Social Media

Beda Agama dalam Keluarga: Pengalamanku Mengelola Keberagaman di Antara Orang-Orang Terdekat

Saya terlahir dari keluarga berbeda suku, budaya, dan agama. Ibu saya bersuku Bugis dan seorang muslim besar di Makassar, sedangkan ayah saya bersuku Mori (Kab. Morowali) dan seorang Kristen besar di Palu. Konon cerita perjumpaan keduanya berawal dari Ayah yang pergi merantau ke Makassar untuk studi. Di sanalah mereka berjumpa.

Singkat cerita orangtua saya menikah setelah ayah saya menyelesaikan kuliah di Makassar. Setelah mereka menikah, keduanya menetap dan bekerjalah Ayah di Makassar. Ayah mengambil keputusan menikahi ibu saya yang muslim tanpa restu orangtua mereka. Awalnya mereka menikah dengan berbeda agama. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ibu saya memutuskan untuk mengikuti agama Ayah sebagai seorang Nasrani.

Gereja pertama kami waktu itu adalah Gereja Bala Keselamatan. Ibu saya mulai belajar dan mengenal Kristus dari bimbingan Opsir/Pendeta Gereja Bala Keselamatan. Seingat saya, kami masih tinggal di rumah keluarga ibu saya bersama Nenek Haji (kakek) dan saudara ibu saya lainnya di Jalan Irian. Ibu saya 10 orang bersaudara dan ia adalah anak terakhir. Kehidupan kami waktu itu cukup baik dengan perbedaan suku, budaya, dan agama. Saya tidak pernah melihat kakek atau saudara ibu saya membedakan kami karena kami memeluk Agama Kristen mengikuti agama ayah kami.

Berjalannya waktu, kami sekeluarga memilih pindah rumah, berpisah dengan saudara-saudara ibu saya. Saat itu kakek saya sudah meninggal. Kami pindah rumah di jalan Rapocini. Waktu itu Ayah bekerja sebagai Pegawai Sipil PU. Kami sudah sangat terbiasa dengan perbedaan yang ada di tengah keluarga kami. Ketika saudara-saudara ibu saya berlebaran, kami bersilaturahmi ke tempat mereka. Demikian juga sebaliknya.

Pada tahun 80-an, ayah saya dimutasi ke Palu, di mana tempat kakek, nenek dan saudara-saudara ayah lainnya tinggal. Kami memulai kehidupan baru jauh dari keluarga ibu saya, tetapi komunikasi tetap jalan walaupun hanya melalui telegram untuk sekedar memberikan kabar. Singkat cerita, pada tahun 1989 Ayah kembali dimutasi ke Kabupaten Poso. Ayah diangkat sebagai Kepala PDAM Kabupaten Poso. Waktu itu di Kabupaten Poso hubungan sosial-agama bagus sekali. Masyarakatnya saling menghormati dan menghargai perbedaan. Bahkan ada tradisi bersama ketika menjelang hari raya, tiap agama (khususnya Islam dan Kristen) selalu mengadakan pawai untuk menyambut hari-hari raya. Kebersamaan dalam perbedaan itu terjalin begitu indah.

Tahun 1993, ibu saya meninggal dunia. Meninggalkan saya yang waktu itu berumur 12 tahun. Inilah awal dari perubahan hidup saya dan saudara-saudara saya sampai hari ini. Waktu ibu saya meninggal terjadi sedikit pertanyaan di antara keluarga pihak ibu saya terkait cara pemakaman yang akan dilaksanakan: apakah secara Islam ataukah Kristen? Ternyata saya dan saudara-saudara saya tidak mengetahui persis apakah waktu itu ibu saya sempat mengatakan pada keluarganya atau menyembunyikannya. Hal ini dikarenakan usia saya waktu itu masih TK saat tahu ibu saya sering ke gereja.

