Social Media

Darussalam dan Konsep Negara Toleran ala Walisongo

Dalam diskursus dewasa ini, kerap kali terjadi pertentangan yang sengit antara kelompok yang memandang perlunya negara-agama dan negara sekuler. Dua kecenderungan ini, dengan bentuknya yang beraneka macam, sering kali melahirkan kebijakan yang intoleran. Negara-agama (teokrasi) akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang hanya berpusat pada satu ajaran agama tertentu saja. Sehingga kerap melahirkan diskriminasi dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain.

Hal yang sama juga dilakukan oleh negara yang tak menjadikan agama sebagai unsur dalam pemerintahannya (sekuler). Mereka kerap kali memberangus hak-hak dasar penduduknya dalam mengekspresikan keyakinannya. Sehingga, meskipun sering kali mengkampanyekan Hak Asasi Manusia dan laku toleran, namun ternyata juga memungkirinya sendiri.

Dari dua kecenderungan yang sama-sama berujung pada sikap intoleran tersebut, menarik kiranya kita menengok konsep tata negara yang disodorkan oleh Walisongo. Para penyebar Islam di Nusantara pada abad 14-15. Ada banyak catatan masa lampau yang mengungkapkan tentang bagaimana para wali ini memandang kekuasaan dalam perspektif religiusitasnya.

Sebagaimana kita ketahui, Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara, berlangsung saat masih berdiri tegak sejumlah kerajaan yang berbasis agama. Seperti halnya Majapahit yang menjadikan Hindu sebagai agama utamanya. Begitu pula sebagian besar agama penduduknya kala itu. Dalam kondisi yang demikian, para wali tak lantas memvonis bahwa Nusantara adalah darul harb (negara kafir yang harus diperangi). Namun, justru menjadikannya saudara sehingga Islam bisa diterima dengan baik.

Pada saat Islam mulai diterima luas pun, para wali tak lantas menyodorkan negara berbasis Islam (Darul Islam), sebagai pengganti dari haluan kerajaan yang beragama Hindu tersebut. Tapi, menyodorkan satu konsep bernegara yang disebut dengan Darussalam.

Darussalam secara kebahasaan berarti negara yang sejahtera nan damai. Dari sini, negara tak berorientasi pada penerapan Islam secara formalistik. Namun, lebih kepada menerapkan ajaran Islam secara esensial sehingga bisa mewujudkan suatu negara yang sejahtera rakyatnya, muslim maupun non-muslim. Mereka bisa hidup dengan damai. Percuma, mendakwahkan Islam rahmat bagi semesta alam, jika tak melahirkan kedamaian dan kesusahan bagi umatnya.

Hal ini sebagaimana terekam dalam naskah kuno Melayu koleksi British Library (BL Or 14350, f. 54v) berjudul Hikayat Raja-Raja Pasai. Saat Raja Malikus Shalih memeluk agama Islam di bawah bimbingan Syekh Ismail, tak lantas mengubah kerajaannya menjadi negara Islam. Tapi, menyebutnya sebagai negara Darussalam. Sehingga hal ini, menyebabkan rakyat dengan tulus ikhlas memeluk agama Islam, tanpa adanya paksaan.

“Maka apabila sudah berhimpunlah sekaliannya, maka diajarilah Syekh Ismail mengucap syahadat akan mereka itu sekaliannya. Maka, segala mereka itu pun ridlalah ay mengucap dua kalimat syahadat dengan tulus ikhlas, yakin hatinya. Sebab itulah maka dinamai daerah itu negeri Darussalam karena tiada sekaliannya orang itu dengan digagahi [diperangi]…”

Dalam naskah-naskah Jawa juga terdapat penyebutan yang semakna dengan kata Darussalam. Sebagaimana terekam dalam Cariyos Para Syekh Saking Arab (KBG 1003/ PNRI), menyebutnya dengan istilah Siti Salam. Secara bahasa, siti bermakna tanah atau dengan kata lain menunjuk pada suatu tempat atau daerah. Sama persis dengan maksud Dar yang artinya desa atau daerah.

Konsep Darussalam maupun Siti Salam dalam uraian di atas, ditegaskan secara lebih mendetail dalam Babad Cirebon (BR 75a koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia). Saat para wali membangun peradaban baru di Nusantara pasca runtuhnya Majapahit dan Pajajaran, yaitu dengan mendirikan Kesultanan Demak dan Cirebon, tidak serta merta mendirikan kerajaan Islam (Darul Islam) yang lantas memberangus entitas budaya sampai hukum dari masa sebelumnya. Akan tetapi, tetap mempertahankan sejumlah nilai-nilai lama yang relevan dengan tujuan bernegara dalam mewujudkan keadilan.

“… para wali tan kersa ambasmi aksara Jawa pepakem Jawa salamine masi den [ng]go. Kinaryo imbangipun kitab Arab pakem Jawi winuri wuri dadya jodoning pangeweru, qadli Arab jaksa Jawa, sapa tambu yahiku apurwa saking adile Brawijaya. Beda sang Ratu Sunda sakikir tan anggelar adil palamarta, kang kaya Jawa mangkono. Pramila tanggal larut sastra Sunda datan kawilis, agama Sunda enggal, ilangan katempu dening Arab denin Jawa, sapa tambu yahiku saking kuranging adile Ratu Sunda….”

Kutipan dari halaman 213 – 214 dari Babad Cirebon di atas, jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih demikian:

“… Para Wali tidak hendak membasmi aksara Jawa dan sistem hukum (pepakem) Jawa selagi masih bisa dipakai. Diseimbangkan antara Kitab Arab dengan tata hukum Jawa untuk sama-sama dilestarikan (diuri-uri). Menjadi pertemuan pengetahuan antara Qadli dari sistem Arab [Islam] dengan Jaksa dari sistem Jawa yang berasal dari dari keadilan dalam tata kepemimpinan Prabu Brawijaya [yang notabanenya beragama Hindu]. Berbeda dengan Ratu Sunda yang tidak mengupayakan keadilan bagi semua sebagaimana yang dilakukan di Jawa tersebut. Akhirnya kekuasaannya lenyap, sastra Sunda pun musnah. Agama Sunda yang baru juga kemudian hilang tertimpa dengan [agama] Arab dan Jawa [Islam Nusantara]. Hal ini tak lain disebabkan dari kurang adilnya Ratu Sunda.”

Dari uraian di atas, tampak sekali bagaimana toleransi begitu kuat dalam sistem pemerintahan Darussalam. Sistem yang tidak kaku pada formalitas tertentu, terbuka dengan gagasan baru ataupun lama yang relevan, serta toleran terhadap hal-hal yang berbeda. Yang mana semua itu harus bermuara pada terwujudnya keadilan bagi seluruh masyarakatnya.

Dengan kata lain, Walisongo menerapkan sistem bernegara yang mengacu kepada keadilan. Yang mana, keadilan tersebut dapat terwujud di antaranya dengan sikap toleran terhadap yang berbeda. Dari penerapan inilah, kemudian Islam dipahami sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Sehingga tanpa paksaan pun, orang-orang non-muslim dengan sepenuh hati bisa menerima cahaya Islam. Wallahu’alam bish-shawab!

____________

Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro.