empat bangunan lain yang rusak sebagian.

Aak Abdullah Al-Kudus datang ke desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dalam rangka menyalurkan bantuan dari Gusdurian Peduli yang ia pimpin. Gusdurian Peduli merupakan lembaga filantropi Jaringan Gusdurian yang sudah ia gerakkan sejak tahun 2014. Gusdurian Peduli adalah unit kerja Jaringan GUSDURian Indonesia yang lahir untuk melanjutkan nilai-nilai perjuangan almarhum Gus Dur di ranah kemanusiaan.

Bersama dua rekannya Yuska Harimurti dan Mukhibullah Ahmad, serta dengan jaringan luas komunitas Jaringan Gusdurian di berbagai penjuru Indonesia, Aak Abdullah Al-Kudus ikut menggawangi Gusdurian Peduli yang bertujuan untuk mengelola kerja-kerja Jaringan Gusdurian Indonesia di bidang tanggap bencana, pemberdayaan sosial dan ekonomi serta pengorganisasian relawan ke seluruh Indonesia.

Pernah Difatwa Sesat Karena Menanam

Aak Abdullah Al-Kudus lahir pada 12 Oktober 1974 di Klakah, sebuah dusun permai di kaki gunung Lemongan, Lumajang Jawa Timur. Ia adalah seorang muslim dan aktif di gerakan lingkungan. Sebelum terjun mengawal gerakan filantropi Gusdurian Peduli, Aak dikenal aktif bergerak melakukan konservasi dan penghijauan gunung Lemongan yang berdiri gagah di kampung halamannya.

Gunung Lemongan merupakan penyangga ekosistem di kabupaten Lumajang dan sekitarnya. Hutan di lereng gunung Lemongan menjamin aliran pasokan air bagi mata air di sekitarnya. Bukan hanya menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat Lumajang, gunung Lemongan juga menghidupi wilayah pegunungan di Kabupaten Probolinggo di lereng utara, yaitu Kecamatan Tiris dan Krucil.

Danau-danau di lereng Lamongan juga menjadi penyupali air di lahan-lahan pertanian. Ranu Lemongan yang dikenal pula dengan sebutan Ranu Klakah – kampung halaman Aak – selama ini mampu mengairi lahan pertanian seluas 650 hektare. Mata air di danau tersebut mampu mengalirkan berkubik-kubik air minum melalui pipa-pipa milik PDAM ke masyarakat yang ada di Kecamatan Klakah dan sekitarnya.

Akan tetapi, ekosistem gunung Lemongan terancam. Tidak kurang 6.000 hektare di kawasan hijau gunung Lemongan mengalami krisis. Kondisinya saat itu gundul dan kering kerontang. Bukit dan lereng hanya ditumbuhi ilalang bak padang savana. Kawasan hijau gunung Lemongan meranggas sejak tahun 2000an akibat aksi illegal logging.

Berangkat dari keprihatinannya atas gunung Lemongan yang kian kritis, Aak mendirikan Laskar Hijau, yang memberdayakan pemuda di sekitar dusunnya untuk menjaaga kelestarian gunung Lemongan. Aak memiliki inisiatif unik dalam melakukan gerakan penghijauan tersebut. Dia menggagas peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dia gabungkan dengan gerakan penghijauan menanam pohon. Dia menyebut peringatan tersebut dengan Maulid Hijau.

Gerakan konservasi yang ditekuni Aak bukan tanpa tantangan. Bahkan datang dari kaum agamawan salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia Lumajang. MUI Lumajang pernah memfatwa Aak sesat, karena mengaitkan maulid Nabi dengan cara yang dianggap “aneh”. Namun Aak kukuh pada pendiriannya. Dia justru makin mantap untuk mewakafkan waktu dan tenaga yang dimiliki demi konservasi gunung Lemongan.

Upaya yang dia rintis dengan tulus mendapat penghargan dari banyak pihak. Antara lain, Aak pernah meraih gelar penghargaan dari Melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila di tahun 2017. Aak Abdullah Al Kudus menjadi salah satu peraih penghargaan dari 72 orang penerima penghargaan dari seluruh Indonesia. Nama Aak Abdullah Al-Kudus bersanding dengan Alan Budi Kusuma, peraih medali emas bulu tangkis Olimpiade Barcelona 1992 dan Lisa Rumbeiwas, atlet Angkat Besi peraih medali perak pada Olimpiade Athena Tahun 2004.

Belajar Kemanusiaan dari Warga Lemban Tongoa

Dari perjalanan di Sigi, Aak mengaku belajar banyak dari kerukunan warga Lembon Tongoa. Tragedi pembunuhan November lalu dihembuskan oleh beberapa pihak sebagai konflik horizontal antar warga yang berbeda agama.

“Apa benar yang terjadi ini adalah perang antara Kristen dan Islam?” tanya Aak kepada kepala desa Lemban Tongoa di tengah perjalanannya di Sigi.

“Pak Kades langsung duduk tegak begitu saya tanya,” cerita Aak.

Dengan nada terkejut Pak Kades membantah,“Tidak benar itu!”

