Social Media

Gus Dur dan Perempuan Pesantren

Salah satu isu yang dibahas pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Lampung 23-25 Desember 2021 adalah calon Ketua Umum PBNU (Tanfidziyah). Dalam perjalanan sejarah NU dimulai, memang dari kalangan perempuan belum pernah ada yang menjabat sebagai Tanfidziyah. Aspirasi perempuan NU sendiri, dilibatkan melalui badan otonom seperti Muslimat, Fatayat, maupun IPPNU.

Sebenarnya, menurut Rumadi Ahmad (Lakpesdam PBNU) seperti dikutip pada laman CNN, dalam AD/ART kepengurusan NU, tidak ada kriteria khusus antara laki-laki dan perempuan sebagai syarat dipilih menjadi ketua. Semua itu diserahkan kepada muktamirin (peserta muktamar) apakah menghendaki ataupun tidak. Yenny Wahid sebagai figur perempuan dalam NU mendukung langkah jika ketua Tanfidziyah suatu saat bisa dijabat oleh perempuan.

Pandangan Mbak Yenny tentang pemimpin perempuan tentu tidak terlepas dari konteks latar belakang keluarga, pendidikan, dan pengalamannya sebagai aktivis sosial. Sebagai pribadi yang terlahir dalam keluarga pesantren sekaligus putri dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Bu Shinta, nilai-nilai di keluarga memengaruhi perjalanan pemikirannya. Figur ibunya juga turut membentuk pribadi dan pandangan Yenny Wahid tentang isu-isu perempuan pesantren.

Gus Dur sebagai figur nasionalis mempunyai pandangan luas dalam hal bernegara dan pengetahuan tentang Islam yang mumpuni. Ide Gus Dur tentang pluralisme beragama memberikan perspektif awal tentang keberagaman bagaimana menjadi seorang muslim di Indonesia. Ide-ide tersebut menjadi pembuka awal bagi intelektual yang mengagumi pemikirannya, dan mengadopsi ke dalam berbagai bentuk pemikiran termasuk melihat perempuan dalam beragama.

Gus Dur dan Muktamar NU

Banyak pengamat menyebutkan jika pendapat Gus Dur tidak secara langsung memberikan ulasan isu-isu keperempuanan. Pemikiran Gus Dur berkecimpung pada isu-isu dunia modern yang memiliki dialektika ruang dengan umat Islam. Gagasannya tentang pluralisme, demokrasi, universalisme, memberikan opsional dalam cara berpikir yang beragam pada setiap permasalahan bernegara.

Gus Dur dalam melihat isu perempuan menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam asas pemikiran tentang keseimbangan. Dalam esai “Paradigma Pembangunan Masyarakat melalui Pesantren” Gus Dur mendefinisikan keseimbangan berkaitan dengan penggunaan sebuah posisi kekuasaan yang meletakkan dasar dari prinsip al-kulliyah al-khamsah (lima jaminan dasar), yakni terpeliharanya keyakinan/agama, fisik, kesucian keluarga, harta milik, dan jaminan keselamatan profesi. Kelima prinsip dasar tersebut dianggap sesuai dengan universalisme nilai-nilai Islam yang termanifestasi pada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya perempuan.

Pemikiran Gus Dur atas nilai keseimbangan tersebut agaknya tertuang dari rekaman historis Gus Dur sebagai ketua umum PBNU dari 1984-1999 untuk hak-hak perempuan. Munas di Lombok pada 1997 menghasilkan keputusan kebolehan perempuan menjabat sebagai wakil kepala negara. Konteks saat itu berada di seputar pencalonan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut, putri Soeharto) yang akan mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Pada Juli 1999 Muktamar NU Kediri, saat itu dihadiri Gus Dur sebagai ketua Tanfidziyah. Ibu Shinta Nuriyah mengadakan seminar bertajuk FiqhunnisaTafsir Wacana Gender dalam Kontekstualisasi Pemikiran Islam Klasik. Pada muktamar yang diketuai oleh Kiai Said Aqil Siradj ini membahas salah satunya adalah isu presiden perempuan. Hasil Muktamar menghasilkan keputusan, jika perempuan boleh menjadi pemimpin negara maupun wakil pemimpin negara.

Polemik pembahasan pemimpin perempuan selama ini dipandang sebagai usaha merekonstruksi teks fikih Islam yang selama ini belum dipahami secara utuh. Melalui rekonstruksi fikih klasik sebagai usaha kontekstualisasi zaman memungkinkan terhindar dari pembacaan literal. Usaha itu juga memberi peluang perempuan secara umum bisa mengakses ruang publik dalam berpartisipasi di sektor ekonomi, sosial, politik, pendidikan.

