Social Media

Bukan Sekadar Dijalani, Hidup Perlu Diselami

Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri? Apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Pertanyaan ini akan menunjukan arah yang benar, sepanjang Anda akan menunjukan arah yang benar, sepanjang Anda tidak menganalisa dan hanya mengamati saja. Rasakan energi emosi itu. Bila tidak ada emosi yang hadir, pusatkan perhatian Anda lebih mendalam lagi pada medan energi batin tubuh Anda. Itulah jalan masuk menuju keberadaan.

(Eckhart Tolle, dalam buku: Practicing the Power of Now)

Negara ini memiliki konstitusi dan hak asasi manusia sebagai perlindungan hukum bagi seluruh warga negara. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa tindakan diskriminasi, intoleransi, serta tindakan kekerasan atas nama agama masih terus terjadi di mana-mana. Pelakunya bukan hanya mereka yang memiliki keterbatasan wawasan dan pengalaman, melainkan juga mereka yang berpendidikan. Bahkan kelompok yang paham tentang nilai-nilai keagamaan serta kebangsaan pun bukan menjadi jaminan tidak bersikap ekstrem dan radikal.

Dua hari lalu saya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Jaringan GUSDURian. Memberikan diri untuk hadir utuh-sadar penuh dalam pelatihan tersebut telah menggugah total sebuah konsep pemikiran yang selama ini menjadi bagian penting dalam pengendalian perilaku saya. Melalui topik-topik pembahasannya, para peserta yang terdiri dari beragam keyakinan, latar belakang, dan pendidikan itu dibawa untuk melihat realita hari ini maupun masa depan yang perlu untuk disikapi secara kritis.

Selama tiga hari kami belajar tentang tangga penyimpulan, konsep Proses N dan Proses U, analisis gunung es (iceberg analysis), moderasi beragama, dan konstitusi beragama. Selain itu kami juga mempelajari sistem berpikir yang dimulai dari konsep bahwa setiap kita adalah pengendali penting tentang apa yang terjadi di dunia ini. Itu semua membawa kami pada sebuah kesadaran bahwa apa pun yang akan, maupun yang telah, terjadi tidak terlepas dari yang namanya cara berpikir seseorang.

Kami betul-betul merasakan langsung konsep berpikir kami ditata kembali menjadi lebih kritis namun tetap perlu menelusuri data-data yang ada. Konsep mayoritas dan minoritas juga merupakan persoalan yang seakan-akan sudah menjadi ciri khas dari bangsa ini, setiap kelompok terus berupaya untuk menjadi mayoritas agar terlihat aman, dan mereka yang menjadi minoritas adalah kelompok yang akan selalu ‘dikorbankan’.

Mari kita coba untuk kembali melihat tentang konsep pemikiran ini. Siapa yang disebut kelompok mayoritas dan siapa yang minoritas? Apakah ukuran dari kedua kelompok ini hanya terbatas pada yang namanya agama, atau yang lebih dangkal lagi: simbol apa yang dipakai seseorang? Bukankah dalam satu agama sekalipun ada begitu banyak simbol yang kompleks, doktrin, hingga tradisi keagamaan yang dijalankan? Bukankah dalam Islam sendiri ada begitu banyak kekompleksitasan yang ada, begitu juga dalam Kekristenan, serta agama atau keyakinan lainnya?

Jika melihat dari sudut pandang agama tampaknya terlalu kompleks. Mari kita mengarah kepada bagian yang lebih sempit lagi, yaitu diri kita sendiri. Eckhart Tolle dalam bukunya, menjelaskan tentang kompleksitas manusia yang sudah terlihat dari pikirannya, sebab pikiran manusia menjadi ujung tombak bagi seseorang dalam bertindak atas segala realita yang dialami. Manusia lupa bahwa sebenarnya selain pikiran yang diberikan oleh Sang Pencipta kepadanya, manusia juga diberikan hati yang menjadi pusat perasaan yang dihasilkan dari apa yang dipikirkan. Kedua bagian ini perlu sinkron dalam mempertimbangkan segala sesuatu.

“Awal dari kebebasan adalah kesadaran bahwa Anda bukanlah ‘si pemikir’. Saat Anda mulai memperhatikan si pemikir, maka tingkat kesadaran yang lebih tinggi mulai diaktifkan. Kemudian, Anda mulai menyadari adanya alam luas kecerdasan yang jauh melampaui pikiran, sehingga pikiran hanyalah sebuah aspek kecil dari kecerdasan itu. Anda juga menyadari bahwa semua hal yang benar-benar penting – keindahan, kasih, kreativitas, suka cita, damai di hati – timbul dari sesuatu yang jauh melampaui pikiran”.

Bukan seorang pejalan, melainkan menjadi seorang penyelam; inilah yang menjadi perenungan dari tulisan ini. Realita kehidupan manusia ialah bahwa setiap kita diberikan waktu yang sama untuk menjalani hidup, berjumpa dengan banyak orang, melakukan pekerjaan, dan bepergian ke mana pun dia suka. Itulah kehidupan. Namun nyatanya, kehidupan tidak dapat selalu hanya sekedar dijalani sesuai dengan rutinitas seseorang. Sebab tidak dapat dimungkiri bahwa selalu ada peluang realita yang terjadi tidak sesuai rencana, realita bahwa tidak semua pekerjaan dapat memberikan hasil yang sesuai, realita bahwa tidak semua orang yang kita temui menyukai atau senang dengan kehadiran kita, dan realita bahwa banyak tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan terus terjadi.

Ingatlah, hidup ini tidak hanya sekedar dijalani. Selamilah setiap peristiwa yang terjadi. Selamilah agar kita tahu mengapa pekerjaan kita tidak berjalan dengan baik. Selamilah mengapa ada orang yang tidak menyukai kita. Dan selamilah mengapa ada kelompok-kelompok di luar sana yang menggunakan otoritasnya untuk merendahkan kelompok lain.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ungkapan itu akan diterima oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai penyelam kehidupan, bukan sekedar pejalan kehidupan. Sejarah hidup yang pernah saya alami telah memberikan luka yang sangat dalam bagi puzzle-puzzle kehidupan saya di masa mendatang.

Usia sembilan tahun adalah usia anak untuk seharusnya menerima edukasi yang positif dan kritis. Tetapi yang terjadi sebaliknya, saya harus melihat, mendengar, bahkan merasakan bagaimana rasanya orang-orang yang saya kenal dan saya kasihi harus dibunuh. Mereka bahkan membunuh orang-orang yang mereka kenal dan mereka kasihi dengan hanya bermodal dalil: beda agama.

Ajaran kasih seperti apa yang harus saya selami jika pengalaman masa lalu ini yang menjadi bagian dari perjalanan kehidupan saya? Itu adalah sejarah hidup saya, tidak dapat saya hindari, tidak dapat saya tolak. Karena semakin ditolak, semua itu semakin nyata dirasakan, bahkan diingat. Tetapi sekali lagi, yang ingin ditekankan adalah saya tidak hanya sekedar menjalani kehidupan yang Sang Pencipta ini berikan, tetapi saya harus menyelami kehidupan yang Sang Pencipta izinkan untuk saya alami, sebab dengan cara itu saya mampu menemukan jawaban yang benar.

Menjadi penyelam kehidupan akan membuat kita memiliki banyak hal baru yang tak dapat dibayangkan. Kita akan menemukan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar yang hanya kita bayangkan selama ini. Melalui semua hal ini, hal yang dapat saya bagikan dengan siapa pun yang sempat membaca tulisan ini, adalah beranikanlah dirimu untuk membuka pikiran, agar kita dapat melihat bahwa segala hal yang kita lihat dan rasakan tidak benar-benar sesuai dengan apa yang ada di balik semua itu

Selami semua itu, baik pengalaman pribadi tentang ketidakadilan maupun pengalaman di luar sana yang mengharapkan kita tidak harus bersikap pasif akan peristiwa tersebut. Sudah sejak tahun 2017, saya diberikan kesempatan untuk menjalani aktivitas sebagai seorang pengajar di kampus, dan saya meyakini bahwa itu adalah bagian tugas saya untuk mempersiapkan anak-anak muda untuk peka akan nilai-nilai toleransi serta kesadaran akan keberagaman di Indonesia.

Selamilah pikiranmu, maka kita akan mampu melihat dunia yang lebih luas, di mana semuanya itu sangat berwarna dan beragam. Maka terimalah semua itu dengan prinsip; “jangan membeda-bedakan sesuatu yang sama dan jangan menyamakan sesuatu yang sebenarnya sudah sangat berbeda”.