Saat Ibu meninggal, pemakamannya dilaksanakan secara Kristen sesuai keyakinan ibu saya sejak menikah dengan Ayah. Begitulah penjelasan ayah saya ke pihak keluarga saat itu. Meski demikian, Ayah mempersilakan keluarga dan saudara-saudara ibu untuk membacakan Yasin dan mengaji di samping jenazah ibu saya. Singkat cerita ibu saya pun dimakamkan secara Kristen di Pemakaman Kristen Talise Palu.

Sejak ibu saya meninggal, kami belajar bertahan hidup tanpa sosok ibu di usia belia sampai akhirnya saya memilih ikut kakak pertama saya ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah SMP. Waktu itu saya bersekolah di SMP Katolik bersama saudara laki-laki saya yang ketiga. Sedangkan kakak kedua dan adik bungsu saya tetap di Poso bersama Ayah.

Berjalannya waktu, kakak tertua saya menikah dengan seorang laki-laki bersuku Jawa dari Yogyakarta yang beragama Katolik dan mengikuti agama suaminya. Kakak kedua saya menikah dengan seorang laki-laki bersuku Gorontalo yang beragama Islam dan mengikuti agama suaminya. Kakak saya yang ketiga pun menikah dengan perempuan bersuku Sunda dan mengikuti agama istrinya, Islam. Saya sendiri melanjutkan studi S1 sebagai Pendeta di Tentena, Kabupaten Poso dan menikah dengan suami saya yang berasal dari Jawa Timur dan beragama Kristen. Adik saya sendiri menikah dengan perempuan bersuku Mori yang beragama Kristen. Kami berlima hidup terpisah-pisah sejak memilih menikah dan mengikuti suami dan istri kami masing-masing (Bogor, Palu, Poso). Sampai akhirnya Ayah meninggal pada tahun 2020 di Palu.

Inilah cerita singkat tentang keluarga saya. Ada hal menarik yang sampai hari ini kami jaga dan rawat, yakni tentang cara kami mengelola keberagaman di tengah keluarga yang berbeda suku, budaya, dan agama. Saya selalu ingat kata Ibu waktu kami bertanya, “Ma, kenapa peralatan sholat dan Alquran itu Mama simpan?” Mama saya menjawab, “Sewaktu-waktu akan ada orang lain atau keluarga Mama yang datang dan mereka tidak membawa ini, maka kita sudah menyiapkan di rumah kita sendiri. Kita tidak salah dan berdosa memberikan kesempatan dan tempat orang lain untuk beribadah di rumah kita. Justru rumah kita akan dipenuhi oleh berkat dan rejeki”. Dan setelah besar saya baru paham inilah yang dinamakan toleransi.

Begitu pula ketika saudara-saudara kandung saya memilih dan memutuskan jalan hidup dan keyakinannya pun saya memahami bahwa itu pilihan yang menurut mereka baik. Walaupun tetap ada pertentangan di dalam keluarga, mengingat saudara-saudara Ayah adalah penganut agama yang taat, di samping ayah saya juga seorang keturunan ningrat (cucu Raja Marunduh, Kab. Morowali).

Saya dan saudara-saudara menjalani tanpa memikirkan apa kata orang. Kami bahagia, bahkan sangat senang karena setiap tahun saat perayaan agama masing-masing kami saling mengunjungi dan merayakan bersama. Kami saling menerima, menghargai, dan menghormati agama dan keyakinan masing-masing tanpa ada batas dan sekat. Bukan hanya agama, terkait budaya kami juga saling menghargai pilihan masing-masing. Untuk urusan makanan non-halal katakanlah, yang kebetulan kami juga tidak terbiasa makan sejak kecil.

Perbedaan agama yang kami jalani tidak sedikit pun mengurangi ikatan persaudaraan yang ada di antara kami. Sebaliknya hal itu semakin mengeratkan satu sama lain. Mengelola dan merawat perbedaan di tengah keluarga kami adalah kunci untuk tetap hidup rukun.

