Social Media

Gus Dur dan Dialog Peradaban: Antara Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni

Tidaklah berlebihan untuk menyebut Gus Dur sebagai man of dialogue, karena selain meyakini filosofi dialog sebagai fondasi dari anti-otoritarianisme dan juga kemanusiaan, Gus Dur juga secara aktif mempraktikkan filosofi yang ia yakini tersebut. Maka tidak mengherankan jika Gus Dur berupaya menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk berupaya membuka ruang-ruang dialog yang sebelumnya dianggap “mustahil”.

Sebagai contoh, dalam konteks rencana pembangunan PLTN di Muria, Gus Dur mengkritik soal pembuatan kebijakan yang hanya melibatkan expert yakni saintis tetapi tidak melibatkan publik secara luas. Padahal saat itu jamak dipahami bahwa urusan nuklir misalnya adalah urusan teknis, bukan urusan demokrasi.

Sebagai informasi, filosofi dialog Gus Dur dibangun di atas dua pilar, yakni anti-otoritarianisme dan humanisme. Pilar pertama, terkait dengan keyakinan Gus Dur bahwa absennya dialog membuka jalan bagi otoritarianisme. Sebagaimana kasus pendirian PLTN misalnya, tanpa dialog maka akan melahirkan saintisme, di mana para saintis diposisikan sebagai “pendeta tinggi” dari “agama atom” yang tidak bisa dikritisi. Begitu pula dalam ruang politik, ketika dialog absen maka yang terjadi adalah otoritarianisme politik. Hal inilah yang coba dilawan oleh Gus Dur pada masa Orde Baru misalnya.

Sedangkan pilar kedua, yakni kemanusiaan didasarkan pada pemikiran Gus Dur bahwa inti dari dialog adalah memberi dan menerima. Sehingga ada proses timbal balik dari dialog. Bagi Gus Dur dengan cara itulah kemanusiaan berkembang karena ia akan semakin terluaskan cara pandangnya. Dalam konteks ini bisa kita katakan ada paralelitas posisi Gus Dur dengan Habermas dan juga Gadamer yang sama-sama membangun filsafat tentang dialog (dalam konteks Gadamer Hermeneutika tetapi dengan spirit sama yakni dialog). Sebagaimana Gus Dur, keduanya meyakini dialog adalah esensi dari demokrasi dan juga prasyarat bagi fusi horizon (cakrawala) yang menjadi prasyarat bagi transendensi.

Salah satu dialog yang sempat dilakukan oleh Gus Dur ialah ketika ia membicarakan berbagai isu peradaban dengan Daisaku Ikeda, seorang pemikir sekaligus pemimpin organisasi Buddha kontemporer di Jepang yang dikenal dengan nama Soka Gakkai. Sebagai informasi, dialog Gus Dur dan Ikeda tersebut telah ditranskrip dan dibukukan secara menarik dalam karya yang berjudul Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian (2010) -yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia-.

Buku tersebut adalah terjemahan dari buku edisi Jepang yang dipublikasikan pada tahun yang sama (2010). Sebelumnya dialog tersebut telah dimuat dalam majalah Jepang bernama USHIO secara bersambung. Dengan kata lain dialog ini terdokumentasikan secara baik dan menjadi karya yang dapat diakses publik Jepang dan Indonesia.

Salah satu poin yang menjadi pembicaraan dua tokoh dunia tersebut ialah mengenai perdamaian. Mengikuti tesis Arnold Toynbee, keduanya membicarakan mengenai peran agama yang dianggap Toynbee dapat menjadi kekuatan penting dalam upaya menjaga perdamaian global. Sebagai catatan, tesis ini merupakan kritik terhadap tesis yang dimunculkan oleh Huntington yang melihat peradaban global ditandai dengan konflik antarperadaban, dan agama -yang menjadi ruh peradaban- akan menjadi faktor yang mendorong konflik antarperadaban tersebut. Baik Ikeda dan Gus Dur tidak menyetujui tesis Huntington tersebut.

Dalam konteks mendudukkan agama bukan sebagai pendorong konflik tetapi sebagai kekuatan yang positif bagi peradaban global, keduanya masuk ke dalam perbincangan mengenai relasi Islam dan Buddhisme. Salah satu tema yang dibahas dalam kaitannya dengan Islam dan Buddhisme adalah mengenai sejarah sang pembawa risalah Islam dan juga ajaran Buddha, yakni Nabi Muhammad dan juga Buddha Sakyamuni (atau disebut juga Siddhartha Gautama). Tulisan ini secara khusus akan mengelaborasi bagaimana perbincangan Gus Dur dan juga Ikeda tentang dua pembawa ajaran agama tersebut dan kaitannya dengan masa depan peradaban saat ini.

