Social Media

Agama dan Demokrasi

Pada saat ini tampak hubungan erat antara agama dan proses demokratisasi. Di mana-mana gerakan agama secara aktif mendorong upaya penegakan demokrasi. Dom Helder Cemara [1], seorang uskup agung di Brasil, menggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan tahun, dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada komunisme. Ia bahkan dikenal dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat. Terkenal ucapannya “Kalau saya mengumpulkan makanan untuk orang kecil saya disebut orang suci; tetapi kalau mempertanyakan sebab kemiskinan rakyat kecil itu, dengan segera saya disebut komunis”. Vinoba Bhave [2], orang suci Hindu yang berjalan kaki menjajaki anak benua India di tahun-tahun 1950-an dan 1960-an tanpa alas kaki, meminta kerelaan kaum bertanah luas untuk secara suka rela membagikan sebagian tanah mereka kepada kaum miskin tak bertanah, dengan demikian membangun demokrasi ekonomi. Sulak Sivaraksa [3], pemimpin awam kaum Buddha di Thailand, pernah diancam hukuman mati karena memperjuangkan kebebasan berbicara, termasuk mengkritik dan mempertanyakan kedudukan raja. Hanya berkat campur tangan tokoh-tokoh dunia seperti Margareth Thatcher [4] ia dapat terhindar dari eksekusi hukuman mati.

Di Indonesia pun demikian pula halnya. Para pemimpin gerakan agama silih berganti memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajahan dan kemudian memperjuangkan demokrasi, ketika sistem pemerintahan semakin lama semakin otoriter. Berbagai kegiatan dikembangkan di kalangan agama untuk merintis, di tingkat paling bawah, penumbuhan masyarakat yang demokratis. Dari mulai masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hingga masalah pencemaran lingkungan secara masif, gerakan agama langsung terlibat dalam upaya penegakan demokrasi. Banyak lembaga keagamaan berkiprah untuk meneliti dan mengkaji asal usul sistem pemerintahan yang tidak sepenuhnya demokratik yang secara eufemistik disebut “demokrasi Pancasila”, yang menjadi pola hidup bangsa Indonesia saat ini. Tidak kurang pula banyaknya lembaga atau kelompok keagamaan yang langsung menerapkan pola-pola demokrasi dalam program-program rintisan mereka di bidang pengembangan masyarakat (community development).

Dari itu semua, tampaknya hubungan antara agama dan demokrasi seolah-olah berkembang mulus, dan dengan sendirinya tampak seolah-olah agama berperan transformatif bagi kehidupan masyarakat. Dalam kenyataannya, perkembangan yang terjadi tidak mendukung anggapan seperti itu. Seorang pemuka agama seperti Romo Mangunwijaya [5], dalam kegigihannya memperjuangkan kepentingan hakiki rakyat Kedung Ombo, akan dihadapi dan dikecam oleh banyak pemuka agama lainnya, baik yang seagama maupun yang tidak. Seorang pemikir yang bertolak dari sudut pandang agamanya, seperti Dr. Nurcholish Madjid [6] yang meminta persamaan derajat bagi semua agama, akan dihadapi oleh demikian banyak pemikir seagama yang justru ingin menegakkan ekslusivitas agama mereka atas agama-agama lain. Ibu Gedong Oka [7], yang menganut prinsip-prinsip Mahatma Gandhi [8] dan karenanya menolak sistem kasta dalam masyarakat Hindu di Bali, tentu mendapat tantangan keras dari kemapanan agamanya sendiri.

