Social Media

Gus Dur Membangunkan Rumah untuk Para Mantan Gerwani

Suatu hari di sebuah forum, Pak Djohan Effendi (Allah yarham), sahabat Gus Dur dan mantan Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid, berkisah tentang empat orang nenek yang berdesak-desakan di antara kerumunan orang yang ingin memberi penghormatan kepada jenazah Gus Dur.

Saat itu, begitu tersiar kabar bahwa Gus Dur wafat, ribuan orang berduyun-duyun ingin memberi penghormatan kepada jenazah Bapak Bangsa itu. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dipenuhi dengan orang-orang yang air matanya berlelehan karena kesedihan dan keharuan.

Di antara para pelayat itu, ada empat orang nenek yang turut berdesakan, berupaya sekuat tenaga mendekat ke jenazah Gus Dur. Tubuh ringkihnya jelas tidak kuasa memiyak kerumunan itu.

Melihat fenomena ganjil itu, Pak Djohan Effendi yang berada di sana terheran-heran dan jatuh iba. Dia kemudian memberi jalan kepada empat orang nenek tersebut untuk bisa mendekat ke jenazah dan memberi penghormatan.

Penasaran siapa keempat nenek itu, akhirnya Pak Djohan (begitu Djohan Effendi biasa dipanggil) bertanya kepada mereka. Mereka menjawab bahwa mereka adalah mantan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi perempuan sayap PKI (Partai Komunis Indonesia).

Dengan raut kesedihan yang tak bisa ditutupi, mereka menyatakan pada Pak Djohan bahwa Gus Dur telah membuatkan rumah untuk mereka dan kawan-kawannya. Andai Gus Dur tidak membangunkan rumah, mungkin mereka akan menggelandang di jalan-jalan karena memang tidak memiliki rumah untuk berteduh dan membaringkan tubuh tuanya.

Saat mendengar kisah itu, saya terdiam haru. Membeku! Saya tidak pernah meragukan komitmen Gus Dur terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Cerita tentang orang-orang yang dibantu Gus Dur atau bahkan orang-orang yang datang ke Gus Dur hanya untuk minta uang adalah cerita umum yang sangat mudah kita temukan. Tapi, saya tidak pernah membayangkan bahwa dia bisa bergerak sejauh itu, saat kebanyakan bangsa ini, bahkan orang yang paling terdidik sekalipun, masih memendam kebencian dan permusuhan terhadap segala hal yang berbau PKI.

Ya, di suatu pagi, tepatnya 8 Februari 2004, Gus Dur meresmikan sebuah Yayasan Panti Jompo yang terletak di Gang Kramat V No. 1 C, Jakarta Pusat, di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Panti Jompo ini dikhususkan bagi perempuan-perempuan bekas tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) yang menjadi korban Peristiwa 1965. Panti jompo itu diberi nama Waluyo Sejati Abadi.

Di panti itu, perempuan-perempuan eks-tapol yang selama rezim Soeharto disiksa fisiknya dan dinista kemanusiaannya itu kini memiliki rumah untuk menghabiskan sisa-sisa usianya. Waluyo Sejati Abadi menjadi saksi luasnya samudera kemanusiaan Gus Dur.

Dari sekian banyak presiden, Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang berani secara terbuka minta maaf kepada korban pembantaian 1965. Apakah karena Gus Dur tidak memiliki beban dituduh PKI karena latar belakangnya sebagai seorang kiai?

Dalam konteks Indonesia, tidak ada satu pun presiden yang tidak memiliki beban dalam membicarakan kasus pembantaian 1965. Ini bukan urusan beban atau tidak, ini adalah urusan komitmen.

Bangsa dan negara ini akan selalu berada dalam perpecahan jika tidak ada yang memulai untuk berbicara secara jujur tentang sejarah kelam itu, dan mengambil langkah rekonsiliasi yang tulus. Bagi orang seperti Gus Dur, jabatan dan nama baik tidak akan menjadi penghalang dirinya untuk melakukan langkah rekonsiliasi itu.

Dalam pidato Hari Hak Asasi Manusia Internasional, 10 Desember 1999, Gus Dur mengundang orang-orang Indonesia yang samai saat itu menjadi pelarian di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S, untuk pulang ke negerinya. Gus Dur juga memerintahkan para menterinya memulihkan hak-hak mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan.

Tidak sampai di situ, Gus Dur dengan sangat berani mewacanakan penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966 yang berisi pelarangan PKI beserta underbow-nya dan pengharaman ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia.

Apakah Gus Dur sadar konsekuensi dari apa yang dilakukannya? Langkah-langkah itu pasti sudah diperhitungkan. Ketika dia mengambil langkah tersebut, pertaruhaannya adalah jabatan politik atau keselamatan bangsanya dari perpecahan.

Bagi orang seperti Gus Dur yang suatu kali dengan gagah mengatakan bahwa “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”, dia pasti akan memilih menyelamatkan bangsanya ketimbang jabatannya sebagai presiden. Menurut beberapa kalangan, langkah-langkah Gus Dur itu salah satunya yang membuatnya dilengserkan dari kursi kepresidenan.

Itulah pemimpin sejati. Pemimpin sejati merelakan reputasinya hancur untuk merajut persatuan bangsanya, menghindarkan bangsanya dari perpecahan. Jika ada orang yang ke sana ke mari membangun reputasinya dengan cara mengaduk-aduk perpecahan bangsanya, dia bukanlah seorang pemimpin sejati.

“Kenyataan harus dikabarkan; Aku ‘bernyanyi’ menjadi saksi”.

Sumber: arrahim.id

Dewan Pakar Jaringan GUSDURian. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.