Social Media

Gus Dur: Tokoh yang Berjasa bagi Umat Khonghucu Indonesia

“Untuk dapat melakukan transformasi ekstern itu, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama manusia.”[1]

Penggalan tersebut merupakan ungkapan Gus Dur ketika berbicara tentang transformasi dalam agama-agama. Ia mengusulkan adanya transformasi di dalam agama itu sendiri untuk selanjutnya melakukan transformasi ekstern, yakni mengubah komitmen agama dari yang hanya bersandar pada teks yang normatif belaka ke arah kepedulian akan nilai-nilai kemanusiaan.

Bagi Gus Dur, transformasi intern itu tidak hanya harus dilakukan oleh satu agama, Islam misalnya, melainkan juga agama lain dengan saling bekerjasama. Menurutnya, melalui upaya ini, tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai dasar universal yang akan menundukkan hubungan antaragama pada sebuah tatanan baru. Tatanan baru yang dimaksud Gus Dur adalah sebuah kerjasama antaragama dalam bentuk pelayanan kemanusiaan seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum, dan kebebasan menyatakan pendapat.

Dalam hal pelayanan kemanusiaan, Gus Dur tidak disangsikan lagi sebagaimana yang sudah ia lakukan terhadap umat Khonghucu di Indonesia terkait dengan keberadaan agamanya. Gus Dur, dengan apa yang telah diupayakan, adalah orang yang paling berjasa bagi umat Khonghucu di negeri ini. Kini mereka dapat menikmati ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, tanpa ada tekanan dan rasa takut yang mencekam.

Khonghucu Era Orde Baru

Sebelum negeri ini merdeka hingga kemudian berhasil memerdekakan diri, umat Khonghucu di Indonesia tak pernah mendapat perlakuan negatif, baik dari penganut agama lain maupun dari pemerintah. Nenek moyang kami, penganut Khonghucu dengan bebas dan tenang menjalankan ajaran agama berikut ritual-ritualnya. Mereka pergi ke rumah ibadah umat Khonghucu kapan mereka mau. Tak ada rasa takut, khawatir, dan semacamnya. Mereka tenang dan nyaman dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.

Kondisi itu berubah 180 derajat ketika kekuasaan bergulir dari Soekarno di Era Lama ke Soeharto yang kemudian dikenal dengan Orde Baru. Oleh Presiden Soeharto, melalui Inpres No. 14 Tahun 1967 ia menginstruksikan empat hal pokok:

Pertama, (sebagaimana bunyi dalam inpres tersebut), tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga dan perorangan. Kedua, perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Ketiga, penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri agama setelah mendengar pertimbangan jaksa agung (PAKEM). Keempat, pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh menteri dalam negeri bersama-sama jaksa agung.

Keempat instruksi tersebut membuat umat Khonghucu menjadi terkebiri. Mereka tak lagi leluasa dalam menjalankan ibadah sesuai ajaran Khonghucu, agama yang mereka anut secara turun temurun. Terlebih ketika ditambah dengan keberadaan Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Surat edaran itu semakin mempersempit ruang gerak umat Khonghucu yang sebagian besar warga keturunan Tionghoa. Dampaknya adalah sebagian besar umat Khonghucu memilih ‘eksodus’ ke agama lain seperti Buddha dan Kristen agar tidak mendapatkan kesulitan dalam kehidupannya. Pada banyak kesempatan, mereka memang dipaksa agar memilih satu agama dari lima agama yang dianggap sah oleh pemerintah. Padahal, sesungguhnya dalam Penentapan Presiden No. 1/pnps/1965 jo UU No. 5/1969 tentang penyalahgunaan dan/atau penodaan agama (lembaran negara tahun 1965 No. 3, tambahan lembaran negara nomor 2727) masih berlaku dan mengikat pada masa Orde Baru. Di dalamnya disebutkan penduduk Indonesia memeluk enam agama yakni; Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi, dalam kenyataannya, model pemerintahan Orba yang membuat represif membuat umat Khonghucu tak dapat berbuat banyak.

