Social Media

Kita dan Rasisme di Amerika

Tagar (#)StopAsianHate menyeruak menjadi tranding di Twitter beberapa hari lalu. Rasisme, problem yang telah mengakar dalam sejarah Amerika, kembali memanas setidaknya dalam setahun terakhir. Tahun lalu, media internasional digegerkan dengan kematian George Floyd, warga kulit hitam, di tangan seorang polisi kulit putih. Kali ini banyak warga AS berwajah Asia (oriental) yang menjadi sasaran penembakan, pelecehan, dan pengucilan atas dasar warna kulit mereka.

Melalui pesan messenger saya memberanikan diri menanyakan kabar Mr. Lee Becker, seorang warga keturunan Asia-Amerika yang tinggal di negara bagian Colorado AS. Beliau adalah relawan guru bahasa Inggris saat saya belajar di pesantren beberapa tahun silam. Tidak berselang lama, beliau menulis balasan: “Saya baik-baik saja, karena saya memiliki white-passing previlige”, yakni seseorang dengan dua ras dalam dirinya, tetapi lebih diidentifikasi sebagai warga kulit putih dan memiliki sejumlah keuntungan sebagaimana yang dimiliki oleh warga kulit putih pada umumnya. Namun demikian, beliau sangat mengkhawatirkan ibundanya yang tidak bisa menutupi wajah Asianya dan sering berhubungan dengan para pembeli dari berbagai elemen masyarakat, tidak seperti beliau yang hidup di tengah kawasan orang-orang terpelajar sehingga tidak perlu meninggalkan rumah.

Saat membaca berita di media daring The New Yorks Times (18/02) saya mendapati sebuah kisah yang tidak kalah menyentuh hati tentang bagaimana dampak buruk dari rasisme:

 Sebagai seorang gadis berkulit hitam, aku telah mengalami berbagai penderitaan yang disebabkan karena warna kulitku. Banyak teman masa kecilku yang tidak berkulit hitam (non-black), dan seringkali aku merasa terasing di tengah mereka. Suatu hari, setelah aku meluruskan rambut untuk sebuah acara foto, seorang teman kulit putih mengatakan, “Wow, rambutmu akhirnya normal!”. Tiba-tiba saja, aku merasa bahwa rambutku yang aslinya keriting ini adalah tidak normal, dan aku tidak mau menjadi tidak normal lagi. Lalu, secara perlahan rasisme merasuk dan tumbuh dalam diriku. Aku merasa sangat malu menjadi gadis berkulit hitam…. Kini (setelah terjadi banyak demontrasi pasca kematian George Floyd) aku menjadi bangga atas warna kulitku. Aku mencintai rambutku, dan mencintai kulitku. Namun, masih terlampau sulit bagiku untuk mendapatiku terlihat cantik saat menatap wajah di depan cermin. Terkadang hal ini sangat menyakitkan mengetahui bahwa gadis-gadis berwarna cerah akan selalu menjadi lebih cantik daripada diriku.. … namun, akan selalu keingatkan diriku bahwa OK, aku menerimanya, segala sesuatunya akan berubah. Aku masih cukup muda untuk turut membuat perubahan di masa depan di mana tidak ada lagi gadis berkulit hitam yang mengalami penderitaan seperti yang telah kualami.

Cerita tentang pengalaman mendapatkan perlakuan diskriminatif berdasarkan perbedaan warna kulit juga saya jumpai saat mendengarkan versi audio book novel Americanah (2013). Novel tersebut mengisahkan tentang Ifemelu, gadis berkulit hitam yang merantau ke Amerika untuk belajar di perguruan tinggi setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Lagos, Nigeria. Dia berasal dari keluarga kelas menengah dan memiliki masa kecil yang membahagiakan. Namun, hari-hari pertama berada di Amerika membuat dirinya shock. Itulah untuk pertama kalinya dia menjadi mengerti tentang apa yang dimaksud dengan “Black Person”. Tentu saja dia kaget. Sebab, di negeri asalnya, Nigeria, dia tidak pernah mengalami diskriminasi semacam itu. Di negaranya yang membedakan antara satu orang dengan lainnya berkisar pada masalah suku dan agama. Namun, di Amerika, dia menemukan identitas baru yang dialamatkan kepadanya sebagai “orang hitam” dengan berbagai stereotype yang menyertainya.

Berdasarkan laporan dari Stop Asian Americans and Pacific Islanders Hate, sebagaimana dikutip Tempo (26/03), terdapat 3.795 aduan terkait perlakuan rasial dalam rentang waktu 19 Maret 2020 sampai dengan 28 Februari 2021. Sebagian besar aduan itu berkaitan dengan pelecehan verbal (68,1%), pengucilan (20,5%), serangan fisik (11,1%), pelanggaran hak sipil (8,5%), dan pelecehan melalui media online (6,8%). Mengemukanya rasisme ini terjadi beriringan dengan wabah Covid-19. Kematian George Floyd di tangan oknum polisi kulit putih dan Virus Covid-19 yang disebut sebagai Virus-China menjadi beberapa faktor yang melatari merebaknya rasisme tersebut.