Ketika Konflik Poso 1998 pecah, keluarga kami kami sempat terpisah. Bukan karena saling bermusuhan, melainkan dikarenakan keadaan dan situasi kami yang tidak memungkinkan bersama. Bahkan waktu saya masih kuliah di Sekolah Tinggi Teologi, kakak perempuan saya yang Muslim di Poso sering memberi informasi kepada saya agar tidak ke luar. Saya diminta mencari tempat bersembunyi yang aman karena akan ada penyerangan di waktu dan tempat tertentu.

Kakak perempuan saya selalu bilang, “Dek, kau tetap adikku. Kita tetap sedarah walaupun agama kita berbeda. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu.” Dan ucapan itu pun ia buktikan. Ketika saya beberapa kali melewati Poso yang masih mencekam dan berada di situasi yang mengancam, kakak saya selalu melindungi dengan memberikan informasi agar saya cepat menyelamatkan diri.

Begitulah cara kami saling menjaga, melindungi, dan merawat perbedaan. Dari keluargalah saya belajar dan berproses bagaimana memiliki sikap toleran yang tinggi dan menjadi seorang pluralis sekaligus moderat. Jadi bukan karena saya belajar agama, melainkan sejak dari keluarga saya sendiri diajarkan Ayah dan Ibu tentang nilai-nilai menghargai, menghormati, dan menerima keberadaan orang lain yang berbeda. Ayah saya pernah berpesan, “Kita boleh berbeda agama, suku, dan budaya. Tetapi perbedaan itu jangan menjadikanmu orang bodoh yang tak beragama, atau seperti orang yang tak bertuhan. Meski agama kita berbeda, tapi kalian tetap anak-anakku, darah dagingku.”

Rabu, 16 November 2022, beberapa waktu yang lalu saya ditinggalkan oleh kakak laki-laki saya. Dia seorang muslim yang sejak bujang memilih dan memutuskan keyakinan yang akan dia jalani. Saat proses pemulihan sakit kakak saya, kami menyadari bahwa ada waktu yang tidak semua orang tahu apakah seseorang akan baik, selamat, atau panjang umur. Di masa kritisnya pun kami menghargai dan menghormatinya sebagai seorang muslim dengan meminta pertolongan kakak ipar kami untuk mengaji, membacakan ayat-ayat Alquran, yang walaupun hanya melalui video call Whatsapp kami bertiga yang beragama Kristen dan Katolik ikut mendengarkan tanpa ada komentar apa pun.

Bahkan saat saya diminta untuk berdoa secara Kristen saya katakan biarkan kakak menjalani apa yang sekarang sudah dia yakini. Kalaupun saya berdoa secara Kristen kami akan lakukan dalam hati kami. Sebenarnya setiap keluarga kami berdoa secara Kristen, Ayah selalu izin kepada anak-anaknya yang beragama Islam. Dan itu juga yang sering kami lakukan jika kami ingin berdoa secara Kristen. Singkat cerita kakak saya dimakamkan secara Islam, disholatkan di Masjid, dan diurus oleh kakak saya yang beragama Katolik.

Mengelola, merawat, dan menjaga keberagaman dalam perbedaan itu indah. Jangan pernah membentengi diri kita dengan perbedaan itu. Jangan pernah katakan agamaku yang paling benar, agamaku yang paling baik, dan sebagainya. Karena ketika kamu meninggalkan dunia ini Tuhan tidak akan pernah bertanya “Apa  agamamu?” Tetapi Tuhan akan bertanya “Apa yang sudah kamu lakukan untuk hidupmu, orang lain, dan sesamamu?”

Hiduplah untuk menjadi berkat bagi orang lain, bukan untuk menjadi musuh bagi orang lain. Lakukan kebaikan, lakukan kehendak-Nya, jalani dan yakini agamamu serta berimanlah kepada Tuhan yang Esa itu. Keselamatan itu ditentukan oleh imanmu, bukan agamamu.

Salam Moderasi.

Palu, 23 November 2022

Alumnus Workshop Religious Leader Jaringan GUSDURian.