Bahkan ketika keluarga Tionghoa, entah ia penganut Khonghucu atau agama lainnya hendak belajar bahasa Mandarin, harus sembunyi-sembunyi agar tak terdeteksi oleh orang lain atau aparat pemerintah. Begitu pun saat harus menonton film-film berbahasa Mandarin, kami harus berhati-hati, kalau perlu menutup rapat pintu rumah kami agar aman dari pantauan publik. Betapa tidak nyamannya hidup dengan kondisi tertekan seperti itu. Kami memang menjadi warga kelas dua di negeri sendiri. Negeri di mana kami lahir dan dibesarkan.

Khonghucu Era Reformasi

Beruntung, angin reformasi yang digulirkan oleh mahasiswa pada tahun 1998 membawa dampak positif bagi umat Khonghucu. Seiring jatuhnya rezim Soeharto dan bergantinya tampuk kepemimpinan pada Habibie dan kemudian ke Presiden Abdurrahman Wahid. Suksesi ini menjadi starting point bagi terbukanya lembaran baru umat Khonghucu di tanah air. Berbagai elemen masyarakat bergerak tanpa ada rasa takut kepada siapa pun, termasuk pemerintah anyar yang baru terbentuk. Fenomena ini membuka kesadaran bersama, di mana masa hidup dalam tekanan telah berakhir. Era reformasi dijadikan momen untuk merubah sesuatu yang membelenggu, khususnya dalam hal kehidupan beragama dan kemudian menggantikannya dengan mengurai kehidupan baru yang lebih demokratis dan harmonis.

Itulah yang kemudian dimulai oleh kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Pada era pemerintahannya ia mereformasi banyak aspek kehidupan, termasuk dalam kaitannya dengan keberadaan umat Khonghucu di Indonesia. Oleh Gus Dur, Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dicabut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 6 tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000. Tiga bulan kemudian diperkuat dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Suryadi Soedirdja tanggal 31 Maret 2000 No. 477/74054 tertanggal mencabut Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.

Keputusan Presiden Gus Dur dan mendagri tersebut disambut gembira luar biasa bagi umat Khonghucu di Indonesia. Dengan itu kami tak lagi merasa khawatir, takut dan was-was dalam menjalankan ajaran agama. Sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti kami kembali menunjukkan tradisi kami, baik sebagai penganut Khonghucu maupun etnis Tionghoa ke ruang publik. Perayaan Imlek tak lagi kami rayakan secara sembunyi-sembunyi, meski masih dalam lingkungan keluarga besar etnis Tionghoa.

Angin reformasi tampaknya terus bergulir dan bersahabat dengan kami. Hal ini dengan dijadikannya hari raya Imlek menjadi libur fakultatif melalui Ketetapan Menteri Agama No. 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif. Sebelumnya, pada 17 Februari 2000 untuk pertama kalinya umat Khonghucu menggelar perayaan Tahun Baru Imlek tingkat nasional yang dihadiri oleh presiden RI KH. Abdurrahman Wahid. Seminggu kemudian Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengadakan Perayaan Cap Go Meh Nasional yang juga dihadiri presiden di Surabaya. Sejak saat itu perayaan/peringatan tahun baru Imlek nasional selalu dihadiri oleh presiden RI, mulai dari Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Selain itu, secara bertahap umat Khonghucu Indonesia senantiasa memetik buah perjuangannya selama ini dengan dukungan berbagai pihak, dari tokoh-tokoh lintas agama, kalangan LSM/NGO dan juga pemerintah itu sendiri. Maka kurun tahun 2002-2010 ini keluarlah berbagai ketetapan dan/atau keputusan yang terkait dengan keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, yaitu:

  • Keputusan Menteri Agama RI H. Said Agil Husin Al-Munawwar, No. 331 tahun 2002, tanggal 25 Juni 2002 menindaklanjuti keputusan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional;
  • Keputusan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, tanggal 8 Juli 2003;
  • Surat Menteri Sekretariat Negara RI Yusril Izha Mahendra kepada Menag RI, Mendagri RI, Menhum dan HAM RI, Mendiknas RI, No. B.398/Mensesneg/6/2005 tanggal 27 Juni 2005 tentang menindaklanjuti pidato presiden RI di perayaan Tahun Baru Imlek 2556 di Balai Sudirman Jakarta, 13 Februari 2005 tentang: mencabut semua peraturan yang mengandung unsur ketidaksetaraan antara warga negara dan meminta segenap aparatur negara dari pusat hingga daerah agar konsisten menjalankan kebijakan kesetaraan dan menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya dan dapat dilaksanakan oleh aparat pemerintah sesuai dengan bidangnya masing-masing;
  • Surat Menteri Agama Muhammad M Basyuni No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 kepada menteri dalam negeri dan menteri pendidikan nasional tentang penjelasan mengenai status perkawinan menurut Agama Khonghucu. Karena UU No. 1/PNPS 1965 pasal 1 penjelasan dinyatakan agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia ada enam termasuk Khonghucu, maka Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat Agama Khonghucu, berkaitan dengan UU No. 01 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat 1 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut Agama Khonghucu yang dipimpin oleh Pendeta Khonghucu adalah sah. Maka pencatatan perkawinan bagi umat Khonghucu dapat dilakukan sesuai perundangan yang berlaku, demikian juga hak sipil;
  • Pendidikan Agama Khonghucu sesuai dengan ketentuan pasal 12a UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Agama akan memfasilitasi penyediaan tenaga guru Agama Khonghucu di sekolah-sekolah. Dengan demikian penyebutan “Pendidikan Agama Khonghucu” dalam RPP Pendidikan Agama dan Keagamaan dapat dipertimbangkan;
  • Surat Menteri Dalam Negeri Mochammad Ma’ruf No. 470/336/SJ tanggal 24 Januari 2006 kepada segenap gubernur dan bupati serta walikota perihal pelayanan administrasi kependudukan penganut Agama Khonghucu, dalam rangka meningkatkan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil sebagaimana dimaksud pasal 13 ayat 1 huruf I dan pasal 14 ayat 1 huruf I UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memerintahkan agar pemda dapat memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Agama Khonghucu dengan menambah keterangan Agama Khonghucu pada dokumen administrasi kependudukan yang digunakan selama ini;
  • Surat Menteri Agama No. 1 tahun 2006, tertanggal 16 Maret 2006 tentang sosialisasi status perkawinan, pendidikan, dan pelayanan terhadap penganut Agama Khonghucu. Ini merupakan surat instruksi kepada Sekjend Depag, Irjend Depag, para Dirjen Depag, Kabag litbang dan diklat, Kepala Pusat Kerukunan Beragama, para Kanwil Depag di lingkungan Depag seluruh Indonesia;
  • Surat Sekjend Departemen Agama RI, H. Faisal Ismail No: SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 tanggal 21 Maret 2006 kepada kepala kantor wilayah Departemen Agama seluruh Indonesia tentang pelayanan terhadap penganut Agama Khonghucu. Intinya pusat kerukunan umat beragama untuk sementara (sampai terbentuknya unit kerja yang definitif) ditugasi oleh menteri agama memberikan pelayanan dan bimbingan kepada penganut Agama Khonghucu. Untuk di daerah dilaksanakan oleh Kasubag Humas dan KUB untuk melaksanakan kebijakan di atas;
  • Peraturan bersama Menag Muhammad M. Basyuni dan Medagri Moh. Ma’ruf tanggal 21 Maret 2006 No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadat. Di dalamnya Agama Khonghucu sudah mendapatkan tempat, dan memiliki satu perwakilan di masing-masing FKUB baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota madya hingga kecamatan;
  • Surat Sekretariat Jendral Depag RI/Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama H. Abdul Fatah NIP: 150222255, No. SJ/B.VII/IIBA.01.2/378/2006 tanggal 2 Mei 2006 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh Indonesia perihal pemberitahuan kunjungan dan silaturahmi pengurus MATAKIN dan MAKIN ke daerah-daerah dan diharapkan dapat menerima mereka serta ikut membantu mensosialisasikan ke semua elemen masyarakat dan unit kerja di bawahnya tentang penjelasan Mahkamah Konstitusi bahwa UU No. 1 PNPS/tahun 1965 masih berlaku mengikat, di dalamnya masih menyebut Agama Khonghucu dipeluk oleh masyarakat Indonesia di samping lima agama lain;
  • Surat Menag No. : MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 yang menyatakan Departemen Agama RI melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut Agama Khonghucu serta instruksi Menag RI No. 1 tahun 2006 tanggal 16 Maret 2006 tentang sosialisasi perkawinan, pendidikan dan pelayanan terhadap penganut Agama Khonghucu;
  • Surat Depdagri, ditandatangani oleh DR. H.A. Rasyid Saleh Msi, Dirjen Administrasi Kependudukan, kepada MATAKIN, No. 470/3553/MD tanggal 30 Agustus 2007, ada beberapa pernyataan:
  1. Dengan berpatokan Menag No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang perkawinan menurut Agama Khonghucu serta surat edaran Mendagri No. 470/336/SSJ tertanggal 24 Februari 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan pemeluk Agama Khonghucu telah diinstruksikan pada seluruh kepala daerah se-Indonesia.
  2. Dengan ditetapkannya UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, peraturan pelaksanaan yang bertentangan dinyatakan tidak berlaku seperti Permendagri No. 28 tahun 2005 tentang pedoman penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di daerah.
  3. Form isian data kependudukan, formulir isian biodata penduduk untuk WNI (perkeluarga) atau F1-01 yang dimuat Permendagri No. 28 tahun 2005 belum mencantumkan kolom Agama Khonghucu. Namun sejak diedarkannya Surat Edaran Mendagri No. 470/336/SJ tanggal 24 Februari 2006, F1-01 yang baru telah diperbaharui/ditambahkan satu kolom dengan mencantumkan isian Agama Khonghucu pada deretan kolom Agama Khonghucu pada deretan kolom agama, yang sebelumnya hanya lima menjadi enam kolom.
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 5 Oktober 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada bagian keenam adalah masalah Pendidikan Agama Khonghucu, terbagi menjadi tiga pasal yakni pasal 45, 46 dan 47.

