Social Media

Impian Joni

Seorang anak kecil duduk di pinggir trotoar dekat lampu lalu lintas dengan senyum lebar terukir di wajahnya. Ia menggenggam erat lembaran koran yang cukup tebal dan mengantongi dua lembar uang dua ribuan hasil menjual dua koran kepada pengguna jalan. Usianya kira-kira tak lebih dari dua belas tahun, bila sekolah mungkin duduk di bangku kelas lima SD. Sayangnya ia tak terlihat mengenakan seragam putih-merah. Ia justru menggunakan rompi besar berwarna biru lengkap dengan logo salah satu media cetak ternama di punggungnya.

Tak jauh dari perempatan tersebut, terlihat segerombolan anak kecil yang keluar dari Sekolah Dasar, menuju ayah, ibu, atau saudaranya yang sudah menunggu cukup lama di depan gerbang sekolah. Mereka dengan riangnya menjumpai penjemputnya masing-masing, diiringi dengan sedikit celotehan tentang menariknya pembelajaran hari ini atau tentang nakalnya teman di bangku belakang.

Anak kecil penjual koran yang biasa dipanggil Joni itu hanya mematung dan memandangi anak-anak sekolah yang mungkin terdapat salah satu atau beberapa teman sepermainannya. Di sela-sela koran tersebut ada sebuah majalah anak yang sudah usang, di dalamnya terdapat gambar beberapa anak menggunakan seragam polisi, guru, tentara dan beberapa macam profesi lainnya. Ia memandangi gambar tersebut dengan wajah hampa, beberapa detik kemudian dilemparkannya majalah itu ke dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh dari tempatnya dan kembali berjualan saat lampu lalu lintas berwarna merah.

Tanpa Joni sadari, ada seorang pemuda yang mengenakan jas almamater berwarna hijau memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Pemuda tersebut tidak sendirian, melainkan dengan beberapa kawan seusianya yang juga memakai jas berwarna hijau, yakni almamater salah satu kampus ternama di Kota S. Mereka membawa beberapa kardus kosong dengan tulisan #saudarabantusaudara di bagian depan kardus, berencana mengadakan galang dana untuk korban penggusuran di salah satu desa yang ada di Jawa Tengah.

“Fad, jangan bengong aja. Ayo mulai gerak, ke titik lampu merah yang menjadi bagianmu.” Boy, salah satu kawan Fadli menyadarkan Fadli dari lamunan yang cukup panjang.

“Eh, iya, Bro.” Fadli mengiyakan sembari beranjak dari tempat duduknya.

Galang dana berlangsung dengan lancar, hasilnya sudah memenuhi target. Sesuai kesepakatan, jam tiga sore tepat galang dana selesai. Semua relawan berjas hijau itu pulang, kecuali Fadli yang memilih untuk menghampiri Joni yang sedang istirahat di trotoar. Fadli membeli dua bungkus nasi yang rencananya akan diberikan pada Joni.

“Permisi, Dek. Boleh Kakak beli korannya?” ucap Fadli seraya ikut duduk di samping Joni yang terkejut melihat Fadli yang berpakaian rapi duduk di atas trotoar tanpa alas bersamanya.

“Kak, nanti bajunya kotor…”

“Nggak papa, Dek. Kakak sudah biasa kok duduk di trotoar.” Fadli langsung menyela ucapan Joni. “Kakak beli dua ya…”

Joni hanya mengangguk dan menyerahkan dua koran yang dipesan Fadli lalu menerima uang sejumlah empat ribu rupiah dari Fadli.

“Kenalin, namaku Fadli. Nama kamu siapa, Dek?”

“Joni, Kak.”

“Oh, Joni. Ini ada sedikit makanan, Jon. Tak perhatiin dari tadi, kamu belum makan.” Fadli membuka nasi bungkus yang ia beli, dan memberikannya pada Joni.

“Aku nggak boleh meminta-minta, Kak Fadli. Kata Ibu meminta-minta itu nggak baik.”

“Kamu nggak minta, Jon. Ini pemberian. Kalau boleh tau, kamu tinggal di mana? Sama siapa?”

“Aku tinggal di Kampung Mawar, di atas balik bukit itu. Hanya bersama Ibu yang sudah lama sakit, kakinya lumpuh, Kak. Ayah sudah lama pergi, meninggalkan kami.”

Tak berselang lama, terjadi dialog yang cair antara keduanya. Mereka makan bersama di trotoar, Fadli tak peduli banyak orang yang memandanginya. Jarang sekali, seorang mahasiswa kampus ternama, dengan jas almamaternya makan bersama seorang anak kecil penjual koran di troroar. Hampir setiap mata yang berhenti saat lampu berwarna merah memandang ke arah mereka.

