Social Media

Gus Dur di Mata Dzulkifli Abdul Razak

Ketokohan Gus Dur tidak hanya diakui oleh akademisi Indonesia saja, tetapi juga akademisi Barat maupun Timur. Salah satu akademisi Timur kontemporer yang mengakui ketokohan Gus Dur ialah Osman Bakar, salah seorang filsuf muslim Malaysia sekaligus murid “senior” dari Hossein Nasr yang juga seorang filusuf muslim kenamaan dunia. Rekognisi Osman Bakar terhadap ketokohan Gus Dur dibuktikan dari upayanya menerjemahkan satu karya yang berisikan transkrip dialog antara Gus Dur dan Daisaku Ikeda -pemimpin salah satu organisasi Buddha kontemporer di Jepang bernama Sokka Gakkai- ke dalam bahasa Malaysia.

Sebelumnya karya tersebut telah terbit dalam bahasa Jepang, Indonesia, Inggris, Prancis, dan Mandarin. Barulah melalui usaha Osman Bakar, buku tersebut dapat terbit dalam bahasa Malaysia dan diberi judul Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan (2022): sebagai perbandingan edisi Indonesia dari tulisan tersebut diberi judul Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian (2010).

Menariknya, selain karena upaya dari Osman Bakar menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Malaysia, karya tersebut juga tidak mungkin terbit tanpa dukungan institusional dari International Islamic University Malaysia (IIUM). IIUM sendiri merupakan institusi payung dari lembaga International Institute of of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), tempat di mana Osman Bakar berkarya.

Dukungan institusional ini bahkan secara terbuka disampaikan oleh rektor IIUM Dzulkifli Abdul Razak dalam launcing buku tersebut di ISTAC-IIUM pada 7 Januari 2023 lalu. Dalam kesempatan itu, Dzulkifli menyatakan bahwa penerbitan buku ini sesuai dengan visi universitas yang dipimpinnya. Bahkan menurutnya menjadi karya penting yang relevan bagi visi unversitas secara umum di seluruh dunia.

Dukungan terbuka Dzulkifli tersebut menunjukkan bahwasanya pemikiran Gus Dur tidak hanya mendapatkan respons positif dari sejumlah akademisi secara personal, tetapi juga mendapatkan satu respons positif dari sebuah institusi pendidikan tinggi di dunia internasional, dalam hal ini IIUM yang juga dikenal sebagai kampus yang berupaya membumikan gagasan Islamisasi Pengetahuan.

Tentunya menjadi menarik untuk memahami alasan di balik dukungan sang rektor IIUM Dzulkifli Abdul Razak atas publikasi karya Gus Dur tersebut. Dalam rangka memahami arti penting karya Gus Dur tersebut di mata sang rektor, maka tulisan ini berupaya menyarikan sekaligus merefleksikan pandangan positif Dzulkifli atas pemikiran Gus Dur dan Ikeda yang tercermin dari pidatonya di ISTAC tersenut.

Dalam pidatonya pada acara launching buku dialog Gus Dur-Ikeda edisi bahasa Malaysia tersebut, Dzulkifli memulai dengan memaparkan bahwa universitas mestinya terlibat aktif dalam upaya membangun peradaban dunia, termasuk juga terlibat dalam perbaikan kualitas kehidupan umat manusia. Namun realitasnya keterkaitan antara universitas dan peradaban pada hari ini dapat dikatakan tidak lagi terbangun. Universitas lebih disibukkan dengan “autismenya”, yakni berupaya untuk bersaing dengan universitas di berbagai belahan dunia lain untuk menggapai ranking yang tinggi. 

Selain problem “autismenya” tersebut, universitas juga lebih hirau dengan soal mencetak tenaga kerja, dan bahkan menjadikan kampus sebagai “mesin pencetak uang” lewat berbagai proyek yang dikelolanya. Bagi Dzulkifli, realitas tersebut menunjukkan bahwa dunia akademik telah mengalami disorientasi akut dan perlu diubah paradigmanya sedemikin rupa. Dzulkifli berpikir bahwa masalah utama yang semestinya mendapat perhatian dari universitas adalah bagaimana ia mampu terlibat aktif dalam membangun peradaban yang berbasis nilai-nilai “kehidupan” dan bukannya “kematian.” Ironisnya peradaban saat ini -menurut Dzulkifli- justru mengafirmasi nilai “kematian” ini.

Nilai-nilai “kematian” yang dimaksud Dzulkifli ialah peradaban kontemporer, ditandai dengan terjadinya konflik, kebencian, bias, hingga kerusakan alam yang akut. Dengan kata lain peradaban yang tegak saat ini adalah peradaban yang “tidak ramah”, baik terhadap manusia maupun kepada alam sekitar. Peradaban semacam ini menurut Dzulkifli tidaklah mampu menyokong kehidupan yang berkualitas, di mana terbukti dari makin banyaknya ancaman pada kemanusiaan dan juga lingkungan yang terjadi dalam skala yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dzulkifli memberikan ilustrasi mengenai pandemi Covid-19 yang menurutnya menunjukkan kerentanan umat manusia secara global dalam upaya untuk mempertahankan hidupnya sebagai spesies.

Pandemi Covid 19, di mata Dzulkifli, mengguncang aspek fundamental dari kehidupan dari manusia, yakni life (kehidupan) dan bukan lagi lifelihood (penghidupan). Dalam situasi pandemi misalnya, seorang yang memiliki uang berlimpah tidak dapat menggunakannya sebagaimana sediakala karena misal ia terhalang oleh kebijakan lockdown. Bahkan ketika pandemi sedang mengalami puncaknya, maka batas antara hidup dan mati seseorang menjadi semakin tipis dan saat itulah melimpahnya uang dapat dikatakan tidak lagi “berdaya” untuk menyokong kehidupan manusia.

Bagi Dzulkifli, pandemi Covid-19 semestinya menjadi bahan refleksi tentang bagaimana kehidupan dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan mestinya menjadi suatu yang harus diperjuangkan oleh umat manusia secara bersama. Peran universitas dalam hal ini mestinya menjadi institusi yang terdepan upaya mentransformasikan peradaban kontemporer ke arah peradaban yang menjunjung tinggi nilai “kehidupan” bukan lagi “kematian.” Sayangnya bagi Dzulkifli, aspek nilai inilah yang sampai saat ini cenderung absen untuk diperjuangkan berbagai universitas karena dikalahkan dengan logika pragmatisme semacam ranking dan penciptaan tenaga kerja yang mencegah peran aktif universitas dalam transformasi peradaban tersebut.

Dzulkifli sedikit berbangga bahwa kampus yang dipimpinnya merupakan contoh kampus yang tidak larut dalam logika pragmatisme tersebut. Hal ini menurut Dzulkifli tidak dapat dilepaskan dari nilai yang dipegang IIUM, yakni sebagai kampus yang dibangun diatas prinsip Rahmatan lil alamin yang merupakan spirit dari ajaran Islam. Bagi Dzulkifli, spirit Islam yakni Rahmatan lil alamin itulah yang membuat institusinya terus berkomitmen untuk turut serta terlibat dalam penguatan nilai-nilai “kehidupan” dan bukannya “kematian.”

Dalam konteks keterlibatan universitas itulah Dzulkifli melihat bahwa pemikiran Gus Dur dan Ikeda yang tertuang dalam karya Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan (2022) merupakan gagasan yang krusial dalam upaya memupuk kultur kehidupan tersebut secara global. Begi Dzulkifli, pesan penting yang dibawa dalam karya tersebut adalah toleransi dan wisdom (kebijaksanaan) memiliki peran positif dalam upaya membangun kultur global yang tidak lagi ditandai oleh bias, prejudice, dan kebencian terhadap pihak lain.

Dzulkifli misal mencontohkan masih banyak miskonsepsi yang muncul di tengah publik global tentang agama Islam sehingga memicu tindakan Islamophobia yang menargetkan kaum Muslim. Tindakan Islamophobia semacam ini tentunya meningkatkan atmosfer konflik yang lebih luas terlebih jika aksi Islamophobia tersebut berupa pembakaran Quran misalnya sebagaimana yang dilakukan sejumlah kalangan Islamophobic di Eropa. Tindakan semacam ini akan semakin merenggangkan relasi dunia Islam dan Barat misalnya. Bagi Dzulkifli, buku Gus Dur-Ikeda tersebut sekiranya mampu menghapuskan miskonsepsi tersebut sehingga kultur Islamophobia dapat diubah menjadi kultur yang respek dan bahkan cinta pada Islam (love of Islam).

Bagi Dzulkifli, kultur kehidupan secara luas dapat dipupuk jika spirit toleransi dan wisdom -yang juga menjadi ruh dari karya tersebut- dapat menyebar luas secara global pula. Pandangan Dzulkifli beralasan sebab jika nuansa kebencian, konflik, dan juga bias terus terpelihara maka sama artinya dengan menyulitkan kerja sama antarbangsa, antarpemeluk agama, dan antarsesama manusia sebagai satu spesies untuk bersama-sama “menyelamatkan bumi” lewat aneka kerja-kerja kemanusiaan dan kerja ekologis. Spirit toleransi dan wisdom tersebut dapat terjuwud ketika kultur dialog dapat dikembangkan sedemikian rupa. Buku Gus Dur-Ikeda sekaligus memperlihatkan kepada publik internasional bahwa dialog yang dibangun diatas spirit hormat-menghormati dan saling memperkaya wawasan dapat terlaksana dengan baik.

