Social Media

Gus Dur, Islam, dan Jalan Kebenaran

Kalangan Nahdliyin pasti akan kesulitan menempatkan di mana posisi Gus Dur semasa hidupnya. Sepintas lalu ia tampak berdiri di jalur Manunggaling Kawula lan Gusti (Wahdatul Wujud) versi Syekh Lemah Abang yang ia dapatkan dari Pangeran Herucakra, dan bersambung sanadnya hingga sampai pada Syekh Al-Akbar ibn ‘Arabi. Pada sisi lain, Sheng Ren Djin (manusia yang disucikan) menurut masyarakat Tionghoa itu, teguh memegang prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dianut Sunan Kalijaga—dan jadilah ia wali kesebelas di Nusantara.

Berdasar pengakuan cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari itu, ia adalah keduanya. Karena memang bertalian darah dengan Syekh Siti Jenar yang menikahi putri Sunan Kalijaga. Menurut kami, Gus Dur adalah buah manis dari kawin silang dua kutub besar Islam. Lahir dan Batin. Seorang Muslim tak pernah sungguh benar bisa mengelola sisi lahirnya tanpa mengurusi soal batin. Pun demikian sebaliknya. Allah batin bagi kita, Dia lahir bagi kita. Manusia itulah rahasia-Nya, dan Allah menjadi rahasia manusia.

Wajar bila banyak orang di dunia ini, termasuk mereka yang sudah menjadi Muslim, tetap kebingungan bila ditanya apakah sejatinya Jalan Lurus (shiratal mustaqim), yang dikabarkan Al-Quran itu? Bukankah dalam kehidupan kita selama ini, lebih banyak yang menyoal benar-salah tinimbang lurus atau bengkok? Bila salah dihakimi. Bila benar diikuti. Padahal keduanya belum sama sekali menunjukkan kondisi jalan lurus sebagaimana yang diisyaratkan Islam. Misteri inilah yang digeluti Gus Dur semasa menyintas hidupnya di antara kita.

Sebuah jalan, kendati lurus, ternyata bisa menjebak siapa pun yang melintasinya. Jalan lurus, meskipun lurus, belum tentu satu-satunya jalan untuk sampai ke tujuan. Sebelum terlanjur jauh menjadi orang lurus, tak ada salahnya merenung lagi barang sejenak. Kita masih punya pilihan lain. Kami menyebutnya Islam jalan Kebenaran. Bagi mereka yang senang berpikir genit, pasti akan mengatakan, “Benar menurut kaidah siapa dulu? Benarmu apa benarku? Tahu dari mana kalau kau berada di jalan yang benar?”

Pertanyaan itu akan kami jawab dengan mudah, “Benar tak mungkin relatif. Benar sudah pasti bukan salah. Benar jelas tak berhubungan dengan kelurusan. Kebenaran tak diukur dari pelakunya, melainkan dari perbuatan yang ia lakukan. Karena Allah Mahabenar, maka kami lebih senang belajar pada-Nya tinimbang belajar pada orang-orang lurus. Laysal khata’ walakin laysa kadzalik: tidak salah tapi bukan itu. Senada dengan pesan Kanjeng Nabi dalam sebuah hadits Qudsi; “‘Araftu Rabbi bi Rabbi: aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.”

Bagi kami, Gus Dur telah menjelma sebagai anekdot dunia kita. Kami tak ingin terjebak pada idolatri. Pemujaan berlebih pada sosok manusia. Siapa pun manusia yang berhasil tampil selaku pemuka zaman, mestinya mewujud teladan bagi yang ditinggalkan. Tak perlu menjadi seorang Abdurrahman ad-Dakhil agar bisa menjadi Muslim yang baik, dan manusia sejati. Percayalah, Anda takkan kuat menyambangi para kiai dan manusia terbaik di zaman ini, baik yang masih hidup atau sudah berkalang tanah—sebagaimana yang dilakukan putra KH Wahid Hasyim tersebut.