Maka demikian halnya, dinamika intern agama-agama di dunia menunjukkan perbenturan keras antara mereka yang ingin melakukan transformasi kehidupan masyarakat dari titik tolak keagamaan, dan mereka yang mempertahankan status quo keadaan dengan segala daya upaya. Bagi mereka, restu negara menjadi tolok ukur keberhasilan mengelola kehidupan beragama. Sangat sulit untuk mereka pahami, bahwa ada seorang Thomas Moore [9], yang atas dasar keyakinan agamanya, tidak mau melegitimasi perceraian raja dan permaisuri serta merestui perkawinan barunya. Bahkan hati mereka pun tidak tergetar ketika melihat Martin Luther King Jr. [10] pemimpin demonstrasi tanpa kekerasan, guna hak-hak politik orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat dalam tahun-tahun 1960an. Mereka tidak mengerti, mengapa harus dilakukan tindakan “mengganggu ketenteraman hidup umat beragama”, apalagi sampai harus berhadapan dengan kekuasaan negara.

Kalaupun ada perubahan yang mereka kehendaki, maka hal itu haruslah dilakukan karikatif, yaitu dengan tekanan diberikan pada kegiatan santunan yang diharapkan nantinya akan memperbaiki nasib orang kecil secara berangsur-angsur. Perubahan sistem kemasyarakatan bukanlah menjadi agenda kiprah mereka, melainkan “upaya memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam”. Bahkan sebenarnya pendapat kedua inilah yang Iebih dominan di kalangan umat beragama, dan boleh dikata pendapat yang umum berlaku. Diperlukan waktu sangat panjang bagi seorang pembaharu untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakannya, seperti pada kasus para agamawan berkulit hitam di Amerika Serikat, dan sekarang Afrika Selatan, para Mullah [11] di Iran dan Mahatma Gandhi di India.

Salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya. Sebuah agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang diajarkan oleh Kitab Suci-nya. Ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat diterima sebuah agama, yaitu kebebasan ajarannya sendiri. Apalagi kalau hal-hal normatif itu dituangkan dalam bentuk hukum agama (syari’ah) dalam Islam dan hukum kanon di kalangan gereja Katolik. Hukum agama itu bersifat abadi, karena ia berlandaskan Kitab Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian kitab suci, dan dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang dibawakan agama yang bersangkutan. Bahwa kaum muslimin telah berhasil mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh, legal theory) dan kaidah hukum agama (qawa’iduljiqhiyyah, legal maxims), tidak menutup kenyataan bahwa antara syari’ah dan demokrasi memang terdapat perbedaan yang esensial.

Demokrasi, sebaliknya dari ajaran agama, justru membuka peluang seluas-luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat, dan dengan demikian justru dapat mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama. Masalah perceraian bagi gereja Katolik Roma dan masalah perpindahan agama ke agama lain dalam Islam adalah sesuatu yang tidak pernah dapat dipecahkan tanpa mengancam sifat abadi dari kebenaran yang dibawakan masing-masing agama itu. Perceraian merusak kesucian perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan dalam pandangan gereja Katolik, dan dengan sendirinya hak warga negara untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan tantangan bagi konsep perkawinan yang telah diyakini oleh pihak gereja. Berpindah agama ke agama lain dalam hukum Islam berarti penolakan (riddah, apostasy) kepada kebenaran konsep Allah sebagai Zat Yang Maha Besar (konsep tauhid), karenanya tidak dapat dibenarkan dan pelakunya diancam hukuman mati. Sedangkan demokrasi dalam hal ini justru berpendapat sebaliknya. Keyakinan akan kebenaran merupakan hak individual warga masyarakat, dan dengan demikian justru harus ditegakkan, dengan konsekuensi adanya hak bagi warga negara untuk berpindah agama. Inilah sebabnya mengapa sarjana terkemuka Mahmoud Muhamed Taha [12] menjalani hukuman gantung di Sudan belasan tahun lalu ketika ia menyuarakan hak berpindah agama itu, dengan menolak “keharusan” melakukan jihad bagi kaum muslimin.

Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan keyakinan. Karena sejak lahirnya setiap agama memiliki kekhususan (unikum) nya sendiri, yang secara mendasar harus ditundukkan kepada kepentingan bersama seluruh bangsa, apalagi diinginkan agama tersebut dapat menjunjung demokrasi. Jelaslah dengan demikian, bahwa fungsi transformatif yang dibawakan oleh agama bagi demokratisasi kehidupan masyarakat, harus bermula dari transformasi intern masing-masing agama. Transformasi ekstern yang tidak bertumpu pada transformasi intern dilingkungan lembaga atau kelompok keagamaan itu hanyalah merupakan sesuatu yang dangkal dan temporer saja, seperti dengan “demokrasi” Pakistan sebagai negara di tahun-tahun 1950-an.

Untuk melakukan transformasi intern itu, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangan mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama umat manusia melalui upaya ini, tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai dasar universal yang akan mendudukan hubungan antar-agama pada sebuah tataran baru. Tataran baru itu adalah tahap pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuknya yang paling konkret seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah agama telah memasuki tataran baru itu, barulah ia berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation).

Jelaslah dari apa yang dikemukakan di atas bahwa agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi, manakala ia sendiri berwatak membebaskan. Fungsi pembebasan agama atas kehidupan masyarakat itu tidak dapat dilakukan setengah-setengah, karena pada hakekatnya, transformasi kehidupan haruslah bersifat tuntas. “Demokrasi” dalam praktik bernegara di Pakistan dewasa ini sepintas lalu tampak terpenuhi dengan pemberian jatah sejumlah kursi di parlemen kepada kaum Ahmadiyah. Tapi “jatah” tersebut menutup kemungkinan bagi tiap warga negara Pakistan untuk menganut paham Ahmadiyah untuk mendapatkan hak yang sama dalam merebut jabatan tertinggi di negeri itu, yaitu jabatan presiden. Pengingkaran hak tersebut menjadikan klaim Pakistan sebagai negara demokrasi terasa kosong, karena ia berarti pengingkaran hak yang sama bagi semua warga negara untuk berkiprah dalam pemerintahan. Pandangan yang sama tentang tiadanya hak bagi warga negara non muslim untuk menjadi kepala negara di negeri kita saat ini, juga merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dasar kita sendiri, di samping pengingkaran terhadap demokrasi. Pandangan seperti itu berarti melebihkan kedudukan sebuah agama, dalam hal ini Islam, yang menjadi agama mayoritas penduduk, atas agama-agama lain dan dengan demikian melanggar prinsip demokrasi yang terkandung baik dalam pembukaan maupun pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Pandangan atas kecenderungan melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama lain, seperti dicontohkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari pandangan bahwa agama tersebut haruslah menjadi dasar negara. Karena kita semua sudah sepakat pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menghilangkan piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945, maka sebagai konsekuensinya hal-hal yang melebihkan sebuah agama atas agama-agama yang lain harus dihilangkan dalam pengelolaan dalam kehidupan bernegara kita. Kenyataannya bahwa pandangan di atas masih diikuti oleh mayoritas lembaga dan kelompok Islam di negeri kita dewasa ini menunjukkan, bahwa agama tersebut belum dapat berfungsi sebagai pendorong tegaknya demokrasi di Indonesia.

Apabila prinsip tidak melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama yang lain itu diterima, dengan sendirinya harus ditolak pula kecenderungan legal-formalisme di kalangan para penganut agama maupun dalam kehidupan bernegara. Anggapan bahwa hukum Islam dan hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui pengundangan (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakekatnya merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai. Pada titik ini kita akan memasuki tahap yang rumit dalam pemikiran kita yaitu menyangkut hukum perkawinan dan pengaturan keluarga (alahwal al-syakhsiyyah, personal law).

