Social Media

Abdurrahman Wahid Sang Pembebas

Dalam ajaran Islam, ungkapan atau kata-kata teologi bukan lagi menjadi perkara yang baru. Teologi sudah menjadi layaknya makanan sehari-sehari dalam ajaran agama Islam.

Ada beragam penjelasan dan pendefinisian soal teologi itu sendiri. Ada yang mendefinisikan bahwa teologi merupakan seperangkat doktrin yang berasal dari langit lalu dianut oleh umat manusia. Sebagian yang lain memaknai teologi adalah dengan sebuah kepercayaan. Belum lagi meninjau teologi dari Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh, dan seterusnya. Apa pun itu pendefinisian teologi, saya kembalikan kepada pembaca mau mengartikannya dengan seperti apa.

Sekitar abad 20-an, ungkapan “Teologi Pembebasan” menjadi topik utama yang mewarnai dunia pemikiran akademik, baik itu dari kalangan Islam maupun non-Islam. Menelisik dari sejarahnya, Teologi Pembebasan adalah istilah khas yang pertama kali muncul dari belantara Amerika Latin. Istilah tersebut dimunculkan akibat reaksi dari sistem pembangunan ekonomi liberal yang hanya memperkaya pemilik-pemilik modal saja, namun semakin memiskinkan para buruh-buruh yang bekerja. Akibatnya, jurang antara pemilik modal dengan buruh semakin menganga. Para buruh semakin tidak percaya terhadap pembangunan, para buruh yang terjepit dan tertindas merindukan pembebasan.

Sejenak terpikirkan oleh saya, sesosok tokoh dari negeri yang nan jauh di sana, Ashghar Ali Enginer namanya, tokoh yang menulis buku Islam dan Teologi Pembebasan. Buku ini secara garis besar adalah kumpulan esai atas keresahan dirinya terhadap konteks yang ada pada waktu itu. Ia muak lantaran ajaran Islam yang tidak sampai menginjak bumi dan mengenai setiap sendi dari kehidupan masyarakat. Islam hanya seolah melangit tetapi tidak membumi. Utamanya dalam soal keadilan dan kesejahteran sosial.

Selain Asghar Ali Engginer yang jauh di sana, di Indonesia terdapat Abdurrahman Wahid. Tokoh yang dalam wacana, tutur kata, hingga tindakannya adalah untuk membebaskan mereka-mereka yang diperlakukan tidak adil dan diberantas hak hidupnya. Untuk itu, barangkali tidaklah berlebihan menyebutnya dengan sebutan “Abdurrahman Wahid Sang Pembebas”.

Satu waktu Gus Dur pernah berujar, “Nak, hidup Bapak itu pertama untuk Islam, kedua untuk Indonesia, ketiga untuk NU, baru keempat untuk keluarga”. Ucapan tersebut bukan sembarangan. Ini dibuktikan lewat perannya yang begitu banyak di berbagai tempat. Oleh karena wawasan pengetahuan dan luasnya pengalaman Gus Dur, kepekaannya antarsesama manusia tercipta: nyaris tidak ada setiap tindakan dan putusannya yang tidak menimbang nilai-nilai kemanusian.

Tentu kita ingat ketika Gus Dur bersama dengan tokoh-tokoh yang lain membuat Fordem (Forum Demokrasi). Fordem dibuat mana kala pemerintahan Indonesia pada saat itu duduk di singgasana kekuasaan yang antikritik dan berlaku semaunya. Fordem hadir untuk menjadi tandingan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena Gus Dur melihat, dibentuknya ICMI pada gilirannya akan menciptakan arus sektarian. Terlebih suara Islam yang diwakili ICMI menjadi alat pendukung kebijakan pemerintah.

Hematnya, dengan dibentuknya Fordem, Gus Dur menghendaki pola hidup kebangsaan yang saling bertoleransi antarsilang agama dan kebebasan menjalankan kepercayaanya masing-masing. Selain itu, Fordem juga menghendaki pembelaan individu-individu dan kelompok minoritas yang menjadi korban akan kesewang-wenangan pemerintah yang berkuasa. Gus Dur hadir dengan Fordemnya memberi napas segar kepada mereka yang minoritas.

Tak hanya itu, peristiwa bentrokan 27 Juli 1998 atau Kudatuli begitu meninggalkan bekas yang mendalam bagi sejarah politik Indonesia. Kerusuhan pecah diakibatkan persoalan kubu-kubuan di internal PDI kala itu. Massa mulai merangsek dan bentrokan terjadi. Langit-langit menjadi kelabu, lantaran asap membumbung ke angkasa dari gedung yang dibakar oleh massa. Entah siapa pelakunya, partai direbutkan, korban pun berjatuhan. Di mana Gus Dur pada saat kejadian itu terjadi? Bagaimana reaksi Gus Dur usai kerusuhan itu berlangsung?

Gus Dur hadir di tengah-tengah mereka yang bermurung hatinya, anak-anak yang melantur saban hari karena kehilangan bapaknya, bersama mereka yang merasa kehilangan harta dan tertimpa kerugian fisik. Gus Dur bersama aktivis HAM membuat posko pengaduan untuk membebaskan para korban dari rasa takut dan khawatir. Ia hadir untuk membela dan menemani para korban. Dilaporkan kejadian pilu itu menewaskan lima orang, ratusan lainnya mengalami luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang.

Itulah Gus Dur. Ia hadir membebaskan orang-orang yang merasa dirugikan dan menemani mereka yang minoritas. Ia membela yang benar tanpa melihat latar belakang agama maupun etnisnya. Dua kasus di atas adalah di antara contoh bagaimana Gus Dur membebaskan mereka yang minoritas dan diberlakukan tidak adil. Setiap jengkal napas upaya pembebasan Gus Dur semata untuk kemanusiaan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Ciputat, Tangerang Selatan.