Social Media

Cara Gus Dur dan Slavoj Zizek Mengajak Guyon Tuhan

Sejalan dengan maknanya bahwa moderat itu adalah bersikap adil, jauh dari sikap fanatik terhadap sesuatu dan selalu mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan perkara. Maka hal ini bertolak belakang dengan sikap fanatik yang mengandung arti, bahwa ia hanya percaya terhadap sesuatu yang ia yakini benar, ia tidak akan menerima keyakinan atau sesuatu kebenaran dari orang lain.

Di dalam at-Takfîr wa al-‘Unf wa al-Irhâb, Manshur ar-Rifa’i ‘Ubaid mengatakan, “Terkadang orang yang fanatik itu mencintai sesuatu (seseorang) yang cintanya itu menguasai seluruh hidupnya dan ia tidak memandang orang-orang yang ada di sekitarnya kecuali yang ia cintai tersebut.” Sederhananya, sikap fanatik ini terlihat apabila seorang pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran, masing-masing pasti akan saling membanggakan dan membela mati-matian sang kekasih, meskipun sebenarnya apa yang dibela merupakan hal yang salah.

Hal ini terjadi karena di dalam diri seseorang itu sudah dikuasai oleh sikap fanatik, sehingga menghalangi dirinya untuk bersikap moderat di dalam menimbang sebuah perkara. sikap fanatik cenderung tidak memandang kompromi dan musyawarah sebagai cara untuk mencari jalan keluar terhadap suatu masalah.

Ketika fanatik sudah merasuk ke dalam diri seseorang atau sudah menjadi sebuah kelompok maka tidak akan hadir dalam dirinya untuk bersikap moderat. Fanatik merupakan penyakit yang menyebabkan seseorang benci terhadap orang lain di sekitarnya yang tidak sejalan dengannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Manshur ar-Rifa’i ‘Ubaid ketika membahas tentang fanatisme pada tulisannya antara lain, “Sikap fanatik adalah sebuah penyakit hati yang karenanya seseorang akan merasa benci terhadap orang lain di sekitarnya.”

Jika dikatakan bahwa rasa cinta akan membuat segalanya menjadi indah, lalu begitu pun sebaliknya rasa benci akan menjadi penghalang seseorang untuk melihat keindahan. Meski itu adalah sebuah kebaikan, namun apabila datang dari orang yang ia benci–orang yang berseberangan pendapat dengannya—maka ia tidak akan dapat melihat kebaikan itu.

Orang yang terlanjur fanatik terhadap sebuah keyakinan dalam meyakini sesuatu, maka hal itu akan mendorongnya ke dalam doktrin yang lebih ekstrem seperti menganggap murtad dan kafir orang yang bertentangan dengannya, bahkan sampai menghalalkan kekerasan dalam membela apa yang ia yakini tersebut tanpa menimbang apakah itu memang kebenaran atau sebuah pendapat yang dibenar-benarkan?

Adalah Gus Dur dan Slavoj Zizek, kedua tokoh tersebut yang kemudian menanggapi fenomena-fenomena tersebut dengan guyonan (jokes). Tak ayal keduanya mendapatkan banyak kekaguman dari orang atau bahkan mendapatkan cacian yang memilukan. Padahal, pada kenyataannya kedua tokoh tersebut tentu bukan untuk mengolok-olok sebuah keyakinan dalam kebertuhanan, namun justru memberikan pemahaman pada khalayak tentang memahami keyakinan (bertuhan) agar jauh dari sikap fanatisme yang berlebihan melalui guyonan yang penuh satire.

Masih sangat terngiang di telinga dan tertancap hebat di benak kita, bagaimana Gus Dur mendapatkan pujian sekaligus cacian tentang pernyataan kontroversialnya mengenai ‘Tuhan tak perlu dibela’. Begini singkat ceritanya:

Saat kebanyakan orang saling menunjukkan diri sebagai ‘pihak yang paling garang’ dan ‘paling ngotot’ mengatakan diri mereka sedang dalam perlawanan dalam rangka membela agama Tuhan. Jelas ini adalah sikap fanatisme dan gegabah.

“Tuhan nggak perlu dibela,” jawaban Gus Dur kala itu. Karuan saja omongan itu juga menimbulkan kontroversi. Hingga akhirnya teman Gus Dur, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pun ikut angkat bicara.

“Tuhan itu sebenarnya nggak butuh kita. Kalau se-Indonesia ini mau jadi kafir semua, Tuhan juga nggak akan bermasalah,” sambung Gus Mus menguatkan pernyataan Gus Dur.

Sealur dengan Slavoj Zizek dalam memberikan jokes tentang kaum-kaum fanatisme ini, tertulis di dalam bukunya Less Than Nothing (2012), yang kemudian di intisarikan di dalam buku Mati Ketawa Cara Slavoj Zizek. Singkat cerita, terdapat dua orang yang saling berteman sedang bermain ‘lempar bola mengenai kaleng’.

Permainan itu sudah berlangsung beberapa saat, namun salah satu pemain ini tak kunjung berhasil mengenakan bola kaleng tersebut. Kemudian, salah satunya mengumpat dengan nada yang kesal: “Demi setan, meleset!”. Temannya yang fanatik beragama menjawab dengan lantang: “Berani-beraninya kamu berbicara begitu; murtad kau! Semoga Tuhan mengutukmu dengan sambaran kilat”.

Tak butuh waktu lama, kilat benar-benar menyambar, tapi bukan pada si pengumpat, malah justru pada si fanatik agama. Sempoyongan hampir mati, kemudian ia tengadah dan bertanya pada Tuhan: “Mengapa aku ya Tuhan? Mengapa bukan si Murtad?”. Seketika suara berat bergemuruh terdengar dari atas: “Aduh, demi setan, meleset!”.

Dari penggalan-penggalan cerita di atas, tentu sesederhana itu untuk mengingatkan dan meredam fanatisme dalam berkeyakinan. Cukup dengan guyonan seluruh lini fanatisme akan luluh-lantah. Dengan begitu kita sebagai umat Islam akan merealisasikan apa yang selalu disampaikan oleh Gus Baha dalam banyak kesempatan “Beragama (Islam) dengan santai (tidak berlebihan dalam segala sesuatu)”. Sebab, sesuatu kebenaran yang disampaikan dengan ketegangan, kekerasan dan lain sebagainya, hanya akan menambah deretan luka di dalam laku beragama. Wallahu a’lam.

Sumber: alif.id

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.