Social Media

Ketika Islam Berkemajuan Membela Minoritas

Tiap memasuki pertengahan bulan November, jam’iyah yang tergabung dalam Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar yang dimiliki Indonesia, merayakan gegap gempita menyambut milad tepat pada tanggal 18. Tahun ini, Muhammadiyah akan memasuki usia ke 109 yang tentu bukan angka yang belia. Telah lebih dari seabad Muhammadiyah turut membumikan nilai-nilai Islam di tanah air.

Bersama counterpart-nya yang lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah tidak hanya menggaungkan ghirah Islam di Nusantara, namun juga sekaligus menggemakan semangat kebangsaan demi tercapainya baldatun thayyibatun wa robbun ghofur melalui gagasan kemanusiaan, demokrasi, dan toleransi di tengah keragaman identitas kebudayaan dan agama di Indonesia.

Refleksi terhadap eksistensi Muhammadiyah tak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh besar dari kalangan Muhammadiyah yang turut memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi Indonesia, terutama terkait pandangan-pandangan transformatif nan modernis yang oleh Muhammadiyah dikampanyekan melalui jargon Islam Berkemajuan atau din al-hadlarah, konsep tersebut megandaikan adanya sikap wasithiyyah atau moderatisme dan tidak ghulul atau ekstrim.

Salah satu prominent leader yang pernah dimiliki Muhammadiyah adalah Buya Hamka. Nama Buya Hamka demikian lekat dengan Muhammadiyah, pun Muhammadiyah telah menyerap dan mengembangkan begitu banyak pikiran-pikiran Buya Hamka dalam diskursus dan tradisi intelektual Islam Indonesia.

Buya Hamka tak hanya seorang ulama yang disegani karena keilmuannya di bidang Islam dan tasfir al-Qur’an, namun juga dalam disiplin ilmu yang lain yang cenderung umum atau universal. Gerrard Moussay menyebut Hamka sebagai seorang tokoh yang berpikiran maju di berbagai bidang, dari jurnalistik, sejarah, antropologi, politik hingga kesusastraan. Tak heran pula bila James R. Rush, seorang sejarawan dari Yale University pernah menulis biografi Hamka dan menyebutnya sebagai A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia.

Keluasan cakrawala keilmuan Buya Hamka tercermin dalam berbagai potret hidup Buya Hamka dalam merespons dan mengambil sikap terhadap kelompok yang berbeda. Salah satunya Syi’ah.

Ketika Buya Hamka Merujuk Karya Syi’ah

Dalam sebuah buku berjudul Hamka Membahas Soal-soal Islam yang disunting oleh Rusydi Hamka, anak angkat Buya Hamka, dituliskan bagaimana pandangan Buya Hamka tentang Syi’ah secara ilmiah dan penuh simpati. Di salah satu artikel yang ditulis oleh Buya Hamka sendiri, yang dimuat di majalah Gema Islam edisi 28 tahun 1963, Buya Hamka nampak menjauhi sikap menonjolkan perbedaan-perbedaan antara Sunni dan Syiah, justru beliau mencoba mencari titik temu dan kesepahaman sehingga ruang perseteruan yang kerap membenturkan Syiah dan Sunni bisa diredam.

Di artikel tersebut, Buya Hamka menutupnya dengan pesan yang demikian meneduhkan: Kaum Syiah mengakui sebagai kita juga. Tidak ada Tuhan Selain Allah. Tidak Ada Nabi Sesudah Muhammad. Pesan tersebut meniscayakan pesan agung tentang persatuan yang harusnya lebih diutamakan ketimbang menajamkan persoalan-persoalan khilafiyah atau perbedaan yang memang telah menjadi bagian dari sunnatullah.

Selain menunjukkan iktikad interaksi yang komunikatif terhadap kelompok Syi’ah, Buya Hamka juga tak ragu sedikit pun ketika menjadikan karya-karya Syiah sebagai rujukan dalam tafsir Quran yang ditulisnya, yaitu Tafsir Al-Azhar. Secara ilmiah dan jujur, dalam penggarapan karya tafsir Qurannya yang monumental tersebut, Buya Hamka mengutip beberapa karya intelektual Syiah, di antaranya Tafsir al-Mizan karangan al-Taba’taba’i dan al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ayatullah al-Kha’is.

Kejujuran dan keberanian Buya Hamka dalam berinteraksi baik secara sosial maupun secara ilmiah dengan kelompok Syiah itu, menjadikan Buya Hamka pernah dituding sebagai bagian dari Syiah. Sebagai seorang tokoh pembaharu dengan tingkat keilmuan yang demikian luas, Buya Hamka memang kerap menerima tudingan macam-macam. Seperti tudingan kiai cabul yang pernah diterima beliau usai menerbitkan novel fenomenal berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian muslim menganggap bahwa seorang kiai atau ulama tidak selayaknya menulis karya-karya yang mengelaborasi romantisme percintaan.

Ketika Buya Hamka Membela Waria

Sikap hidup Buya Hamka yang mencoba membangun jembatan ukhuwah secara baik, tidak hanya ditujukan kepada kelompok mazhab yang berbeda seperti Syi’ah, bahkan kepada kelompok minoritas gender dan seksualitas yang kerap tak tersentuh oleh kalangan sosio-relijius di Indonesia pun, Buya Hamka menunjukkan sikap adilnya.

Adalah tahun 1973 kala itu, ketika Buya Hamka hadir dalam sebuah persidangan pergantian jenis kelamin pertama di Indonesia yang diajukan oleh seseorang bernama Vivian Rubianty, sebelumnya bernama Iwan Rubianto. Buya Hamka mewakili Islam untuk memberikan kesaksian dari pandangan agama, di samping juga Hakim mengundang tokoh agama Kristen sebagai saksi ahli.

Sebagai seorang ulama, Buya Hamka nampak demikian menjauhi sikap mudah menghakimi, atau mudah memberi cap-cap dosa dan haram kepada waria atau transgender yang hingga saat ini justru terus menerus mengalami diskriminasi dan persekusi atas nama agama.

Adnan Buyung Nasution dalam buku Menabur Benih Reformasi merekam secara detail kesaksian Buya Hamka di persidangan yang cukup menyita perhatian nasional kala itu. Kesaksian Buya Hamka tersebut juga diungkap oleh Eman Rajagukguk yang saat itu menjadi wartawan Harian Kami ketika meliput sidang pergantian status jenis kelamin tersebut.

Buya Hamka mengatakan: “Ajaran Islam mengajarkan bahwa manusia dengan ilmunya haruslah dipergunakan untuk kemaslahatan kehidupan manusia itu sendiri. Upaya hukum untuk mengubah status akta kelahiran dari laki-laki menjadi perempuan atas nama Vivian, tidaklah bertentangan dengan hukum Tuhan dan justru sesuai dengan ajaran Islam yang mengutamakan kemaslahatan.”

Pembelaan dan sikap simpatik Buya Hamka terhadap Syiah dan waria tersebut merefleksikan karakteristik Muhammadiyah yang menjunjung tinggi gerakan tajdid atau pembaharu tanpa kehilangan ruh-ruh islaminya yang kental. Semangat ukhrawi dalam konsep Muhammadiyah digelorakan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan toleransi.

Wallahu A’lam.

(Artikel ini pertama kali dimuat di islami.co)

Santri abadi, pegiat kemanusiaan, dan pengaji kebudayaan.