Social Media

Gus Dur Memorial Lecture di UIN Antasari Banjarmasin: Soroti Relasi Gus Dur, Hamka, dan Dunia Pemikiran

Komunitas GUSDURian Banjarmasin bekerja sama dengan UIN Antasari Banjarmasin menyelenggarakan Gus Dur Memorial Lecture pada Rabu (25/1) lalu. Kegiatan yang dilaksanakan di Auditorium Mastur Jahri tersebut dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang sedang bermukim di Ma’had al-Jami’ah UIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Gus Dur Memorial Lecture merupakan salah satu rangkaian acara Haul Gus Dur ke-13 yang dilaksanakan di kampus sebagai momentum untuk menghadirkan dan memperkuat kembali wacana pemikiran Gus Dur di tengah masyarakat, khususnya dari kalangan kampus.

Hairus Salim, salah seorang murid Gus Dur sekaligus “urang banua” tersebut menjadi pembicara pada acara yang mengambil tema “Hamka, Gus Dur, dan Saya: Jalan Seorang Pecinta Buku dan Dunia Pemikiran”. Kegiatan dimoderatori oleh Hairul Hudaya, Kepala UPT Ma’had al-Jami’ah UIN Antasari Banjarmasin.

“Gus Dur yang kita kenal sebagai tokoh bangsa, pejuang kemanusiaan, dan berpikiran terbuka, tidak terjadi secara tiba-tiba. Nanti akan dijelaskan bagaimana proses seorang Gus Dur menjadi sosok Gus Dur,” ujar Nur Solikhin, perwakilan Seknas Jaringan GUSDURian dalam sambutannya.

Ahmad Sagir, Wakil Rektor I UIN Antasari Banjarmasin dalam sambutannya mengatakan, “Kita mengenal bagaimana sosok Gus Dur sebagai seorang yang berwawasan luas dan berpikiran terbuka. Kita juga menginginkan mahasiswa yang terbuka, tidak eksklusif. Maka akan sangat baik apabila mahasiswa meneladani cara berpikir Gus Dur untuk menghadapi tantangan sekarang”.

Hairus Salim menceritakan bagaimana kehidupannya sejak kecil di kampung halamannya, bermain di sepanjang sungai, menunggu maghrib sampai malam di langgar (musala), membaca buku-buku milik ayahnya, mengagumi karya-karya Hamka seperti novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Di masa-masa akhir kehidupan Hamka, Salim menemukan pengantar Gus Dur tentang kritiknya terhadap karya Hamka. Awalnya Salim tidak setuju dengan kritik itu, namun akhirnya dapat diterima. Salim akhirnya bertemu Gus Dur, menjadi pengagumnya sekaligus menjadi muridnya.

“Kami sama-sama berlatar belakang pesantren. Santri yang bengal. Sama-sama kuliah sastra Arab tapi beda kampus. Sama-sama suka sastra, film, dan suka menulis. Saya merasa seperti bercermin melalui sosok Gus Dur,” ujar Salim.


Semangat intelektualnya terinspirasi dari Gus Dur. Saat Salim dan teman-temannya mendirikan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), ia sudah tidak jauh lagi dari Gus Dur sehingga tidak segan-segan sowan dan menginap di rumah Gus Dur. “Gus Dur sangat egaliter, mengobrol akrab diselingi humor. Beliau adalah guru bagi kami, namun beliau tetap mendengarkan kami seperti teman padahal usia kami terpaut jauh.”

“Melalui LKiS kami menyebarkan gagasan-gagasan Gus Dur. Saya sendiri yang menyunting tulisan-tulisan dan pemikiran Gus Dur. Saya menulis, namun bukan sakadar menulis. Minat menulis saya diisi dengan visi mendukung kesetaraan, Islam ramah, dan lain-lain, seperti yang dilakukan Gus Dur,” lanjutnya.

Gus Dur dengan berani membela yang harus dibela meski sendirian. Ia memiliki prinsip yang jelas, prinsip yang tidak dapat ditekuk. Gus Dur berbicara dengan tenang, runtut, meyakinkan, percaya diri, dan tetap diselingi humor. Itu yang membuat orang-orang terpukau, termasuk Hairus Salim.

“Saya berasal dari pedalaman Kalimantan sering tidak bisa membedakan huruf i-e, u-o. Saya benar-benar terpukau dengan penampilan Gus Dur, tidak seperti orang pesantren pada umumnya. Jika Anda punya kapasitas maka tidak punya alasan untuk rendah diri. Jika saat ini saya berdiri dengan percaya diri, maka itu pelajaran yang saya ambil dari Gus Dur,” ujar Hairus Salim.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.