Social Media

Lawan Arus Eksklusivisme, Pojok GUSDURian Bone Diskusikan Pemikiran Cak Nur dan Gus Dur

Keterbukaan dialog antargolongan masih menjadi tantangan di Indonesia. Tidak semua orang mau melakukan dialog dengan kelompok lainnya. Maka dari itu Komunitas GUSDURian Bone melalui Pojok GUSDURian kembali melakukan diskusi rutinan terkait 9 nilai utama Gus Dur.

Diskusi rutin kali ini dilaksanakan di pelataran Mushola Kampus 1 IAIN Bone dengan menghadirkan pemateri dosen ilmu hukum UNIMA Manado yakni Mujibur Rahman yang juga merupakan anggota dari Komunitas Literasi RUMI (Rumah Mikir dan Imaji) Bone. Kegiatan ini dilaksanakan pada Jumat (4/11/2022) lalu di pelataran Musholla Jampus IAIN Bone.

Pemateri mengawali diskusi kali ini dengan sedikit menjelaskan sejarah dunia akademik yang lahir di daratan Eropa, yakni sebuah daerah yang bernama Athena.

“Athena adalah sebuah kawasan di daratan Eropa. Di sana ada sebuah daerah yang dikenal dengan nama Academos, di mana di tempat tersebut berkumpul orang-orang yang saling berdiskusi terkait permasalahan lingkungan sekitar mereka dan di sanalah Bapak Dialektika mengajar, yakni Socrates,” tutur Mujibur Rahman.

Pemateri menjelaskan bahwasanya gagasan kemanusiaan dan keislaman mesti mengambil nilai-nilai inklusivisme sebagai suatu bentuk perlawanan atas otoritas pemangku pengetahuan, khususnya agama.

“Cak Nur adalah sosok manusia yang gemar melawan arus akibat realitas yang penuh kejumudan. Beliau adalah sosok yang tidak terlepas dari konsep pemikiran tokoh pembaharu Islam yakni Muhammad Abduh. Abduh sendiri terkenal dengan diktumnya Al Islamu mahjubun bil muslimin yang artinya bahwa umat Islam itu tampak pada perilaku yang muncul pada umat muslim itu sendiri, sehingga wajah Islam itu tergantung pada perilaku dan akhlak umat muslim sendiri,” lanjutnya.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh pemateri, bahwa gagasan seorang Cak Nur adalah konsep keterbukaan serta penuh akan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh seorang Gus Dur tanpa pernah melihat ras, suku, agama dan martabat manusia.

Diskusi kali ini ditutup oleh pemateri dengan gagasan dialog teologi yakni ahadiyah, wahidiyah, dan tajalli. Menurutnya, pendakwahan nilai-nilai agama dan kemanusiaan hari ini disampaikan dengan beberapa karakter, baik dengan cara yang nahi mungkar, amar ma’ruf, atau bil hikmah, sehingga respons seseorang pada agama dan kemanusiaan tergantung dengan cara yang digunakan.

“Maka dari itu gagasan ahadiyah, wahidiyah, dan tajalli sebagai suatu konsep penghayatan diri dalam penghambaan sebagai mahluk Tuhan mesti dipahami agar implementasi nilai agama dan kemanusiaan dapat sepenuhnya menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia (hadir penuh dalam setiap peristiwa),” pungkas Mujibur Rahman.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.