Berbagai peraturan di atas tentu tidak lepas dari jasa-jasa Gus Dur yang pertama kali melakukan pendobrakan terhadap berbagai belenggu yang telah mengebiri kehidupan umat Khonghucu. Dia tidak hanya berwacana, tetapi juga bertindak riil sebagaimana kami butuhkan demi terpenuhinya hak-hak sipil kami.

Apa yang sudah dirintis oleh Gus Dur itu secara berkelanjutan diteruskan oleh presiden-presiden berikutnya, termasuk Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Di era Yudhoyono umat Khonghucu semakin mendapat tempat di mata pemerintah. Ini terlihat pada kesempatan yang diberikan kepada umat Khonghucu untuk membangun Kong Miao (tempat ibadah Khonghucu) di TMII melengkapi lima rumah ibadah agama-agama lainnya yang sudah berdiri sejak TMII didirikan. Pada peletakan batu pertama 2 Februari 2009 lalu dihadiri Menteri Agama H.M. Maftuh Basyuni. Bangunan berarsitektur khas Cina ini berdiri di atas tanah seluas 1.780 meter persegi. Pada Agustus 2010 ini, rumah peribadatan yang memiliki tiga bangunan sembahyang tersebut sudah dapat dikunjungi.[2] Ini tentunya menjadi kehormatan dan penghargaan yang sangat berarti bagi kami umat Khonghucu.

Tak hanya itu, selain sudah disediakannya guru-guru agama Khonghucu di sekolah-sekolah negeri dari mulai SD hingga SLTA, di beberapa perguruan tinggi juga sudah mulai membuka ruang dimungkinkannya untuk menyediakan dosen agama Khonghucu. Tak hanya itu, untuk memenuhi minat belajar agama bagi umat Khonghucu, terutama generasi muda, kini telah dibangun sebuah kampus Sekolah Tinggi Agama Khonghucu di Solo, Jawa Tengah. Rencananya pada September 2010 mendatang akan diresmikan penggunaannya.