Setidaknya ada enam tema besar saling terkait yang dapat diparalelkan dari pembahasan mengenai Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi Muhammad) dan juga sejarah hidup Buddha Sakyamuni yakni: refleksi kritis atas kehidupan sosial-kemasyarakatan yang berlaku, pembentukan jiwa/persiapan spiritual, fase pewahyuan/pencerahan, visi dan arah transformasi, tantangan transformasi, serta hasil transformasi.  Pembahasan ini menjadi menarik karena baik Islam dan Buddhisme sama-sama melahirkan peradaban yang agung di berbagai wilayah yang dipengaruhi oleh agamanya tersebut.

Terkait dengan tema pertama, yakni refleksi kritis atas kehidupan sosial-kemasyarakatan, terjadi baik dalam kehidupan Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni. Ikeda menegaskan bahwa meskipun Buddha Sakyamuni (Sidharta Gautama) lahir dari keluarga kerajaan namun ia merasa hidupnya hampa. Menurut Ikeda nampaknya hal ini dimulai dari kematian ibunya tidak lama setelah melahirkan dirinya. Seiring dengan perjalanan waktu di mana ia menjadi orang yang pandai dan bijaksana, ia semakin kritis-reflektif terhadap kehidupan di sekelilingnya. Ia misalnya melihat bahwa manusia mengalami proses penuaan tanpa kecuali dan kemudian akan mengalami kematian. Ia juga melihat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengelak dari fase sakit dan kematian tersebut. Dikarenakan terdorong untuk memahami mengapa fenomena tersebut dapat terjadi ia memilih meninggalkan kehidupan istana (duniawi) dan menyepi untuk mencari solusi atas empat siklus besar tersebut (lahir, tua, sakit, mati).

Gus Dur menjelaskan bahwa fase kehidupan yang sama juga dapat dijumpai dalam kehidupan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga tumbuh berkembang dalam kemuliaan rohani, keluhuran budi, keunggulan akhlak, dan bahkan ia dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang jujur. Sebagaimana Buddha Sakyamuni, Nabi Muhammad juga mengarahkan pandangannya secara kritis terhadap kondisi masyarakat Arab saat itu. Ia melihat berbagai persoalan yang membuat masyarakat rusak ataupun hancur, termasuk dalam hal ini apa yang membuat masyarakat menyembah berhala. Selain mengamati kondisi masyarakat, Gus Dur menambahkan, Nabi Muhammad juga rajin mencermati tanda kekuasaan Tuhan di alam semesta ini dan merenungkannya.

Masuk kepada tema kedua yakni pembentukan jiwa/persiapan spiritual. Pembentukan jiwa dalam konteks ini ialah mengenai pembentukan jiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad dan juga Buddha Sakyamuni sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang kritis-reflektif, pribadi yang tangguh secara jiwa dari berbagai kemungkinan tantangan dan cobaan yang datang menerpa dirinya. Ikeda menjelaskan dalam konteks Buddha Sakyamuni, ia lahir dalam keadaan piatu yakni ditinggal pergi ibundanya dalam usia satu minggu. Begitu pula saat Buddha Sakyamuni meninggalkan istana, ia sempat dipengaruhi oleh tradisi spiritual yang berkembang saat itu, di mana untuk mencapai pencerahan rohani, seorang mesti menyakiti dan melemahkan fisik yang tidak suci. Saat itu Buddha Sakyamuni memilih untuk menjalani kehidupan pertapa dengan meditasi, puasa, dan latihan fisik lain di dalam hutan selama 6 tahun.

Gus Dur sendiri menjelaskan bahwasanya Nabi Muhammad mengalami kehilangan kedua orang tuanya ketika masih kecil (ayahnya meninggal saat Nabi berada dalam kandungan, sementara ibunya meninggal pada usia 6 tahun). Nabi kemudian dirawat oleh kakeknya Abdul Muthalib, namun dalam waktu yang singkat kakeknya juga meninggal dunia ketika Nabi Muhammad masih berusia 8 tahun. Kemudian Nabi dirawat oleh pamannya Abu Thalib dalam kehidupan yang diliputi kemiskinan. Ikeda sendiri menimpali bahwa berbagai penderitaan yang dialami Nabi Muhammad sejatinya memiliki makna mendalam, yakni sebagai persiapan ruhani akan tugas kenabian yang maha berat di mana dibutuhkan jiwa yang tangguh untuk memikulnya.

