Social Media

Indonesia Darurat Tenggang Rasa

Setengah abad sudah kita ditinggal pergi oleh Putra Sang Fajar, Bung Karno. Banyak warisan berharga yang ia titipkan untuk kita, seperti Pancasila, Politik Bebas Aktif, Dasa Sila Bandung, Berdikari secara kebudayaan, politik, dan ekonomi. Semua itu terancam menjadi artefak. Pasalnya, tak ada yang sungguh benar terwujud nyata. Pancasila sebagai dasar negara saja ripuh. Kita masih saja berkutat dengan perkara tenggang rasa. Malah penyakit ini kian merajalela di banyak kota kita.

Sabang, Banda Aceh, Medan, Padang, Tanjung Balai, Cilegon, Depok, Bogor, Makassar, dan Jakarta (Kompas, 2 Juni 2021), merupakan sepuluh kota yang masyarakatnya paling punya masalah dengan tenggang rasa. Warga ibu kota yang harusnya berkarakter kosmopolitan ternyata malah jadi katak dalam tempurung. Pemerintah yang berkuasa, berikut partai pemenangnya, gagal dan gagap menyikapi soal tersebut. Apa buktinya? Kementerian Agama tak pernah diampu tokoh selain Muslim. Wajar bila gereja, vihara, klenteng, selalu jadi bulan-bulanan umat Muslim yang mayoritas.

Malah ada yang lebih gila, masjid warga Ahmadiyah pun luluh lantak. Lambat laun anak-anak bangsa ini tumbuh sebagai demagogi yang tak terkendali. Rakyat (demos) telah berubah menjadi pemimpin tak bermoral (agogos). Sebabnya sederhana. Mereka yang terlampau lama ditindas hingga babak bundas, akhirnya balik menindas manakala beroleh kesempatan. Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu, adalah agama-agama yang telah mendapatkan keistimewaan sedemikian rupa di negeri ini. Khusus Islam, ada catatan menarik. Indonesia memang berpenduduk Muslim terbesar dunia. Tapi sistem kenegaraannya jelas bukan berbasis Islam.

Kendati Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengakui keberadaan agama lain yang padahal asli Indonesia, dengan sebutan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejak 7 November 2017, dan memperbolehkan kepercayaan itu dicantumkan di KTP para pemeluknya, namun MK masih menamai mereka sebagai “penghayat kepercayaan asli” yang sejatinya terpinggirkan. Bukankah dengan begitu, sama dengan menafikan sila pertama Pancasila? Tidakkah beragama juga melibatkan kepercayaan sebagai basis keimanan? Bagaimana juntrungannya ketuhanan hanya menjadi milik segelintir agama—yang notabenenya diimpor dari bangsa lain?

Berdasar data yang dicatat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, saat ini ada 187 agama lokal yang tersisa, dengan jumlah penganut mencapai 138.791 orang. Beberapa di antaranya mungkin sudah Anda kenal dan ketahui, seperti:

Kejawen (Jawa), Sunda Wiwitan (Banten), Buhun, Budi Daya (Jawa Barat), Ngelmu Sejati (Cirebon), Sumarah (Wirobrajan-Yogyakarta), Sapta Darma (Kediri-Jatim), Parmalim (Batak-Sumut), Marapu (Sumba-NTT), Kaharingan (Palangka Raya-Kalteng), Aluk Todolo (Tana Toraja-Sulsel), Towani Tolotang (Sidrap-Sulsel), Malesung (Minahasa-Sulut), Aluk Mappurondo (Mamasa-Sulbar), Nuaulu (Banda-Maluku).

Amang Kasuruan (Tuhan Pencipta Kehidupan) dalam khazanah masyarakat Minahasa dan Ompu Mulajadi Na Bolon (Mahapencipta) Na so Marmula, Na so Marujung (Hyang Tidak Berawal dan Tiada Berakhir) dalam konsep Parmalim, sama belaka dengan Allah Swt versi Islam yang Al Khaliq dan Huwa l-Awwalu wa l-Akhiru? Ada juga keyakinan Tan keno Kiniro tan keno Kinoyo ngopo dalam Kejawen, yang sebenarnya serupa saja dengan Laytsa kamislihi syai’un dan Mukhalafatuhu li l-hawaditsi dalam teologi Islam. Tak bisa disamakan dengan segala sesuatu dan tidak sama dengan yang baru.