Lebih jauh Dzulkifli juga membicarakan arti penting buku tersebut bagi terjuwudnya dialog antara umat Islam dan pemeluk Buddha. Dialog semacam ini dapat dikatakan menjadi urgen karena baik Islam maupun Buddhisme merupakan agama dengan pemeluk yang besar secara internasional. Sehingga dengan adanya buku yang mampu menguraikan posisi Islam maupun posisi Buddhisme dalam berbagai aspek kehidupan sekiranya mampu menepis berbagai bias atau prejudice yang mungkin muncul di antara kedua pemeluk agama tersebut. Bisa dikatakan pandangan Dzulkifli tersebut senada dengan Osman Bakar yang melihat dialog Islam dan Buddhisme menjadi krusial dalam upaya membangun ASEAN secara lebih kokoh ke depannya.

Dzulkifli tidak menampik adanya perbedaan antara Islam dan Buddhisme atau dengan agama lainnya. Namun yang terpenting dalam konteks peradaban bagi Dzulkifli ialah bagaimana pencarian akan common ground di antara agama-agama tersebut. Penemuan terhadap common ground tersebut akan memungkinkan pemeluk kedua agama tersebut untuk tidak sungkan bekerja sama dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam konteks kemanusiaan dan lingkungan hidup bagi perbaikan peradaban ke depannya. Bagi Dzulkifli, buku tersebut memiliki arti penting dalam upaya menghadirkan common ground terkait berbagai dimensi peradaban Islam dan Buddhisme.

Meskipun dalam pidato di ISTAC tersebut Dzulkifli memaparkan arti penting buku tersebut secara institusional institusi IIUM, yakni dalam rangka meneguhkan fungsi univeritas bagi pembangunan peradaban, namun Dzulkifli juga menegaskan pentingnya membuka ruang bagi diskusi kritis atas isi dari buku tersebut. Dzulkifli menekankan fungsi universitas -yang juga ia junjung di IIUM- di mana kampus harus menjadi ruang yang kondusif bagi munculnya berbagai ide-ide yang berlainan dalam koridor akademik. Maka dari itu, bagi Dzulkifli orang boleh saja tidak setuju misal dengan sebagian ide Ikeda atau Gus Dur dalam buku tersebut.

Menurut Dzulkifli, justru dengan munculnya ketidaksetujuan disertai dengan alasan-alasan rasionalnya dapat mengidupkan tradisi ilmiah di kampus yang sekiranya tumbuh dari suasana “dialektis” semacam ini. Dialog kritis terkait buku tersebut merupakan hal yang positif dalam rangka menguatkan atau memperbaiki sejumlah ide yang disampaikan buku tersebut. Harapannya dengan semakin diberdebatkan secara akademik, tawaran yang dihadirkan lewat buku tersebut dapat terus “dipertajam” ke depannya sehingga ketika coba didiseminasikan sedemikian rupa ke publik secara global ide-ide tersebut akan lebih “matang.”

Sebagai penutup, kita bisa simpulkan bahwa sebagaimana Osman Bakar yang melihat bahwa buku tersebut menolak tesis Huntington tentang benturan peradaban, Dzulkifli juga melihat buku tersebut selaras dengan penguatan nilai kehidupan dalam konteks peradaban global kontemporer. Dzulkifli melihat bahwa kultur dialog, toleransi, dan wisdom yang menjadi wacana utama buku tersebut merupakan penopang penting bagi terealisasinya peradaban yang beroientasi kepada “kehidupan” dan bukannya “kematian.”

Lebih jauh, Dzulkifli melihat nilai strategis dari buku tersebut secara institusional yakni dalam konteks pendidikan tinggi di mana buku tersebut menurutnya dapat menjadi sumber inspirasi penting bagi berbagai pihak untuk memikirkan ulang arti pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi mestilah digerakkan oleh spirit values (nilai) yakni nilai kehidupan dan bukan pragmatisme yang justru mengukuhkan status quo tatanan dunia saat ini yang cenderung mengafirmasi spirit “kematian” baik pada sesama manusia maupun makhluk yang lain.

Baik Gus Dur dan Ikeda percaya bahwa pendidikan mestinya terkait dengan pembangunan manusia secara holistik dan tidak sekedar berorientasi kepada etika dan bukan perkera teknis belaka. Perkara teknis itu adalah hal yang penting namun tanpa etika, kepiawaian teknis itu justru sering kali -dan ini yang terjadi- pada berbagai petaka mulai dari ekspoitasi sesama manusia hingga kerusakan alam yang dahsyat.

Dengan kata lain pendidikan melalui pembangunan manusia akan berujung pada tegaknya peradaban yang humanis dan ekologis serta spiritual. Sedangkan pendidikan yang berorientasi semata kepada masalah teknis justru berkontribusi pada tatanan peradaban bersendikan spirit “kematian” sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Maka bagi Dzulkifli ide khas tentang arti pendidikan yang disuarakan oleh Gus Dur dan Ikeda inilah yang coba terus ditumbuhkembangkan oleh institusi IIUM sebagai universitas yang berkomitmen pada spirit Islam yakni rahmatan lil alamin.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.