Terkait dengan tema ketiga, yakni fase pewahyuan/pencerahan. Sebagai informasi, pewahyuan adalah istilah khas Islam, sedangkan Buddhisme tidak mengenal konsep wahyu tetapi pencerahan. Ikeda menjelaskan bahwa setelah 6 tahun menjalani kehidupan pertapaan tanpa hasil maka Buddha Sakyamuni menyadari bahwa penyiksaan diri itu bukan jalan menuju kebenaran. Maka sang Buddha kemudian memilih untuk bermeditasi di wilayah bernama Bodh-gaya.

Ikeda menjelaskan bahwa sang Buddha bermeditasi menelusuri dunia dalam jiwanya hingga akhirnya mencapai dimensi terdalam yang menyatu dengan jiwa alam semesta. Pada tataran itulah Buddha Sakyamuni melihat wujud alam semesta sesungguhnya sekaligus menemukan bahwa yang menyebabkan penderitaan (roda kehidupan) adalah ketidaktahuan (ignorance/kegelapan jiwa) yang berakar pada egoisme yang berurat akar dalam jiwa.

Gus Dur menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu lewat perantaraan malaikat Jibril ketika ber-khalwat (menyendiri, berpisah dari kaumnya yang mengalami kemerosotan moral) di Gua Hira, di dekat Makkah. Sebagai informasi, setiap setahun sekali Nabi Muhammad secara rutin melakukan proses khalwat dalam rangka menjernihkan pikiran dari berbagai kebobrokan yang terjadi dalam masyarakat. Gus Dur menambahkan bahwa pewahyuan di Gua Hira itu adalah pewahyuan pertama Al-Quran, sedangkan proses pewahyuan tersebut terus terjadi sepanjang hidup Nabi Muhammad selama 20 tahun sesudahnya. Wahyu Quran itulah yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk tertulis (dan juga dihafal) yang dikenal oleh masyarakat luas sampai hari ini.

Terkait dengan tema keempat yakni visi dan arah transformasi, dapat dikatakan terkait dengan misi kenabian ataupun dalam istilah agama Buddha sebagai pengajaran akan hukum kebenaran (nam-myoho-renge-kyo dalam istilah tradisi Buddhisme yang dikembangkan Nichiren Daishonin). Jika diartikulasikan dalam bahasa yang lebih “sekuler” misi kenabian atau pengajaran akan hukum kebenaran ini terkait dengan visi transformasi yang menyasar individu dan masyarakat. Sedangkan arah transformasi yang dikejar ialah kebahagiaan hakiki/holistik yang meliputi kebahagiaan jasmani dan ruhani (dalam buku tersebut dinyatakan sebagai penyelamatan umat manusia).

Ikeda menjelaskan bahwa Buddha Sakyamuni berupaya mengubah keyakinan keliru yang merebak dalam konteks masyarakat India saat itu. Misal tentang adanya sistem kasta yang mendiskriminasi status dan kedudukan manusia, adanya teori fatalis bahwa manusia tidak dapat mengubah status kehidupannya dengan usaha apa pun, tradisi bahwa pengajaran ilmu (agama) hanya diperuntukkan oleh kaum tertentu saja (Brahmana). Buddha Sakyamuni berupaya mentransformasikan tradisi yang ada tersebut dengan mengajarkan kesamaan jiwa (artinya tidak ada perbedaan kasta) dan mengubah pengajaran menjadi terbuka bagi setiap orang. Ikeda menggarisbawahi bahwa itulah yang membuat Buddhisme menjadi agama dunia, agama yang terbuka bagi seluruh umat manusia tanpa memandang status, bangsa, dan sebagainya. Ikeda juga menyatakan spirit yang sama juga nampak pada Islam yang juga merupakan agama bagi seluruh umat manusia.