Sadarilah, semua konsep dalam agama asli Nusantara, sejajar-sederajat dengan yang diajarkan oleh enam agama resmi yang berhasil menduduki pentas kekuasaan di Indonesia. Lantas pertanyaan kita, kenapa itu bisa terjadi?

Dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2005), Denys Lombard mencatat, kebanyakan aliran kepercayaan dipimpin seorang guru kharismatik dan dinaungi oleh kenyamanan suatu komunitas—karena sehari-hari mereka kerap mengalami tekanan dari tatanan sosial yang ketat. Gejala sosial dari kebathinan agaknya berakar panjang, namun baru mulai dipantau dengan baik sejak akhir abad-20. Dalam keseharian, mereka cenderung dilabeli sebagai kelompok ilmu klenik dan diawasi oleh aparat pemangku negara maupun perwakilan agama yang diakui pemerintah.

Imamah atau udeng-udeng, adalah bagian dari pakaian pria dewasa dan wanita di Nusantara, yang sudah membudaya selama ribuan tahun sebelum era kolonial. Busana asli ini berangsur menghilang pada abad ke-20, dengan diwajibkannya pakaian Eropa di sekolah-sekolah dari tingkatan sekolah rakay hingga universitas. Pegawai kantor pemerintah Hindia Belanda juga diwajibkan memakai baju khas Eropa. Awalnya hanya di perkotaan yang dikuasai Belanda, kemudian merambah hingga ke desa-desa.

Tak cukup berhenti di situ. Sekarang kita bisa melihat dengan gamblang, betapa orang-orang Islam gandrung bukan kepalang dengan pola berpakaian masyarakat Arab yang kurang citarasa seninya. Padahal jika menalar konsep menutup aurat, seluruh pakaian adat bangsa ini sudah memenuhi standar semacam itu. Lantas apa lagi yang kurang? Menariknya, para penganjur Islam yang kapiran tersebut, akan berkata bahwa meniru cara berpakaian Nabi Muhammad adalah sunnah. Jika tak dilakukan, sama dengan bukan bagian dari Islam. Lelucon semacam ini sudah merajalela ke alam pikiran umat Islam saat kiwari. Sehingga mereka lupa, bahwa yang penting menjadi Muslim adalah, kebagusan budi pekerti.

Itu baru satu perkara. Masih ada banyak tumor-kanker dalam laku keberagamaan di negeri ini, yang sengaja diimplan oleh bangsa asing. Sekarang ini mereka dipuja-puji, disembah, diagungkan sedemikian rupa sebagai anak turunan nabi. Padahal semua manusia sama di hadapan tuhan, tak ada yang perlu diidolakan. Narasi agama juga sering kali dijadikan tameng untuk menindas, menipu, menakuti orang lain dengan ancaman dosa-neraka, dan iming-iming surga. Alhasil, sedikit sekali di antara umat beragama ini yang tahu apa itu hidup bahagia di dunia.

Bagaimana bisa merasakan, ya karena sering dihipnotis dengan ancaman “jangan hubud dunya (cinta dunia).” Sementara yang menganjurkan, rumahnya kayak istana. Orang semacam ini, tersebar di mana-mana. Ada yang mengaku habib, syeikh, maulana, kiai, ajengan. Orang beragama harus miskin, supaya bisa jadi sapi perah mesin liberalisme. Maka mudah bagi kita untuk mengerti, kenapa bangsa asing di Indonesia, bisa menjadi golongan orang terkaya, dan sebaliknya, warga pribumi selamanya menjadi kacung di negeri sendiri.

Warna-warni dan Rasa Kehidupan ini serbaneka sifatnya. Anda bisa percaya pada apa pun sebagai keyakinan, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi keindahan tetaplah indah dipandang mata. Tak semua orang akan menggali apa yang Anda gali, tapi Anda berhak menggali segala makna dalam kehidupan—termasuk kehadiran kita di semesta raya tak berbatas. Inilah corak khas bangsa Nusantara. Kisanak baru bisa mengenggang perbedaan yang serbaneka dalam panggung megah kehidupan ini, bilamana sudah mampu membereskan betapa sering pikiran, ucapan, tindakan, dan perasaan kita saling bertentangan.

Sudahlah tak bisa mengenali diri sendiri, Anda keukeuh menilai liyan secara serampangan—sesuai standar berpikir sendiri yang lemah. Pahamilah, Saudaraku, menolak peran serta dan kehadiran orang lain, itu sama dengan manafikan karya agung Tuhan.

_____________

Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.