Dari informasi Kepala Desa Aak bercerita, sejak desa Lemban Tongoa ini ada, warga di sana hidup rukun. Tidak ada permusuhan karena agama. Warga hidup rukun tanpa memandang latar belakang suku dan agama.

“Dari Pak Kades pula, saya tahu kalau wilayah ini merupakan daerah transmigrasi pada tahun 1983. Sejak saat itu belum pernah sekali pun terjadi pertengkaran apalagi sampai berujung pembunuhan akibat agama maupun suku. Meskipun perbandingan antara umat Islam dan umat lainnya mencapai 40-60 persen, tapi warganya bisa hidup rukun,” papar Aak.

Di desa Lemban Tongoa terdapat banyak suku. Yang paling banyak dari suku Kaili khususnya dari sub etnis Kaili Da’a. Ada juga dari suku Kulawi, Toraja, Bugis, dan Jawa. Ketika aksi teror pembunuhan dan pembakaran terjadi pada 27 November 2020 di Dusun Lewono, semua warga naik semua ke lokasi kejadian untuk memberikan bantuan.

Solidaritas warga desa melampaui sekat agama dan kepercayaan. Aak mengingat lagi betapa warga Lemban Tongoa bergotong royong di tengah duka dan ketakutan mendalam akibat serangan teror itu.

“Bahkan saat pemakaman empat korban yang semuanya Kristen, yang menggali kuburannya adalah warga Muslim. Begitu pun ketika memasak untuk peristiwa duka ini, antara umat dari berbagai suku dan agama saling membantu.”

Situasi trauma yang menghantui berdampak pada kesejahteraan warga. Aak mengisahkan, Sejak 2017 warga di desa ini sering mengalami gangguan. Beberapa warga pernah disandera, perampokan berupa barang juga sering dilakukan oleh kelompok teroris. Kejadian 27 November 2020 itu saja yang berujung pada pembunuhan.

Menurut penelitian dari Mosintuwu Institute, pada tahun 2020 saja, kelompok teroris MIT telah merenggut sebelas nyawa warga di wilayah Sigi dan Poso, Sulawesi Tengah. Para teroris itu membunuh tidak pandang agama korbannya. Satu yang bisa dipastikan, kebanyakan dari korban kebiadaban teroris MIT berlatar belakang petani yang memanfaatkan lahan di pinggiran hutan tempat teroris bersembunyi. Tak ayal, petani diliputi rasa khawatir akan terjadi aksi teror susulan yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa mereka.

“Bahkan kebun jagung yang sudah siap panen dibiarkan terbengkalai begitu saja. Beberapa ada yang berani untuk memanen tapi mereka minta ditemani anggota Brimob yang bertugas.” Ungkap Aak.

Di tengah ketakutan warga itulah Aak terjun membawa bantuan dari Gusdurian Peduli. Gusdurian Peduli memberikan bantuan berupa 200 paket sembako berisi 5 kg beras, 2 kg gula, minyak goreng 2 liter, kecap, garam, sabun, dan masker. Atas masukan warga, Aak dan Gusdurian Peduli juga berupaya menyediakan jaringan internet di tiga titik, yaitu di Dusun Lewono, Dusun Tokelemo, dan di Balai Desa Lemban Tongoa.

Internet menjadi kebutuhan penting bagi warga desa yang letaknya terpencil ini. Ketiadaan internet membuat akses informasi dari dan ke luar desa ini terhambat. Persitiwa berdarah pada November lalu juga terlambat diantisipasi karena tidak adanya arus informasi yang cepat sampai kepada anggota Brimob dari Satgas Tinombala yang bertugas.

“Kalau saja kami segera tahu kejadian tersebut, mungkin kami masih bisa kejar teroris itu,” Sebagaimana dituturkan pimpinan prajurit di pos tersebut kepada Aak selama misi kemanusiaannya di Sigi.

Bagi Aak, perjalanannya ke Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah bukan sekadar mengantarkan bantuan dari para dermawan melalui Gusdurian Peduli. Melampaui itu, perjalanan ini adalah solidaritas kemanusiaan untuk melanjutkan inspirasi kemanusiaan yang telah diteladankan oleh Gus Dur. Mereka yang bukan saudara kita dalam keagamaan, hakikatnya adalah saudara kita dalam kemanusiaan. Terlebih sebagai seorang Muslim, Aak mantap menjalani peran sebagai Muslim untuk menebar kasih sayang bagi seluruh manusia tanpa terkecuali.

Bertepatan dengan Natal tahun 2020 lalu, Aak kembali mengenang rumah kayu sederhana bercat putih milik almarhum Naka dan Pedi, menghadirkan lagi keramahan seluruh penduduk Lemban Tongoa di ingatannya.

“Andai saja saya bisa menghubungi mereka melalui panggilan video, saya akan mengucapkan Selamat Natal bagi semua penduduk Kristiani di sana. Semoga saja saya bisa ke sana untuk mengirim hadiah Natal satu hari nanti,” pungkasnya.

___

Artikel ini kerjasama antara Islami.co dan PUSAD Paramadina

Sumber: islami.co

Editor Islami.co.