Gus Dur sendiri menjelaskan bahwa Nabi Muhammad menjalankan misi kenabiannya untuk memperbaiki kerusakan yang merajalela di tengah masyarakat saat itu. Dengan menukil dari Quran, visi transformasi dari ajaran Islam itu tergambar dari seruan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan beriman kepada Allah. Dengan kata lain Nabi berupaya melakukan perbaikan (ma’ruf) mencegah berbagai kemungkaran (nahi mungkar) dan mengajak orang untuk kembali memurnikan ibadah kepada Allah (dengan menjauhi penyembahan berhala). Dengan upaya transformasi tersebut maka diharapkan manusia dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki baik secara fisik maupun ruhani.

Terkait dengan tema kelima, yakni tantangan transformasi terkait dengan berbagai penentangan terhadap misi kenabian atau pengajaran Dharma yang terjadi dalam fase kehidupan Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni, termasuk juga Musa dan Yesus (Nabi Isa dalam istilah Islam). Ikeda menyebut bahwa Buddha Sakyamuni berkali-kali menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Mulai dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh murid dan saudara sepupunya sendiri bernama Devadatta, akibat kerakusannya kepada harta dan reputasi. Buddha Sakyamuni juga dituduh terlibat dalam satu kasus pembunuhan yang tidak dilakukannya. Ikeda sendiri menukil penjelasan dari Nichiren Daishonin bahwa sudah “tabiat” dari orang suci akan diuji dengan penganiayaan. Dengan kata lain upaya mempertahankan kebenaran, bagi Ikeda, sudah natural untuk dihadapkan pada berbagai fitnahan, tekanan, dan ketidakadilan.

Gus Dur menimpali Ikeda dengan menjelaskan sejarah serupa juga terjadi pada kehidupan Nabi Muhammad. Pimpinan Quraisy yang merasa terancam dengan penyebaran Islam kemudian membuat aneka makar, misal dengan blokade ekonomi terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya, melakukan aneka siksaan fisik pada pemeluk Islam -khususnya yang berstatus rendah seperti Bilal yang merupakan budak- dan bahkan upaya pembunuhan terhadap Nabi Muhammad. Sebagaimana Buddha Sakyamuni, Nabi Muhammad dapat meloloskan diri dari upaya pembunuhan tersebut dan hijrah ke Madinah. Menurut Gus Dur dengan hijrahnya Nabi justru menjadi momentum bagi lahirnya peradaban Islam yang bermula di Madinah.

Terkait dengan tema keenam, yakni hasil transformasi, sejatinya terkait dengan dampak dari misi kenabian atau pengajaran hukum kebenaran tersebut yang dapat dilihat secara kongkrit dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana dijelaskan Gus Dur, peristiwa hijrah Nabi ke Madinah (saat itu bernama Yatsrib) menjadi tonggak bagi lahirnya peradaban Islam. Salah satu penyebabnya ialah berbeda dengan masyarakat Mekkah yang memusuhi Nabi, masyarakat Madinah bersedia memikul tanggung jawab keselamatan Nabi dan mendukung dakwahnya.

Dari Madinah itulah kemudian Islam menyebar kembali ke Makkah, Jazirah Arab, dan kemudian meluas hingga ke berbagai belahan dunia hingga Asia Tenggara. Ikeda sendiri menjelaskan bahwa melalui tangan murid-muridnya maka ajaran Buddha dapat tersebar secara meluas. Salah satu tokoh Buddha bernama Ashvagosha misal menjadi penasehat (guru ruhani) dari Raja Kanisha dari Kerajaan Kushan yang menjadi lahan subur bagi perkembangan agama Buddha aliran mayahaya. Kerajaan Kushan sendiri meliputi India, Iran, dan Asia tengah. Pengaruh ini berlanjut di era Raja Ashoka dari Kerjaaan Murya yang memeluk agama Buddha. Ashoka sendiri dikenal sebagai raja yang mampu menyatukan wilayah India. Tidak hanya India dan wilayah Asia Tengah, Ikeda menyebut bahwa pengaruh Buddha meluas sehingga mencapai wilayah Cina, Jepang, dan negara Asia lain di sekitarnya.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa transformasi spiritual yang dibawa oleh agama Islam dan Buddhisme sama-sama melahirkan satu bentuk peradaban baru yang bercorak spiritual dan dikenal kebesarannya dalam sejarah. Dengan kata lain agama sebagai satu visi mampu mendorong lahirnya peradaban agung dan bukan justru sebaliknya, menjadi kekuatan yang menghancurkan peradaban. Dengan kata lain melalui dialog Ikeda-Gus Dur mengenai kehidupan Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni kita bisa menemukan satu paralelitas penting di mana misi kenabian dan juga pengajaran Dharma (hukum kebenaran) memiliki dimensi civilizational renewal (pembaharuan peradaban). Agama mendorong lahirnya peradaban yang memanusiakan manusia atau peradaban yang berupaya mewujudkan kebahagiaan dalam arti holistik.