Peran Gus Dur

Sepak terjang Gus Dur kami akui tidak hanya ketika beliau telah menjadi presiden, tetapi jauh hari sebelum itu, dan terutama ketika beliau memimpin PBNU. Salah satu perjuangan penting yang dilakukan Gus Dur bagi umat Khonghucu adalah ketika membela perkawinan umat Khonghucu yang mengalami kesulitan dalam hal pencatatannya oleh negara. Pasangan tersebut adalah Budi Wijaya dan Lany Guito yang saat itu memperjuangkan agar pernikahannya secara agama Khonghucu dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Surabaya. Usaha keduanya selalu kandas dan disarankan untuk menikah dengan memilih salah satu dari lima agama yang diakui saat itu. Tentu saja keduanya tak menuruti saran tersebut. Mereka memilih tetap berumah tangga hanya dengan mengantongi surat nikah dari Majelis Agama Khonghucu Boen Bio, Surabaya. Hingga anak ketiga mereka lahir pun keduanya belum memiliki akta nikah dari kantor catatan sipil. Pasangan Budi-Lany tak tinggal diam. Mereka banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi TUN, bahkan hingga Mahkamah Agung.

Yang menakjubkan bagi Budi dan Lany adalah selama proses perjuangan tersebut Gus Dur kerap menelpon mereka untuk memberikan support dan doa agar usahanya berhasil. Bahkan pada 22 Juli 1996 Gus Dur menyempatkan diri menghadiri sidang di PTUN Surabaya untuk menyaksikan jalannya sidang gugatan pasangan Budi Wijaya (PO Bing Bo) – Lany Guito (Gwie Ay Lan) terhadap Kepala Kantor Catatan Sipil Surabaya yang menolak mencatatkan perkawinan mereka tahun 1955. “Kalau yang kawin orang Khonghucu dengan orang Islam, itu baru masalah. Tapi ini sesama Khonghucu, kenapa mesti dipersulit?” komentar Gus Dur ketika itu. Gus Dur juga menghimbau pemerintah melakukan terobosan hukum dalam upaya melindungi warga negara, maksudnya memberikan dispensasi hukum untuk meng-cover mereka yang tidak masuk dalam peraturan perundangan.

Kehadiran Gus Dur pada persidangan itu sangatlah berarti bagi keduanya dan memberi dukungan moral di tengah kegalauan mereka, yang saat itu putri pertama mereka sudah lahir. Sementara pernikahan mereka belum mendapat status yang jelas sehingga berimbas pada status putri mereka pada penulisan akte kelahirannya kelak.

Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 3 September 1996 saat PTUN Surabaya menjatuhkan vonis, Gus Dur pun hadir mendengarkan pembacaan vonis yang menyatakan gugatan mereka dinyatakan tidak memiliki dasar yang kuat dan atas dasar hukum positif yaitu surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 21 A tahun 1975 yang menyatakan bahwa di Indoensia hanya ada lima agama yang sah diakui oleh pemerintah. Dalam putusannya tertanggal 3 September 1996, PTUN Surabaya memenangkan KCS, dengan pertimbangan bahwa KCS telah melaksanakan tugas dengan benar sesuai dengan SE Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 dan Surat Menteri Dalam Negeri No. 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990.

Mendengar putusan itu Gus Dur mengatakan, “Putusan itu sangat formal dan tidak mencerminkan rasa kemanusiaan, apakah majelis hakim tidak melihat napas-napas umat Khonghucu?” Gus Dur juga menambahkan bahwa hal ini merupakan tindakan diskriminatif. Akhirnya Budi-Lany mengajukan banding atas kekalahan ini. Di tingkat Pengadilan Tinggi TUN Jawa Timur mereka kalah lagi. PTTUN Jawa Timur menjatuhkan putusan yang mengukuhkan putusan PTUN Surabaya dalam perkara ini.

Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika sampai pada 19 Mei 1997 Budi Wijaya dan istrinya melanjutkan perjuangan mereka dengan menggelar pertarungan babak ketiga: mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Perjunagan mereka tak sia-sia. MA menjatuhkan putusan yang memenangkan pasangan penganut Khonghucu ini. MA dalam putusannya memerintahkan KCS untuk mencatat perkawinan Budi Wijaya-Lany Guito seabagai perkawinan Khonghucu. Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa putusan MA ini dijatuhkan pada tahun 2000, yang merupakan era pasca-Soeharto, atau tepatnya dua tahun setelah jatuhnya rezim Soeharto.[3] Bagi keduanya, kemenangan itu adalah kemenangan seluruh umat Khonghucu sebagai awal pintu gerbang pengembalian hak-hak sipil kami yang terenggut selama 30 tahun. Dan itu berkat jasa Gus Dur yang tak ternilai besarnya.

Tentu dukungan Gus Dur terhadap perjuangan pasangan Budi-Lany hanya salah satu contoh upaya nyata yang dilakukan oleh Bapak Demokrasi ini. Dalam banyak kasus, mulai dari penyerangan rumah ibadah non-muslim, termasuk ibadah jemaah Ahmadiyah, dan lain-lain. Gus Dur kerap terlihat turun langsung memberikan support dan advokasi. Hal inilah yang membuat kami, orang Tionghoa, penganut Khonghucu tak meragukan ketulusan dan komitmen Gus Dur sebagai pejuang anti-diskriminasi, tokoh yang mengedepankan dialog, mengutamakan perdamaian dan anti terhadap aksi-aksi kekerasan.

Sosok tentang Gus Dur seperti itulah yang penulis kenal sejak aktif di Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU) Mejelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan kemudian semakin mengenal lebih dalam ketika bergiat di Forum Generasi Muda Antar-iman (GEMARI) di Jakarta. Tidak hanya mengenal Gus Dur, aktivitas penulis di kedua lembaga tersebut memungkinkan penulis untuk mengenal “yang lain” yang ternyata tidak seperti yang penulis bayangkan sebelumnya. Perkenalan yang mendalam dengan tokoh-tokoh dan aktivis lintas agama yang membuahkan cara pandang saya terhadap (peran) agama yang membebaskan dan tak membelenggu.

Jauh dari itu, melalui GEMARI-lah penulis diperkenalkan dengan seorang pemuda muslim, aktivis YISC Al-Azhar yang juga aktif di GEMARI, yang kemudian menjadi suami penulis hingga kini. Sebuah pernikahan beda agama yang rasanya tak mungkin terjadi andai saja penulis tidak diperkenalkan dengan komunitas lintas agama seperti GEMARI dan juga Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), salah satu lembaga antaragama yang didirikan oleh Gus Dur. Ini semakin menegaskan bahwa buah dari perjuangan Gus Dur telah merambah banyak level dan kalangan. Dari isu kenegaraan, demokrasi, perdamaian, hingga soal perkawinan.

Gus Dur dan Pernikahan Beda Agama

Tak hanya dalam memperjuangkan hak-hak sipil umat Khonghucu di Indonesia, Gus Dur juga memiliki perhatian besar terhadap kasus-kasus nikah beda agama. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa memilih pasangan, memilih cara menikah, dan mencatatkan diri merupakan bagian dari hak sipil setiap warga negara. Kenyataan di lapangan, ratusan, bahkan mungkin ribuan calon pasangan menikah gagal mewujudkan impian mereka karena “dihambat” oleh oknum-oknum aparat negara yang memahami bahwa nikah beda agama tidak diperbolehkan. Dari argumen keagamaan hingga kebijakan negara mereka fatwakan untuk mendukung tidak dilangsungkannya pernikahan beda agama.

