Social Media

Gus Dur dan Dialog Antar Agama

Bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dialog antar-agama bukan bertujuan menyamakan secara total keyakinan, ajaran, atau aqidah agama-agama. Karena masing-masing agama memiliki keyakinan, aqidah, dan kepercayaan yang berbeda secara prinsipil.

Meskipun demikian, perbedaan keyakinan dan aqidah antar agama ini tidak perlu dipertentangkan dan diperbandingkan. Hal ini, bukan berarti menganggap bahwa semua agama sama atau semua agama benar. Agama paling benar ada dalam pandangan masing-masing pemeluknya.  Seorang muslim pasti akan berkeyakinan bahwa islamlah agama yang paling benar. Begitu pula dengan umat agama selain Islam.

Artinya setiap agama memiliki klaim kebenaran ajaran dan aqidahnya masing-masing. Islam, misalnya memiliki ajaran dan keyakinan bahwa hanya Islam agama yang diterima oleh Allah SWT. Dalam kitab suci Al Qur’an dinyatakan:

“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya” (Q.S Ali Imran [3]:85).

Islam juga memiliki prinsip keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan-Nya. Allah adalah Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Isa as (Yesus) bukan anak Tuhan, melainkan Nabi dan utusan-Nya. Ini tentu menunjuk pada keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan agama lainnya.

Kesadaran akan perbedaan prinsip keyakinan dan aqidah ini yang harus dimiliki ketika dialog antar-agama, sehingga tidak melahirkan perdebatan masalah-masalah keyakinan dan aqidah. Masing-masing umat sudah harus selesai selesai dengan keyakinan dan aqidah agamanya sendiri. Tidak perlu meributkan keyakinan mitra dialognya. Karena perbedaan adalah keniscayaan hidup bermasyarakat.

Sederhananya, perbedaan adalah kenyataan dalam kehidupan yang harus kita akui. Dalam konteks Indonesia keberagaman sosial budaya, suku, keyakinan, dan agama merupakan kenyataan yang harus diterima secara legowo. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk membenci orang lain. Saling menghormati dan menghargai antar agama dan keyakinan adalah sikap yang bijak dan patut dilestarikan.

Berdasarkan ayat Al Qur’an Surat Al Hujurat (49): 13: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal ….,” Gus Dur menyatakan bahwa perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam. Yang dilarang, kata Gus Dur, adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Apa yang dikatakan Gus dur tersebut adalah peringatan bagi kita untuk menyikapi perbedaan dengan bijak. Jangan sampai perbedaan budaya, suku, agama dan keyakinan menjadikan kita bangsa Indonesia bercerai berai dan bertikai. Tidak dibenarkan menjadikan perbedaan sebagai alat pemusuhan dan saling membenci.

Lantas, apa tujuan dialog antar agama bagi Gus Dur?

Gus Dur menjawab, bahwa dialog antar-agama diperlukan dalam rangka menjalin kerjasama antar umat beragama terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Bagi Gus Dur kerjasama penting umat beragama dalam hal muamalat, yakni memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Dengan menggunakan semangat ajaran masing-masing umat beragama bekerjasama untuk mengusahakan dan mengatur kesejahteraan masyarakat.

Dapat kita pahami bahwa kerjasama dan dialog antar-agama yang dimaksud Gus Dur adalah membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan muamalat, interaksi sosial, bukan masalah keimanan, keyakinan dan ibadah masing-masing agama. Jika demikian, permasalahan-permasalahan tersebut banyak dijumpai di sekitar kita.

Misalnya, masalah kemiskinan, kesehatan masyarakat, hak-hak kaum buruh, kerusakan lingkungan, penyalahgunaan teknologi, penanggulangan bencana, kenakalan remaja, persamaan hak didepan hokum, kerukunan antar umat beragama, keadilan yang tidak merata, dan lain-lainnya. Semua itu membutuhkan urun rembug dan kerjasama dari umat beragama untuk menanganinya. Masing-masing bisa saling melengkapi dan bahu membahu menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut.

Keterlibatan umat beragama dalam bekerjasama menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama akan menunjukkan bahwa agama  memiliki peran yang penting dalam perubahan social. Sehingga agama menjadi pendorong pemeluknya untuk melakukan upaya-upaya konkrit mengatasi problem kemanusiaan. Problem kemanusiaan inilah sesungguhnya titik temu semua agama-agama. Agama bisa menjadi pembebas manusia dari perbudakan dan penindasan.

Lebih dari itu semua, Gus Dur menyatakan bahwa kerjasama antara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani problem kehidupan Masyarakat. Dalam pandangan Gus Dur masing-masing agama memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama.

Pada titik inilah, menurut Gus Dur terbentuk persamaan antar agama dalam hal mendorong atau mengusahakan tingkat capaian materi Masyarakat. Tentu ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat penghasilan rata-rata Masyarakat dan lainnya. Begitu pula, masalah ukuran keadilan juga bisa diamati secara empirik dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.

Kesejahteraan masyarakat, menurut Gus Dur, merupakan ajaran esensial agama Islam. Dalam konteks bernegara terciptanya masyarakat adil dan makmur merupakan amanat UUD 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan: “hak setiap bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur.”  Ini menunjukkan bahwa tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah menciptakan masyarakat adil makmur.

Kesejahteraan masyarakat akan tercapai jika masing-masing komponen bangsa bersama-sama berihtiyar dan bekerja keras mewujudkannya. Melalui dialog antar-agama, saling memahami, saling menghormati, dan saling bekerjsama bangsa Indonesia akan mencapai keadilan dan kesejahteraan. Semoga!

Artikel ini sebelumnya tayang di Arrahim.id

Mengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus, Jawa Tengah.