Social Media

Bukankah Dia Manusia?: Sebuah Refleksi tentang Relevansi Agama dan Kemanusiaan

Pertanyaan pada judul di atas diambil dari potongan hadis ketika Nabi dan para sahabatnya sedang berbincang-bincang. Saat itu lewatlah pembawa jenazah di depan Nabi dan para sahabatnya. Kemudian Nabi berdiri sebagai tanda penghormatan kepada jenazah tersebut. Lalu para sahabat berkata kepada Nabi, “Jenazah yang lewat tadi adalah jenazah Yahudi ya, Rasulullah.” Jawaban Nabi kepada para sahabatnya adalah “Bukankah dia manusia?” Suatu jawaban yang sangat menyentuh hati nurani.

Bukankah dia manusia? Jawaban yang sangat sarat makna. Suatu jawaban yang terlepas dari aneka simbol yang ada pada diri manusia. Nabi tidak melihat kedudukan yang disandang atau latar belakang jenazah tersebut. Nabi tidak melihat simbol-simbol yang melatari manusia atau jenazah tersebut. Nabi lebih melihat substansi dari nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan Nabi, manusia itu makhluk yang sangat istimewa. Pandangan para sahabat lebih berorientasi pada kulit luar dari manusia, suatu pandangan yang sangat parsial, yang tidak melihat sisi dalam dari nilai seorang manusia.

Pandangan Nabi adalah pandangan yang sifatnya holistik, baik dari sisi luar maupun dari sisi dalam dari manusia. Sedangkan pemahaman para sahabat belum sampai kepada apa yang dipahami oleh Nabi. Manusia memang makhluk yang multidimensi. Ada dimensi luar dan ada dimensi dalam. Kalau hanya memandang dari sisi luar, itu tidak jauh beda dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Itulah yang menjadi parameter para sahabat ketika menegur Nabi tentang jenazah Yahudi. Para sahabat melihat dari sisi luar manusia saja. Mereka hanya memandang level seseorang sebagai entitas Yahudi yang tidak patut dihormati.

Ada juga ungkapan Nabi yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut gambarnya”. Gambar di sini adalah sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat yang bisa diadopsi sesuai dengan kemampuan manusia. Di sinilah istimewanya manusia, karena mendapat sinyal dari Tuhan sehingga dapat mengadopsi sifat-sifatnya.

Dalam pandangan Al-Qur’an, manusia juga menempati posisi yang sangat sentral sebagai makhluk yang istimewa. Dalam satu ayatnya dikatakan “Wa laqad karramna Bani Adam“, sungguh kami telah memuliakan anak-anak Adam. Satu-satunya makhluk Tuhan yang mendapat predikat mulia dalam Al-Qur’an adalah manusia atau anak Adam. Dan manusia juga yang mendapat pengajaran langsung dari Tuhan tentang berbagai nama.

Ketika akan menciptakan manusia di muka bumi ini, malaikat agak protes tentang rencana Tuhan tersebut. Karena dalam pandangan malaikat, manusia akan membuat masalah di bumi. Mereka akan saling membunuh antarsesamanya, pikir malaikat. Tapi Tuhan menjawab, “Aku lebih tahu apa yang engkau tidak tahu.” Meski demikian, di satu sisi protes malaikat mengandung nilai kebenaran, sebab sejak ada manusia selalu terjadi kasus-kasus yang mencederai nilai kemanusiaan. Sejak Adam punya masalah waktu berada di surga, kemudian kedua anaknya yakni Qabil dan Habil, dan sampai di zaman modern sekarang ini. Ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan semakin masif dengan banyaknya pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia lewat bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris.

Namun pandangan malaikat yang skeptis terhadap keberadaan manusia dikarenakan hanya melihat manusia dari satu sisi saja. Padahal ada sisi lain yang tidak mampu ditangkap oleh para malaikat. Ketika Tuhan menguji keduanya untuk menyebutkan nama-nama, malaikat tidak mampu untuk menjawab pertanyaan Tuhannya. Dan ketika pertanyaan itu disodorkan kepada manusia, mereka menjawab semuanya, karena sebelumnya Tuhan sudah memberikan atau mengajari manusia dengan berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan kemanusiaan dan ketuhanan. Manusia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Tuhan yang tidak mampu dijawab oleh para malaikat.

Itulah sebabnya para malaikat dan makhluk lainnya bersujud kepada Adam karena kelebihan yang dimiliki oleh Adam, yaitu berupa ilmu pengetahuan dan potensi untuk berhubungan dengan Tuhan. Itulah alasan seluruh makhluk (kecuali iblis) menaruh penghormatan kepada manusia, tidak lain karena faktor keilmuan dan eksistensinya untuk berhubungan dengan Tuhan. Secara umum, Tuhan memberikan kelebihan khusus kepada manusia berupa kemuliaan, yaitu dengan memberikan fasilitas untuk dapat menikmati seluruh hal yang ada di bumi.

Namun demikian, Tuhan tidak hanya memberikan potensi yang baik kepada manusia, tetapi juga potensi yang buruk. Dalam surah Asy-Syams ayat 8 dikatakan, “Lalu Dia mengilhaminya (yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa untuk menelusuri jalan) kedurhakaan dan ketakwaannya”. (Terjemahan M Quraish Shihab). Dua jalan yang telah diberikan oleh Tuhan yaitu jalan durhaka dan jalan takwa. Manusia bebas atau merdeka untuk menempuh salah satu dari kedua jalan tersebut. Ada yang konsisten yang berada di jalan kebaikan atau ketaqwaan seperti para Nabi, auliya’, para ulama; namun ada juga yang tetap berada di jalan kedurhakaan seperti musuh-musuh Nabi.

Di dalam ayat lain yaitu surah At-Tin ayat 4-5 dikatakan, “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami (bersama dengan manusia itu sendiri) mengembalikannya ke (tingkat) yang serendah-rendahnya.” Ayat ini sangat jelas bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk paling bagus, namun manusia bisa saja terjatuh ke tingkat yang terbawah kalau mereka melakukan banyak kedzaliman terhadap dirinya dan kepada sesamanya.

Pilihan-pilihan kemanusiaan yang dibebankan kepada manusia dan kebebasan yang diberikan kepada manusia pula bertujuan untuk memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Manusia adalah makhluk yang punya fitrah atau modal primordial berupa ruhani atau nurani yang selalu mengajak ke jalan kebaikan. Dan di sinilah relevansinya ketika Tuhan berfirman bahwa Dia telah memuliakan anak-anak Adam. Dan agama yang telah diturunkan oleh Tuhan kepada manusia melalui rasul-rasulnya mempunyai inti ajaran untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Bumi Pambusuang, 4 Desember 2022

Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.