Social Media

Hijrah di Jalan Gus Dur

Sindang Barang, Bogor merupakan tempat pertama kali saya sebagai mahasiswa mendekat dan berbaur dengan masyarakat. Kala itu, pertama kali saya meneliti tradisi lisan untuk merampungkan tesis strata dua. Serentaun, sebuah upacara dan festival besar merayakan panen untuk berterima kasih kepada Dewi Sri, sang dewi kesuburan, berlangsung meriah. Selain mengamati, saya berusaha memasuki alam pikiran mereka.

Sebuah jeda tiba-tiba menghentikan kegiatan mencoret-coret catatan harian. Pikiran saya terpaut oleh sebuah kontroversi yang beredar di kalangan muslim tertentu yang tak menyetujui  Serentaun itu. Lalu, saya teringat sosok ayah (almarhum). Seandainya beliau masih hidup, saya mencoba menebak, bagaimana pendapatnya ketika mengetahui putrinya meneliti dan tertarik pada tradisi yang dalam pandangannya sarat dengan bidah dan, karena itu, wajib diberangus. Baginya, tradisi semacam itu ibarat belukar yang perlu dibabat habis, alih-alih dilestarikan oleh siapa pun.

Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang secuil saja mengenal adat istiadat Jawa di Metro, Lampung. Saya adalah anak transmigran generasi ketiga. Pada tahun 1986 dan masa setelahnya, tradisi Jawa di daerah ini hanyalah sisa belaka. Sedikit yang masih terpelihara. Hanya satu yang kuingat: kuda lumping. Tradisi yasinan tak ada lagi. Demikian juga, tirakat dan puasa yang berkelindan dengan kejawen sudah tidak diamalkan lagi.

Rata-rata yang ada tinggal alam pikiran modernisme Islam yang menganggap bidah dan khurafat wajib dihilangkan. Saya pikir, memang dalam lingkungan inilah saya sebetulnya tumbuh. Sehingga, saya santai saja ketika harus meneliti festival tersebut. Saya membatin, “Toh, saya bertugas memaparkan budaya masyarakat saja kok, tidak meyakini apa yang mereka percayai.” Saya tetap tidak meyakini apa yang mereka percayai.

Akan tetapi kemudian, rententan percakapan dengan informan membuat hati saya berubah. Sesepuh dari Banten Selatan yang menjadi tamu saat perayaan itu ikut mengoyak cara pandang saya. Saya tersentuh saat menyimak mengenai nasib penghayat Sunda Wiwitan yang keberadaannya tak diakui dan dipaksa memeluk salah satu agama resmi.

Penelitian itu justru membuai saya merasa lebih simpatik. Lalu saya berpikir, bagaimana nasib warga di kampung saya pada saat saya masih kecil? Apakah mereka rela tak lagi meneruskan tradisi dari nenek moyang mereka. Ataukah mereka terpaksa karena ditakut-takuti oleh aktivis muslim yang anti-bidah seperti ayah? Jika karena terpaksa, alangkah sedihnya, dan apakah saya menyalahkan salah satu penggeraknya, yaitu ayah saya sendiri?

Usai menyelesaikan studi, saya kembali meneliti sesuatu yang terkait dengan pembelaan terhadap tradisi dan kebudayaan lokal di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Di situ, saya mulai mengenal pemikiran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari jejaring organisasi Islam yang inklusif. Saya lalu mengenal dan mendalami wacana pembelaan atas tradisi lokal. Saya semakin menikung dari garis perjuangan ayah.

Hingga kini, pengetahuan saya  semakin bertambah dan berubah menjadi sebuah pandangan hidup, sebuah weltanschauung yang semakin kokoh. Saya memutuskan meniti jalan takdir saya sendiri sebagai peneliti di sebuah lembaga pemerintah, juga sebagai bagian yang terlibat dalam konservasi dan revitalisasi tradisi lisan yang sebagian besar berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang. Semakin saya terlibat dengan dunia kepercayaan dan adat istiadat lokal, semakin saya menyimpang dari keyakinan yang diajarkan ayah tentang pikiran puritanisme Islam.

