Social Media

Demokrasi Baliho

Sisa-sisa lebaran yang perlu diperbincangkan satu di antaranya barangkali adalah “baliho”. Peralatan politik ini hadir di ruang waktu yang mungkin salah alamat; lebaran. Bukan di momen politik sebagaimana lazimnya. Tetapi sudah sepantasnya begitu, bukankah politik tak boleh absen di setiap momen? Bukankah politik tak boleh alergi terhadap segala sesuatu dan segala keadaan? Bukankah politik cakupannya tak pernah cukup-cukup? Barisan pertanyaan ini mungkin bisa dianggap penguat mengapa baliho politik setia setiap saat, dan hadir setiap waktu.

Kita simak di kota ini, jelang lebaran idul fitri beberapa pekan lalu, wajah-wajah politisi ditancap di sepanjang jalan dengan beragam ukuran. Ukuran mini hingga jumbo, semua ada. Mata lebih sering menjumpainya di segala ruas kota ini.

Wajah yang bersih tak bernoda memang menggoda kepercayaan kita pada politisi-politisi itu. Belum lagi busana yang dikenakan menggembirakan hati; busana muslim/muslimah. Yang lelaki berpeci, sementara perempuan berkerudung atau berjilbab. Senyumnya begitu manis. Sayangnya, tatapannya kosong laksana foto ijazah SMP. Untaian kalimat yang menyertainya, ringkas tetapi dalam; “mohon maaf lahir dan batin”.

Kalimat “mohon maaf lahir batin” itu lazim di negeri ini. Semua boleh mengucapkannya, tak ada larangan di dalamnya. Entah itu rakyat jelata, entah itu kaum kaya–tak dipungut pajak mengucapnya. Entah itu profesor atau rakyat tak bersekolah–tak ada sanksi mengucap kalimat itu. Segala kelas, boleh mendaras kalimat ringkas itu.

Tetapi rekan saya cemas bila kalimat itu terlontar dari bibir manis pelaku politik. Ia khawatir bila pelaku politik keliru memaknai penggunaan kalimat itu. Ia was-was bila pelaku politik memahami bahwa mengucap kalimat berarti lepasnya dosa yang bersangkutan dan diraihnya pengampunan dari Allah SWT. “Sebab dosa politik itu efeknya massal”, bilangnya.

Kekhawatiran rekan saya demikian menunjukkan bila baliho itu bukanlah kenyataan. Kenyamanan memang terlihat di situ. Namun, kenyamanan tak mutlak sebagai kenyataan. Kewaspadaan mesti ditanam. Mata tak boleh tertipu. Baliho adalah narasi yang telah di-resume.

Resume itu sekaligus menyortir banyak hal. Di baliho segala keburukan tampil dalam bentuk kebaikan. Ini menandakan baliho tak beres dalam hal moralitas. Ia tak jujur sebagaimana angin yang selalu jujur menerpanya walau tak terhempas.

Baliho tak pernah jujur bahwa sesungguhnya ia berhasrat dikenal, lalu diakui untuk dipilih. Dengan kehadiran yang bertubi-tubi kita seolah dipaksa untuk mengakuinya. Barangkali baliho lupa bahwa pengakuan yang dipaksa hanya memperdengarkan riuh tepuk tangan artifisial alias pura-pura.

Lihatlah, orang-orang tak pernah menanggapi serius baliho-baliho itu. Pejalan kaki tak pernah terlihat mampir memelototi secara seksama baliho yang ditancap. Pengendara roda dua tak pernah mengerem motornya hanya untuk singgah mencermati pesan-pesan baliho. Sementara pengendara mobil tak sekalipun menghentikan mobilnya di depan baliho untuk mempelajari apa makna baliho-baliho itu.

Bahkan, tak jarang ada warga sembunyi-sembunyi menurunkan baliho itu lalu dipakai sebagai penambal atap rumah yang bocor, atau dipakai sebagai terpal mengeringkan gabah dikampung. Baginya, di situlah daya guna baliho. Mereka paham jikalau baliho-baliho itu tak mau peduli dengan kemiskinannya.

Tetapi, survey politik selalu mengaitkan elektabilitas dengan jumlah baliho. Ini bukanlah keanehan. Di sini survey politik lupa bila respons publik pada baliho bukanlah tanggapan bermutu. Tetapi ia tak lebih sebagai gemuruh tepuk tangan pura-pura, seadanya belaka.

Di sisi lain, baliho membawa tanda ambisi. Di setiap tempat baliho tertancap, di situ tertera ambisi bak raja yang hendak menguasai sebuah wilayah. Ada pemain baru, ada pemain lama. Semuanya mencemaskan kita; “suatu saat mereka menguasai wilayah ini dan itu”. Baliho tak pernah menjadi tanda sebuah program kerja politik yang riil. Di situ, tak ada ideologi politik yang mencolok.

Pada akhirnya, demokrasi baliho merajai gelanggang politik kita. Demokrasi kita selalu diolah menjadi paradoks akut. Ia tak pernah membawa keseriusan yang jujur untuk kemaslahatan umat. Ia senantiasa menawarkan hal yang semu. Lantas seorang rekan menyergapku dengan pertanyaan pelik; “mana lebih kongkrit khasiatnya, iklan panu dan kudis dibanding baliho yang serba mulus itu?”.

______________

(Artikel ini pertama kali dimuat di Tribun Timur, edisi 18 Mei 22)

Ketua Dewas LAPAR Sulsel. Anggota Majlis Demokrasi dan Humaniora.