“Apa Kakak tidak malu, dilihat banyak orang?” Joni bertanya pada Fadli yang terlihat santai saja menjadi pusat perhatian.

“Kenapa harus malu, Jon? Kita kan sama-sama manusia, sama-sama makan nasi juga tadi.”

“Tapi Kakak berbeda denganku, aku hanya anak jalanan, penjual koran, sedangkan Kakak orang terpelajar.”

“Pakaian yang kukenakan dan yang kamu kenakan, itu sama-sama menutupi badan kita, Jon. Bukan berarti yang berpakaian rapi sepertiku itu orang baik. Coba kamu lihat gambar di koran itu, dia orang berpakaian rapi, orang yang punya jabatan, tapi korupsi kan. Mencuri uang orang banyak, Jon.” Fadli berbicara panjang lebar, namun dengan bahasa yang sangat hati-hati agar Joni mengerti.

Joni mengamati gambar yang ditunjukkan Fadli, ia membaca dengan terbata-bata judul besar yang tertera di atas gambar itu, karena memang belum terlalu lancar dalam membaca. Ia menganggukkan kepala secara perlahan, pertanda mengerti apa yang telah dibaca.

Fadli membersihkan bungkus makanan dan membuangnya ke tempat sampah yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka duduk. Sebelum meletakkan sampah yang ia bawa, Fadli terlebih dahulu mengambil sebuah majalah dari tempat sampah tersebut.

“Bukannya ini majalah yang beberapa jam lalu kamu baca, Jon?” Tanya Fadli seraya melihat halaman yang sepertinya sangat disukai Joni, sebelum dibuang olehnya.

Joni hanya diam, tidak menanggapi sedikit pun.

“Cita-citamu apa, Jon?”

“Apa setiap orang boleh bercita-cita, Kak?” Kini Joni mau menanggapi, tapi giliran Fadli yang memilih diam. Fadli merasa pertanyaan itu bukan untuk dijawab terlebih dahulu, karena Joni belum selesai berbicara. “Mungkin Kakak dan teman-teman Kakak bisa dengan mudahnya berbicara tentang impian, tentang cita-cita. Sedangkan aku dan orang-orang yang bernasib sepertiku, jangankan bicara cita-cita, untuk makan sehari-hari saja susah, Kak!”

Joni seakan protes, meluapkan segala amarahnya. Ia harus menanggung penderitaan selama bertahun-tahun, tidak bisa sekolah seperti teman-teman seusianya, waktu bermain pun seakan terampas oleh kenyataan yang ada. Baru kali ini ia bisa meluapkan apa yang ia rasakan kepada seseorang, meskipun baru saja ia kenal dengan orang tersebut.

Di sisi lain, Fadli paham betul apa yang dirasakan Joni. Sepuluh tahun silam, Fadli adalah anak jalanan yang hidup dari satu kota ke kota lain untuk mencari penghidupan, sampai ia diangkat anak oleh salah satu orang yang dulu pernah ia tolong. Fadli sudah sering melihat kenyataan di jalanan, yang penuh dengan ketimpangan. Banyak anak-anak kecil yang tidak bisa merasakan bangku-bangku sekolahan, karena tidak semua orang bisa mengakses sekolah yang mahal, laiknya perusahaan yang orientasinya uang. Pemerintah juga terkesan abai dengan banyaknya anak jalanan atau bahkan lansia yang mencari penghidupan di jalanan dengan berjualan koran, menawarkan jasa, hingga mengamen dan mengemis.

“Kak, untuk memakai seragam yang ada di gambar-gambar itu, kan harus sekolah?” Joni bertanya dengan nada yang polos. “Orang-orang yang tidak sekolah, apa bisa jadi polisi? Apa bisa jadi guru? Apa bisa jadi orang-orang yang dimuliakan? Apa bisa duduk manis di gedung mewah di ujung jalan sana? Jadi, percuma saja kan aku punya cita-cita?”

Fadli tetap memilih bungkam, ia seakan melihat dirinya di masa lalu yang setiap harinya pertanyaan seperti itu selalu berputar di kepalanya. Keinginan Fadli untuk menjawab pertanyaan itu benar-benar tidak ada, ia sadar bahwa pertanyaan tersebut harus dijawab lewat pencarian, bukan perkataan, meski itu dari orang yang berpengalaman seperti Fadli sekali pun.

Seketika suasana menjadi hening, Joni yang sempat meluap-luap emosinya, kini terdiam. Usianya memang masih belia, tapi pengalaman hidup yang ia rasakan menjadi pendewasaan tersendiri yang tidak semua anak seusianya bisa merasakan hal tersebut. Mungkin suatu saat Joni mendapati nasib yang sama seperti Fadli, mungkin saja tidak.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.