Tidak demikian dengan Gus Dur. Ia dengan tegas mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seharusnya tidak pernah ada. Dalam sebuah pengantar, Gus Dur menguraikan sebagai berikut:

“…Undang-Undang Dasar kita memiliki semangat menumbuhkan sikap saling menenggang rasa itu, dan seharusnya UU No. 1 Tahun 1974 itu tidak pernah ada. Sayangnya, Mahkamah Agung kita tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan “pendirian konstitusional” mengenai hal itu, sehingga akibatnya timbullah kesenjangan antara bunyi undang-undang dan kenyataan yang hidup di masyarakat, yang sebenarnya “mengikuti sejarah” sebagaimana akan ditemui dalam bab pertama buku ini. Kenyataan bahwa kita bukan negara Islam, dan bahwa ada “keharusan” menuruti “semangat UUD”, dengan menenggang perkawinan antaragama di masyarakat kita, seharusnya membuat kita berlapang dada terhadap “kenyataan” seperti itu…”[4]

Bagi penulis pribadi, sebagai pelaku nikah beda agama, pengantar yang diberikan oleh Gus Dur untuk buku Memoar Cintaku itu sungguh merupakan dukungan yang luar biasa. Terlebih ketika kami menikah waktu itu, kontroversi tentang nikah beda agama tak kunjung reda. Pengantar Gus Dur tersebut memberikan kekuatan tersendiri bagi penulis dan suami yang baru setahun menjalani nikah beda agama.

Di awal tulisannya, Gus Dur mengatakan:

“Pengantar ini adalah sesuatu yang berfungsi sebagai upaya “memasarkan” perkawinan antaragama yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya dalam kehidupan masyarakat kita”

Sejauh yang penulis ketahui, saat itu tidak ada seorang pun tokoh agama yang berani mengatakan sebagai yang tertulis oelh Gus Dur. Bahkan di kalangan rohaniawan Khonghucu sendiri pun terkesan hati-hati dalam merespons masalah nikah beda agama.

Selanjutnya di paragraf penutup beliau menulis:

“…Penulis menganggap buku yang ada di tangan pembaca ini, sebagai suatu yang penting. Baik sebagai pengalaman empirik yang sangat penting bagi kehidupan kita bersama, maupun sebagai objek kajian studi kawasan tentang perkembangan Islam dalam masyarakat kita, jelas bahwa buku ini sangat diperlukan.”

Dan apa yang dikatakan Gus Dur itu menjadi kenyataan. Sejumlah mahasiswa baik tingkat sarjana, pasca sarjana hingga doktoral dan peneliti menjadikan buku Memoar Cintaku sebagai salah satu rujukan dalam membuat skripsi, tesis, maupun disertasi. Sebagian dari mereka bahkan datang dari berbagai universitas mancanegara. Hal ini menunjukkan bahwa isu pernikahan beda agama merupakan isu yang masih menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi sebagian kalangan. Dan jika sebagian agamawan memilih untuk melarang pernikahan beda agama, atau tidak merekomendasikan kepada umatnya untuk memilih pasangan yang berbeda agama, Gus Dur berani mengatakan sebaliknya. Ia justru merasa perlu bahwa pernikahan beda agama harus diberi apresiasi.

Karenanya, tidak heran jika salah satu lembaga yang didirikannya, yaitu The Wahid Institute, pernah memfasilitasi pernikahan beda agama pada awal tahun 2005 silam.[5] Pasangan beda agama tersebut adalah Adi Abidin (muslim) dan Lia Marpaung (kristiani). Keduanya dinikahkan oleh KH. Husein Muhammad, seorang kiai pengasuh pesantren yang kini merupakan anggota Komnas Perempuan.

Setelah Gus Dur Tiada

Kini, umat Khonghucu telah memetik buah dari perjuangan panjang yang salah satunya tidak lepas dari peran besar Gus Dur. Sayang, Gus Dur tak sempat menikmati masa bulan madu ini berlama-lama dengan kami. Ia telah pergi dan kembali ke hadapan Sang Khaliq. Akan tetapi, bagi kami, baik secara pribadi maupun sebagai umat Khonghucu, presiden keempat RI ini telah memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi kami. Pelajaran tersebut antara lain:

Pertama, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sekuat apapaun rezim penguasa, selalim apapaun pemerintahannya toh pada akhirnya akan runtuh juga. Demikian juga dengan sebuah kebijakan, seketat apa pun pada akhirnya keadilanlah yang selalu muncul menjadi pemenangnya. Hal inilah yang selalu menjadi buah inspirasi bagi kami untuk tidak selalu menyerah terhadap keadaan. Hidup kami nikmati sebagai proses untuk selalu berupaya meraih terbaik. Tidak hanya bagi kami sendiri, umat Khonghucu, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