Saat ini kita memiliki dua buah undang-undang yang mengatur hal itu, yaitu Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Peradilan Agama. Masih dapatkah Indonesia menjadi masyarakat demokratis dengan membiarkan kedua undang-undang tersebut berfungsi? Jawabnya ternyata tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan semula. Di satu pihak, memang harus dilakukan pilihan, antara penyelenggara perkawinan secara Islam atau secara Barat (dengan demikian secara Judeo-Kristiani, karena pada hakekatnya tidak ada “aturan universal” dalam hal ini) bagi kaum muslimin di negeri ini. Namun, di pihak lain terjadi perbedaan terhadap sesama warga negara yang pada hakekatnya berarti pengingkaran terhadap persamaan kedudukan bagi semua warga negara di muka undang-undang yang menjadi esensi demokrasi. Apalagi kalau pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan itu dilakukan oleh pengadilan terpisah, seperti pengadilan agama, yang berarti perlakuan yang berlebih kepada kaum muslimin. Di sini kita lalu terjebak dalam sebuah dilema yang tidak mudah untuk dijawab. Bila diandaikan Undang-Undang Perkawinan memiliki keabsahan mutlak masih harus dipertanyakan keabsahan lembaga peradilan yang menanganinya. Di India, perkawinan, perceraian dan pembagian waris dilakukan menurut agama penggugat dalam hal ini hukum agama madzhab Hanafi bagi kaum muslimin Sunni dan teks Fatawa Alamgiri [13] bagi kaum muslim Syi’i, namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan negeri dengan hakim yang dapat berbeda agamanya dari agama yang dipeluk penggugat. Demikian pula, perkawinan antara para pemeluk agama yang saling berbeda juga diatur atas dasar persamaan kedudukan di muka undang-undang itu.

Jelaslah dengan demikian, bahwa hubungan antara agama dan demokrasi tidak sesederhana yang kita duga semula karena di dalamnya masih ada hal-hal yang dilematik yang menjadi daerah kelabu yang tidak jelas hitam putihnya. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk melakukan telaah lebih jauh, guna memperoleh gambaran lebih rinci tentang hubungan antara agama dan demokrasi itu sendiri.[]

Catatan Akhir:

[1] Meninggal pada usia 90 tahun 1999 Dom Helder Camara adalah seorang pemimpin agama Katolik Roma di Brasil beraliran Teologi Pembebasan. Ia dikenal sebagai sangat peduli dengan orang miskin dan mencoba melakukan “perubahan di dalam hirarki Gereja Katolik Roma di Brasil untuk kepedulian kemiskinan. Karena itulah ia dikenal sebagai “Uskup Merah” karena kecenderungannya ke aliran kiri Marxisme.

[2] Vinoba Bhave (1895 1982) adalah pemimpin agama Hindu. Ia sering dijuliki juga Acharya kata dari Sanskrit yang berarti Guru, karena ia dianggap sebagai Guru Bangsa India menggantikan Mahatma Gandhi. Ia bahu membahu dengan Mahatma Gandhi dalam perjuangan kemerdekaan India dari penjajah Inggris. Tahun 1932, ia dipenjarakan oleh penjajah Inggris karena menentang peraturan kerajaan Inggris.

[3] Sulak Sivaraksa lahir 1933 adalah salah seorang pemimpin agama Buddha di Thailand yang terkenal sangat peduli dengan lingkungan. Tidak jarang ia bentrok dengan pemerintah dan bahkan dengan kerajaan membela lingkungan dari kerusakan dan serakahnya para pemilik modal. Ia juga salah seorang inspirator bagi para mahasiswa untuk menentang rezim militer di Thailand di tahun 1970an dan 1980an.

[4] Bekas Perdana Menteri Inggris dari partai Konservatif yang dikenal dengan Wanita Tangan Besi karena sikap-sikapnya yang keras dalam mempertahankan kebijakan dan menghadapi oposisi.

[5] Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929 1999), dikenal sebagai budayawan, arsitek, penulis, rohaniawan, aktivis dan pembela orang miskin. Romo Mangun, demikian ia dikenal, adalah juga penulis novel terkenal, beberapa di antaranya Burung Burung Manyar, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homo, Roro Mendut, Durga/Umayi. Pernah mendapatkan Agha Khan Award dalam arsitetur dan Roman Magsaysay Award karena novelnya.

[6] Dr. Nurcholish Madjid (1939 -2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri kajian lslam Paramadina yang kemudian menjadi Universitas Paramadina Mulya.

[7] Gedong Bagus Oka (1921 2002) adalah salah seorang pemimpin Hindu Bali yang menganggap diri sebagai Gandhian karena mengikuti garis perjuangan Mahatma Gandhi dalam anti kekerasan. la getol mempromosikan dialog antaragama dan perdamaian.

[8] Gandhi atau Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) adalah pemimpin spiritual bangsa India dan politikus ulung. Ia juga adalah pemimpin pergerakan kemerdekaan India dengan tanpa kekerasan (ahimsa). Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai “jalan yang benar” atau “jalan menuju kebenaran”, telah menginspirasi para pemimpin pembebasan dunia lainnya seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Pada 30 Januari, Gandhi dibunuh oleh seorang lelaki Hindu bernama Nathuram Godse yang marah karena kepercayaan Gandhi yang menginginkan rakyat Hindu dan Muslim diberikan hak yang sama.

[9] Saint Sir Thomas More (1478-1535) adalah seorang pengacara, penulis, dan pemimpin agama Katolik di Inggris dan memperjuangkan persamaan dalam perlakuan hukum dalam sistem hukum di Inggris ketika itu. Ia seorang martir Katolik karena tidak bersedia melegitimasi perceraian dan perkawinan kembali Raja Henry VIII karena keyakinannya akan doktrin agama Katolik. Ia dikenal sebagai intelektual humanis di Universitas Oxford.

[10] Dr. Martin Luther King Jr. (1929 1968) adalah seorang pendeta kulit hitam di Amerika Serikat yang memelopori perjuangan persamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam di negaranya. Ia berhasil melakukan pendobrakan kebijakan segregasi berdasarkan ras, kulit putih dan kulit hitam di pabrik-pabrik, di kendaraan umum, serta tempat-tempat publik. Ia berhasil mendesakkan pembaharuan hukum dan konstitusi di Amerika Serikat. Pembaharuannya itu menjadi inspirasi bagi gerakan persamaan hak di seluruh dunia. Karena perjuangannya tersebut, ia mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1964.

[11] Mullah adalah pemimpin spiritual dan agama sekaligus pemimpin politik di Iran dalam tradisi syi’i. Pada revolusi Iran tahun 1979, revolusi itu digerakkan oleh para mullah untuk menggulingkan Syah (Raja) Reza Pahlevi yang dianggap boneka Inggris dan Amerika Serikat. Adalah merupakan doktrin dan tradisi kaum syi’i bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari agama. Imam, pemimpin agama dan politik. Ia menjadi salah satu rukun Iman dalam doktrin kaum syi’i. Syi’i dianut oleh mayoritas muslim di Iran.

[12] Mahmoud Mohamed Taha (1909-1985 M.) adalah intelektual Sudan yang melakukan pembaharuan pemikiran yang kemudian berhadapan dengan penguasa konservatif rezim militer Presiden Ja’far Numeiri. Karena tuduhan murtad atas pandangan-pandangan keagamaannya ia dihukum gantung pada tahun 1985 oleh Numeiri. Salah satu bukunya yang terkenal yang membuatnya dituduh murtad adalah The Second Massage of Islam/Risalah ats-Tsaniyyah min al-lslam.

[13] Fatwa Alamgiri atau Fatwa-e—Alamgiri adalah sebuah kompilasi hukum Islam di masa dinasti Mughal era Aurangzeb. Pengumpulan kompilasi fiqh yang komprehensif ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Ia meliputi 30 jilid dan melibatkan banyak intelektual dan para ahli fiqh masa itu yang sebagian besar mendasarkan pada madzhab Hanafi.

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (The Wahid Institute: 2011).

Sumber: santrigusdur.com

Presiden Republik Indonesia ke-4.