Saya bahkan ikut melestarikan tradisi itu, meskipun masih dengan cara yang sederhana, yang sering dianggap ayahku sebagai khurafat lagi sesat. Ya, saya sadar, saya telah meninggalkan jalan sang ayah dan berjuang melawan arus yang berlawanan. Meski saya kini menyimpang dari jalan tersebut, ini justru melegakan! Tentu, sebagai seorang puteri yang berbudi, saya tahu, saya dan ayah sebetulnya masih berada di jalan kemanusiaan yang sama. Sebab, kami berasal dari rumah yang sama: Wisma Sang Roh (The House of the Spirit). Dalam bahasa Quranik, itu barangkali yang disebut dengan pintu-pintu yang berbeda menuju-Nya.

Pergumulan saya dengan wacana toleransi terhadap kalangan minoritas, pluralisme Gus Dur dan turunannya, sebenarnya mulai berkecambah dari pergulatanku dengan komunitas Gusdurian di Bandung. Mereka beraktivitas di sebuah masjid besar milik pemda Jawa Barat. Saat itu saya masih merampungkan skripsi strata satu. Yang menarik ialah perdebatan anak muda itu. Mereka ada dalam lingkungan yang beragam, mulai dari Nahdlatul Ulama, al-Ikhwan al-Muslimun, hingga Negara Islam Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia, di periode 2000-an.

Sebagai anggota yang baru bergabung, saya dan teman-teman tentu menjadi objek pengaderan dari ragam gagasan dan aktivisme Islam. Meski bacaan yang tersedia beragam, termasuk majalah Tarbawi yang berserakan, saya justru lebih memilih jurnal Ulumul Quran. Akan tetapi, isi bacaan tersebut baru menumpuk di dalam isi kepala. Saya lebih terfokus pada skripsi yang tak kunjung selesai. Selebihnya, beban pikiran tertumpu pada bagaimana caranya terus mempertahankan hidup.

Selalu ada berkah. Beberapa sahabat yang kuat memberikan dorongan, bukan seperti motivator kebanyakan. Kami berbagi cerita, berdiskusi, dan berteman dekat, lalu ikut menggugah semangat berislam secara inklusif dan pluralis seperti yang diteladankan Gus Dur. Kendati saya dan para sahabat perempuan lain sering mengikuti kajian penataan hati bersama Aa Gym, saya semakin tertempa oleh landasan epistemologis Gus Dur. Aktivisme para Gusdurian dari Institut Teknologi Bandung dan perguruan tinggi lain yang beraktivitas di masjid milik pemda itu sehari-hari telah masuk dalam memori saya.

Sebagian dari mereka masih berstatus mahasiswa. Mereka merintis beberapa usaha kecil dan koperasi Baitul Mal Wattanwil di Bandung maupun banyak daerah asal mereka. Saya hanya ikut melibatkan diri seadanya. Saya menganggap keterlibatan tersebut sebagai rekreasi dengan mencoba hal baru yang penuh dengan ide kreatif. Walau tak berkesinambungan, pengalaman yang saya petik ialah memaknai kreativitas untuk diri sendiri dan semangat kerja inovatif yang cepat menyebar pada orang yang kurang beruntung memperoleh akses pengetahuan. Suatu iklim yang sangat mendukung pengembangan jiwa.

Tak seharusnya jarak Bandung-Jakarta mengecilkan api semangat. Kehilangan sahabat Gusdurian di Bandung yang kemudian sangat sibuk dengan karir setelah lulus, tidak semestinya membuat saya merasa sendirian. Kami memang meninggalkan masjid itu. Saya  sibuk bergelut dengan studi master di Jakarta. Secara fisik saya telah berpisah dengan mereka dan juga gagasan mereka, tetapi percik kesadaran telah memantikku untuk bersikukuh mengambil sikap. Bahkan hingga kini. Kesadaran itu mendorong tumbuhnya afinitas dengan orang berbeda yang memiliki visi dan ketertarikan yang sama: bekerja kecil-kecilan memperjuangkan cita-cita kemanusiaan Gus Dur dalam bentuk yang masih belia bernama Literashinta. Yakni, sebuah gerakan literer yang sarat dengan gagasan keadilan gender dalam dunia kesusatraan.

Artikel ini sebelumnya tayang di Alif.Id

Peneliti di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengelola Kelompok Baca Perempuan LITERASHINTA – Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI).