Social Media

Gus Dur dan Perjuangan Kesetaraan Gender sebagai Basis Ketauhidan

Berbicara mengenai kesetaraan gender mungkin bukan hal yang aneh saat ini. Namun coba kita flash back bagaimana istilah gender di masa Orde Baru. Jangankan berbincang mengenai kesetaraan, penyebutan namanya saja sudah bermuatan politis. Wanita di masa pra-kemerdekaan memiliki arti wani ing tata. Mereka independen dan diberikan akses untuk ikut berjuang melawan penjajah sebagaimana perjuangan para lelaki.

Pasca-kemerdekaan, perjuangan perkumpulan wanita terus berlanjut untuk menyuarakan hak-haknya. Salah satunya adalah hak untuk ikut serta dalam politik, hak untuk memperoleh pekerjaan dan upah yang layak dan kesetaraan dalam kehidupan rumah tangga. Perjuangan ini membuahkan hasil yang memuaskan, antara lain dikeluarkannya UU No 80 tahun 1958 tentang kesamaan gaji pria dan wanita untuk sektor yang sama, dan diberi hak untuk menjadi anggota parlemen.

Memasuki masa Orde Baru, makna wanita yang digunakan sebagai bentuk penghormatan telah mengalami distorsi. Wanita tak lagi dimaknai sebagai individu yang berdaya namun diartikan sebagai bagian dari kesempurnaan pria. Narasi domestikasi wanita sebagai bentuk kesempurnaan yang hakiki terus digaungkan.

Organisasi dan perkumpulan wanita harus berada di bawah naungan pemerintah. Soeharto secara masif mereproduksi superioritas laki-laki atas perempuan. Posisi wanita dalam struktur organisasi ditentukan oleh jabatan suaminya, bukan karena kapasitasnya dalam memimpin. Hanya wanita yang suaminya berprofesi sebagai politikus saja yang diberi hak untuk masuk dalam organisasi politik.

Wanita yang baik direpresentasikan sebagai pribadi yang manut dan patuh pada suami, tidak neko-neko, lemah lembut, merawat anak dengan baik, dan tidak banyak menuntut. Sedangkan kata perempuan mengalami proses peyorasi yaitu berubah menjadi makna negatif. Diksi perempuan direpresentasikan sebagai pergerakan yang masif, mendobrak kodrat, dan anti-kemapanan.

Perempuan hanya didoktrin untuk menjalankan kewajiban domestiknya, dituntut untuk menaati suami secara mutlak namun tak ada hak yang ia dapatkan. Bahkan mereka tertekan secara ekonomi karena tak mampu memberikan gizi yang cukup bagi anak di tengah krisis moneter yang mencekik perekonomian negara.

Pasca-Reformasi, sedikit demi sedikit organisasi perempuan mulai menghilangkan legacy patriarki yang dibangun oleh Orde Baru. Puncaknya terjadi di masa pemerintahan Gus Dur, antara lain:

  1. Gus Dur berhasil membawa isu gender ke dalam isu pemerintahan melalui Instruksi Presiden (lnpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
  2. Perubahan nama kementerian dari Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
  3. Menjadikan perempuan sebagai subjek kebijakan. Dalam Inpres Pengarusutamaan Gender, pengalaman-pengalaman perempuan dijadikan fokus. Supaya kebijakan dari mulai formulasi, implementasi, sampai evaluasi itu tidak bias gender.

Gus Dur dengan kebijakannya yang responsif terhadap perempuan di masa tersebut, tentu banyak mengalami jalan terjal dalam hal implementasi. Jangankan berbicara mengenai kebijakan, perdebatan mengenai apakah perempuan makhluk domestik atau publik masih menjadi kontroversi yang tak menemukan jalan akhir. Namun, 23 tahun setelah inpres tersebut dikeluarkan, kita bisa melihat bagaimana kebijakan tersebut sangat berdampak di masa saat ini.

Ada banyak kebijakan turunan dari PUG yang saat ini sudah mulai diterapkan di berbagai lembaga publik. Di antaranya adalah adanya kebijakan penganggaran responsive gender di kementerian, perguruan tinggi, dan lembaga pemerintahan lainnya. Munculnya inisiasi PTRG, PMA No 73 tahun 2022 tentang pencegahan KS di Perguruan Tinggi, Permen Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Kebijakan responsive gender yang saat ini kita rasakan tak lain adalah buah dari perjuangan Gus Dur dalam melakukan pengarusutamaan gender. Sebagai kepala rumah tangga, Gus Dur juga seorang feminis yang menerapkan prinsip keadilan dalam rumah tangga. Hal ini terlihat dari bagaimana kiprah Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan hak-hak perempuan melalui Yayasan Puan Amal Hayati. Kesamaan visi dan misi antara Gus Dur dan Nyai Hj. Sinta Nuriyah Wahid untuk memanusiakan manusia baik laki-laki dan perempuan diperjuangkan dengan caranya masing-masing.

Gus Dur tidak membatasi aktivitas Nyai Hj. Sinta Nuriyah Wahid untuk segala aktivitas yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebaikan. Bersamaan dengan Gus Dur memperjuangkan kemanusiaan perempuan di tingkat kebijakan, Nyai Hj. Sinta Nuriyah menyerukan penolakan kekerasan dalam rumah tangga, mengkaji kembali kitab klasik dengan pendekatan pengalaman perempuan, dan menegaskan relasi kesetaraan antara suami istri.

Sebagai tunas GUSDURian yang membawa nilai-nilai dan pemikiran Gus Dur, tentu tugas kita selanjutnya adalah bagaimana meneruskan perjuangan kesetaraan gender yang telah dicontohkan oleh Gus Dur dan Bu Nyai Sinta. Jangan mengaku GUSDURian jika masih mendomestikasi perempuan, jangan mengaku GUSDURian jika masih merasa satu jenis kelamin tertentu lebih baik dan lebih mulia dari jenis kelamin lainnya. Karena manusia baik laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai khalifatullah fil ardhi yang memiliki misi membawa kebaikan di dunia.

“Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki, sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya”

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Pembina Komunitas GUSDURian Ponorogo. Dosen di IAIN Ponorogo, Jawa Timur.