Kedua, kesabaran dalam memperjuangakan sesuatu itu penting. 30 tahun umat Khonghucu dibelenggu hak-haknya. Jika tak ada kesabaran, sebagaimana dicontohkan oleh Gus Dur, tentu kami sudah limbung sejak awal. Kesabaran itu selalu bertahan sebab, ternyata, dalam berjuang kami tidak sendirian. Selalu ada Tuhan mengirim orang-orang terbaiknya untuk membantu siapa saja, kalangan mana saja. Ini sebagaimana ujaran penting Nabi Khongcu, yakni “Di empat penjuru lautan semua manusia bersaudara (Si hai zhi nei, jie xiong di ye).[6] Dan “Bila diri sendiri ingin tegak, bantulah orang lain tegak” (Ji yu lie r li ren, ji yu da er da ren).[7] Nampaknya, tak hanya umat Khonghucu yang mengamalkan ajaran-ajaran ini, Gus Dur pun telah menjalankannya tanpa harus tahu bahwa itu ajaran Khonghucu.

Ketiga, “Gembirakan yang dekat, agar yang jauh akan berdatangan. Antar yang pergi, agar yang tinggal merasa bahagia” (Song wang ying lai, Jia shan er jin bun eng, Suo yi rou yuan ren ye).[8] Saat ini kami memang telah merasakan manisnya buah perjuangan. Namun, ternyata masih banyak PR yang harus kami kerjakan. Tetapi, seperti pesan Nabi Khongcu tersebut, sudah selayaknya kami tak terlelap dalam manisnya buah capaian, lalu melupakan “yang lain”. Ini sekaligus mengingatkan diri kami sendiri bahwa ternyata masih banyak kalangan/kelompok keagamaan yang masih terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak sipil mereka. Tentunya kami tidak boleh alpha, dan seyogyanya siap membantu, berjuang bersama-sama menegakkan keadilan bagi seluruh warga bangsa dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika.

Sebagai penutup, seiring dengan upaya kami memperbaiki diri, sekali lagi, kepergian Gus Dur merupakan duka yang mendalam bagi kami. Melihat besarnya jasa yang telah ditorehkan oleh Gus Dur pada masa hidupnya, tidak berlebihan jika ada sebagian warga keturunan Tionghoa dan juga umat Khonghucu menilai pendiri cucu pendiri organisasi terbesar di Indonesia ini merupakan “dewa” bagi mereka. Gus Dur memang telah menyelamatkan kami dari kepunahan sistemik atas tradisi leluhur nenek moyang kami dan agama kami sekaligus. Apa yang telah dilakukan Gus Dur selama hidupnya akan selalu menjadi inspirasi bagi kami dalam mewujudkan impian-impian kami untuk dapat berperan serta dalam hidup bersama menikmati kemajemukan bangsa.

Catatan:

[1] Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi” dalam Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Seri Dian/Interfideii II TH I, (Yogyakarta: 1994), hlm. 273

[2] Lihat https://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsid=37394

[3] Heriyanto Yang, Sejarah dan Posisi Hukum Keberadaan Konfusianisme di Indonesia Setelah Proklamasi Kemerdekaan. (https://www.matakin.or.id/sejarah-dan-posisi-hukum…), diakses pada 14 Juli 2010. Sejumlah media juga memberitakan kisah perjuangan Budi-Lany ini.

[4] Abdurrahman Wahid, “Sekedar Mengantarkan, Mempersembahkan Buku Ini Kepada Masyarakat” dalam Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, LKiS, (Yogyakarta: 2004), hlm. xiii-xiv

[5] Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (ICRP-Komnas HAM: 2005), hlm. 55-56.

[6] Lun Yu XII: 5

[7] Lun Yu VI: 30

[8] Zhong Yong XIX: 14

Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku Gus Dur di Mata Perempuan.

Mantan Sekretaris Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU)-Matakin, aktivis Forum Generasi Muda Antar-Iman. Tinggal di Tangerang, Banten.