Itu baru menyebut dua hal yang terkenal sebagai kegemarannya. Kita belum lagi membahas bagaimana cara ia bergaul dengan masyarakat internasional lintas agama-kebudayaan. Ia berkarib dengan penguasa Israel, Amerika, dan Cina. Tidak anti yang serampangan. Berbanding terbalik dengan kita yang benci Partai Komunis Indonesia, tapi bekerjasama dengan negara komunis seperti Rusia dan Tiongkok. Benci Yahudi tapi produk unggulan mereka dalam bidang teknologi, dipakai dengan kekaguman sedemikian rupa. Facebook (Metaverse), Instagram, YouTube, WhatsApp, cuma segelintir di antara yang tak bisa Anda jauhi saat ini dari kehidupan pribadi.

Mengamati soal di atas, maka harusnya kita tak lagi kebingungan memahami corak Gus Dur sebagai seorang kiai, pemimpin NU, ketua Partai Kebangkitan Bangsa, dan Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kerap kali dilandasi prinsip al-ukhuwah al-islamiyyah (persaudaraan Islam) dan al-ukhuwah insaniyah (persaudaraan manusia). Gaya kepemimpinan yang kini meluntur dan sulit dicari padanannya pada politikus Indonesia saat ini, bahkan pada manusia Indonesia kiwari.

Gus Dur berhasil menjadi manusia Indonesia paripurna. Sempurna pikir, laku, dan sikap. Ia tak jemu membawa Merah Putih Indonesia dalam dadanya, termasuk orang yang paling gemar merepotkan diri wara-wiri mengurusi perkara umat yang sedang diayominya, bahkan sampai ke mancanegara. Maka dari itu, mafhum jika kemudian Gus Dur menjadi milik siapa saja. Ia dicintai semua umat beragama, pun yang enggan ber-Tuhan sekali pun. Gus Dur tak hanya menjelma menjadi Indonesia. Ia malah telah mengajari kita bagaimana caranya merahmati alam semesta dan seisinya.

Kami lebih senang melihat Gus Dur dari nilai yang ia ajarkan dan wariskan, sebagaimana yang sering kami sampaikan pada rekan pejuang GUSDURian di mana saja. Gus Dur dan masanya telah rampung. Kita tak perlu merasa kehilangan sosoknya. Cukup sudah melankolia seperti itu. Kini, kita lah yang harus bertanggungjawab pada kehidupan yang terbabar di hadapan masing-masing. Kalau Gus Dur berhasil sampai di puncak tertinggi pencapaian hidup, kenapa kita tak bisa? Apa pula enggan melakoninya dengan jalan ninja yang sudah digariskan Allah—untuk diri pribadi.

Jadilah manusia. Bukan lelaki atau perempuan yang beragama, dengan embel-embel kesukuan dan golongan semata. Jangankan berislam yang jelas sudah bageur itu, memaksakan pikiran kita pada orang lain saja tak boleh. Keyakinan Anda pada satu hal, belum tentu sama diyakini oleh orang lain. Apalagi soal kebertuhanan. Apa yang kita tahu tentang tuhan bernama Allah, baru sebatas pengetahuan yang tak seutuhnya. Pun berdasarkan bukti, itu baru segelintir dari yang bisa dibuktikan. Itulah pentingnya mengenal diri sejati.

Silakan Anda bersusah payah membuktikan atau berbalahan dengan orang lain terkait ajaran Muhammad Saw. Tapi sadarilah, apa yang Anda katakan pun dengan penalaran terbaik, tetap lemah, sebab Anda tak pernah benar-benar melihat-mendengar Muhammad menyampaikannya langsung. Anda hanya bersandar pada riwayat. Pun yang merawi bergelar ulama, ia tetap manusia seperti Anda. Sama lemahnya. Satu lagi, ia bukan Muhammad yang Anda cari.

Sama seperti yang kami lakukan dalam karangan ini. Hanya sebagian kecil dari apa yang kami tahu tentang Gus Dur, bukan Gus Dur sebagaimana adanya. Jadi Anda tak usah terlampau percaya dengan yang kami tuliskan—pun dibuat dengan segenap kemampuan terbaik. Kenalilah Gus Dur dengan kemanusiaannya. Niscaya Anda akan menemukan khazanah tersembunyi yang selama ini tertabiri. Kenalilah Allah dengan Allah. Maka kaukan menyadari betapa kita semua adalah pengejawantahan-Nya yang tak terhingga.

Ada misteri dalam rahasia. Ada rahasia dalam misteri. Ada kita dalam diri yang lain. Ada yang lain dalam diri kita. Ada Hidup, yang sejatinya… Allah.

______________

Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.