Contoh pembacaan ini, secara sosial dilakukan oleh Ibu Shinta Nuriyah dalam merekonstruksi fikih kitab Uqud al-Lujayyn tertuang dalam lingkar LSM Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) dan Puan Amal Hayati. Kitab tersebut merupakan karya Syaikh Nawawi Banten yang membahas relasi suami-istri yang banyak dijadikan kitab rujukan pesantren Indonesia. Bersama Kyai Husein Muhammad, Ibu Shinta Nuriyah memberikan kesimpulan jika dalam kitab tersebut banyak mengandung tafsir yang timpang gender. Hasilnya melalui buku Kembang Setaman Perkawinan, diberikanlah ulasan-ulasan kritis disertai argumentasi pembaruan relasi suami-istri yang juga menggunakan perspektif Al-Qur’an dan Hadis.

Gus Dur dan Genealogi Keluarga

Pribadi dan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang kita kenal, tentu tidak terlepas dari latar belakang historis kehidupan keluarga, sosial, dan pendidikannya. Sebagai putra Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solihah, Gus Dur dibebaskan untuk membaca dan mempelajari apa saja yang ada di perpustakaan rumahnya di Jakarta. Tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur, Wahid Hasyim mengharuskan anak-anaknya untuk menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya dan berpikir seluasnya agar cakrawala dunia bisa menumbuhkan kesadaran berpikir.

Nyai Solihah sebagai ibunya, juga memiliki jabatan struktural di Muslimat NU, termasuk menjadi anggota DPR GR saat era Orde Lama dan MPR saat Orde Baru serta tergabung dalam partai politik. Pengalaman yang dilihat secara langsung pada figur ibunya, menjadi tolak berpikir Gus Dur sebagai perspektif perempuan dalam karir politik.

Nyai Solihah merupakan putri dari Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah yang mendirikan pesantren Denanyar di Jombang. Menurut Eka Srimulyani dalam Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia Pesantren, Pesantren Denanyar dinilai sebagai pesantren tradisional pertama yang membolehkan perempuan untuk belajar menuntut ilmu keagamaan.

Awalnya, Pesantren Denanyar yang didirikan pada 1917 hanya membuka kelas pesantren untuk santri laki-laki. Usaha awal dalam membuka pesantren perempuan, dimulai saat perempuan memperoleh ilmu pengetahuan keislaman lewat pengajian-pengajian kecil. Pengajian juga masih bertempat di sekitaran serambi teras depan rumah Kiai Bisri yang belum memiliki ruangan khusus. Santriwati yang mengaji hanya diikuti oleh beberapa santriwati yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga pesantren. Setelah kemunculan pengajian putri mendapatkan respons dan pengakuan masyarakat, barulah pada tahun 1930 pengajian putri berubah menjadi pesantren perempuan dengan santriwati yang semakin meluas.

Usaha tersebut tidak bisa terlepas dari peran Nyai Nurkhodijah yang berusaha meyakinkan suaminya, Kiai Bisri, untuk memberikan ruang perempuan belajar tentang Islam. Walaupun di sisi lain Kiai Bisri tidak mendapat izin secara langsung maupun larangan secara tegas dari gurunya, Hadratussyaikh Hasyim Asyari (kakek Gus Dur dari pihak ayah). Hingga pada saat Muktamar NU di Menes Banten tahun 1938 menghasilkan keputusan bahwa perempuan berhak memperoleh pendidikan di pesantren.

Clifford Geertz menyebut peran kiai memiliki fungsi sebagai cultural broker (perantara kebudayaan dalam masyarakat). Fungsi tersebut biasanya termanifestasikan dalam social agent yang menjadi penghubung sekaligus penggerak masyarakat. Selain menjadi pemimpin pesantren secara keseluruhan, kiai juga memiliki legitimasi sosial secara kharismatik. Posisi kharismatik kiai menjadi simbol tata aturan pesantren bisa termanifestasikan dalam tradisi pesantren.

Dari latar belakang Gus Dur sebagai seorang bapak, kiai, tokoh nasional, dan beragam atribut besar yang menyertainya, telah memberikan pijakan besar tentang bagaimana seni menjadi manusia. Figur Gus Dur sebagai seorang laki-laki, menjadi teladan bahwa struktur sosial yang ramah perempuan bukan hanya berasal dari usaha perempuan sendiri, tapi bersama laki-laki harus berpartisipasi mewujudkannya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang memiliki perspektif gender, bisa menjadi lembaga pembaruan.

______________

Tulisan ini adalah hasil kerja sama neswa.id dan Jaringan GUSDURian untuk #IndonesiaRumahBersama

Penulis pernah menempuh pendidikan di prodi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi UNNES Semarang. Saat ini tergabung di komunitas GUSDURian Cilacap, Jawa Tengah.