Sebagai penutup, Gus Dur dikenal dengan salah satu kata mutiaranya yang berbunyi “Peace without justice is illusion” (perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi) -sebagaimana juga terpampang pada website dan kaos produksi GUSDURian-. Dari dialog yang dilakukan Gus Dur dan Ikeda mengenai sosok Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni, kita dapat menambahkan satu dimensi lagi dari perdamaian hakiki yakni kebahagiaan. Sehingga kita bisa memodifikasi ucapan Gus Dur di atas menjadi berbunyi “Peace without happiness is illusion” (perdamaian tanpa kebahagiaan adalah ilusi). Kedamaian dalam konteks ini bukan bermakna kebahagiaan dalam definisi hedonis, tetapi konsep kebahagiaan komprehensif yang mencakup kebahagiaan fisik dan ruhani sebagaimana ditekankan baik dalam tradisi Islam maupun Buddhisme.

Dengan kata lain kita bisa katakan bahwa agama memiliki andil besar dalam mewujudkan perdamaian hakiki di muka bumi ini jika para penganutnya dapat menangkap salah satu pesan utama dalam agama, yakni berorientasi pada kebahagiaan yang hakiki, tidak hanya pada manusia tetapi juga pada semua makhluk di jagat raya ini. Jika spirit ini yang direalisasikan maka bukan tesis Huntington yang sekiranya mewujud di dunia ini yakni benturan antar peradaban tetapi tesis Arnold Toynbee yakni kerja sama antarperadaban, yang didorong oleh kerja sama antarpemeluk agama untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi ini.

Kita juga bisa katakan bahwa melalui diskusi Gus Dur dan Ikeda tentang sosok Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni kita bisa pahami bahwa kebahagiaan yang komprehensif meniscayakan upaya transformasi spiritual baik di level individu dan masyarakat. Transformasi tersebut bukan merupakan satu hal yang mudah, akan tetapi belajar dari kisah hidup Nabi Muhammad dan Buddha Sakyamuni, upaya transformasi tersebut membuahkan efek yang dramatis baik dalam konteks masyarakat Arab ataupun India yang kemudian meluas ke berbagai wilayah lain seiring dengan ekspansi agama Islam ataupun agama Buddha.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan tidak terpisahkan dari proses transformasi individu dan sosial yang bersifat “radikal.” Namun “radikal” dalam konteks ini mesti dipahami dalam konteks spiritual bukan dalam arti “politik-revolusioner” yang sering kali “berdarah-darah.” Pemahaman yang utuh dan tepat tentang proses transformasi spiritual inilah yang sekiranya dapat dipelajari dari Sirah Nabawiyah (Sejarah hidup Nabi Muhammad) ataupun dari sejarah hidup Buddha Sakyamuni.

Dalam konteks inilah proses literasi menjadi sangat penting. Bukan hanya aksi/tindakan berbekal semangat dan emosi belaka sehingga menyalahartikan ide tentang transformasi individu dan sosial dengan lensa politik-revolusioner yang justru mendistorsi semangat dari proses transformasi tersebut dari bercorak “spiritual” ke arah politis (dengan kata lain logika politik “menyetir” logika spiritual, bukan sebaliknya) yang menjadi berkebalikan dari visi besar transformasi tersebut yang menghendaki kebahagiaan bukan nestapa dan ketakutan.

Dari diskusi yang dilakukan oleh Gus Dur dan Ikeda kita bisa memahami bahwa keduanya memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sejarah hidup dua tokoh besar dunia tersebut, sehingga melahirkan satu proses diskusi yang sarat dengan makna dan inspirasi bagi siapa pun yang membaca atau mendengarkannya. Dialog peradaban semacam inilah yang mesti digalakkan, bukan dialog berbasis prejudice ataupun bias yang justru akan menghambat proses dialog antarperadaban yang pada gilirannya akan menghambat terealisasinya kedamaian, keadilan, dan kebahagiaan yang menjadi vital untuk direalisasikan dalam peradaban kontemporer saat ini yang ditandai dengan alienasi dan absurditas akibat pengaruh kuat cara berpikir materialisme, saintisme, dan hedonisme secara global.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.