Bahaya Rasisme

Cerita tentang rasisme juga tidak asing di negeri ini, baik pada masa lalu maupun saat ini. Bung Karno, misalnya, pernah mendapatkan perlakuan rasial sewaktu masih sekolah. Dia diludahi, diolok-olok, dan dikucilkan oleh siswa lain yang berasal dari keturunan kulit putih Belanda. Begitu juga tokoh Minke di dalam novel Bumi Manusia. Dalam sebuah jamuan makan malam di rumah Annelis, sang tuan rumah Herman Mellema mengakatakan kurang lebih seperti ini: “Meskipun kamu berbahasa Eropa, mengenakan pakaian Eropa, sekolah di lembaga pendidikan Eropa, kowe tetep Monyet!” Beberapa waktu lalu, perlakuan rasis juga dialami oleh pesepakbola asal Papua, Pattrick Wanggai. Di media sosial, seorang netizen menyebutnya dengan perkataan, “monyet”.

Apa yang salah dengan warna kulit kita?  Bukankah perbedaan warna kulit, bentuk rambut, ras, dan suku merupakan pemberian Tuhan di mana kita tidak bisa merencanakannya? Lantas kenapa sebagian orang atau kelompok dengan warna kulit tertentu merasa lebih baik, superior, dan berkuasa  dan, pada saat yang sama, merendahkan warna kulit lainnya?

Cerita-cerita di atas semakin memahamkan kita tentang bahaya dari rasisme. Rasisme dapat merenggut kehormatan dan martabat seorang manusia. Menodai fitrah kemanusiaan. Merendahkan derajat kemanusiaan. Problem dari rasisme tidak terletak pada warna kulit atau perbedaan ras melainkan pada narasi, cerita, mitos, yang diciptakan dan diwariskan tentang warna kulit tertentu.

Sayangnya, kita, seringkali, juga melakukan hal berbau rasis tanpa kita sadari. Setelah masuk di pesantren, ada seorang santri yang berasal dari Indonesia timur, berkulit gelap, rambut keriting, dan tubuh kekar serta dialek bahasa yang sangat khas. Ketika itu, saya menilainya dengan pandangan yang secara umum dapat dikatakan ‘kasihan’. Melihatnya yang terbayang adalah kemiskinan, keterbelakangan, dan dia tidak bisa melakukan banyak hal sebagaimana santri-santri yang berasal dari Jawa. Rambut kritingnya, dialek bahasanya, tidak jarang menjadi bahan lelucon teman-teman seangkatan dan santri lainnya.

Cara pandang yang saya seperti itu, dan kini sungguh saya merasa malu karenanya, terbentuk di antaranya lewat cerita-cerita guru di sekolah, pemberitaan di televisi, dan media lainnya. Saat membicarakan tentang kemajuan di Indonesia, misalnya, biasanya yang menjadi patokan adalah Jakarta dan Jawa. Sebaliknya, ketika membahas ketertinggalan yang menjadi contoh adalah wilayah pelosok, termasuk Papua. Saat membicarakan tentang ideal cantik dan ganteng kita alam bawah sadar kita mengatakan bahwa cantik adalah putih, rambut lurus, bibir mungil dan semacamnya. Ada narasi tunggal tentang kecantikan yang jika kita telusuri lebih ada kepentingan ekonomi dan bahkan politik di belakangnya.

Konsekuensinya, kita dengan mudah mengasosiasikan rambut kriting dan kulit gelap sebagai sesuatu yang tidak ideal. Kehidupan suku-suku di pedalaman sebagai tidak maju. Kita memandang koteka, misalnya, sebagai simbol budaya yang lebih rendah ketimbang masyarakat lain yang memakai baju dan sepatu. Berapa banyak dari kita yang pernah dan masih tidak percaya diri dengan rambutnya yang keriting dan berkulit gelap? Betapa banyak anak-anak yang kehilangan kepercayaan dirinya atas dasar bentuk rambut dan warna kulitnya?

Betapa rapuhnya diri kita di hadapan narasi-narasi atas nama kemajuan, kecantikan, dan berperadaban semacam itu. Sungguh, di dalam sebuah masyarakat dengan budaya seperti itu, sangat tidak mudah bagi kita untuk berkata: aku sangat bersyukur atas semua pemberian ini. Bentuk tubuh, rambut, dan warna kulit. Andaipun aku bisa memohon untuk dilahirkan kembali aku tetap ingin dalam keadaan sebagaimana diriku saat ini. Ya.. rasisme tidak hanya di Amerika dan Eropa, tetapi juga ada di sekitar kita bahkan mungkin kita pernah melakukan tindakan yang berbau rasis.

Artikel ini sebelumnya tayang di Islami.co

Pegiat kajian sejarah di Islami Institute.