Social Media

Mandela dan Gus Dur: Antara Madiba Afrika Selatan dan Indonesia

Peradaban manusia yang terwakili oleh sejarah mengambil alih hak kepemilikan atas kiprah dua tokoh terkemuka, yakni meninggalnya Nelson Mandela dan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur meninggal pada 29 Desember 2009, sedangkan Nelson Mandela meninggal setelah 4 tahun kemudian. Kesamaan bulan meninggalnya kedua tokoh besar dan karismatik ini, sekaligus memberikan kesamaan yang secara substantif akan selalu dikenang oleh peradaban manusia di kemudian, yang disebut dengan legacy atau warisan sejarah.

Bukan sebagai kebetulan semata atas kesamaan legacy yang ditinggal oleh kedua tokoh ini, tetapi kedua tokoh ini saling menginspirasi negara masing-masing untuk memperkokoh adanya demokrasi, pluralisme, dan humanisme. Sehingga, layak predikat Madiba (Bapak Bangsa) disematkan oleh bangsa Afrika Selatan kepada Nelson Mandela yang juga sudah dimiliki oleh Gus Dur selaku Bapak Bangsa bagi Indonesia.

Kesamaan Struktural

Mandela dan Gus Dur memiliki kesamaan sama-sama pernah menjabat sebagai kepala negara di negara masing-masing. Uniknya, untuk menjadi Presiden, kedua tokoh ini harus melalui perjuangan yang panjang. Kekuatan politik negara masing-masing yang sangat hegemonis, membuat tokoh ini mendapatkan tekanan yang menciptakan penderitaan panjang bagi keduanya.

Mandela rela mendekam di penjara selama 27 tahun untuk memperjuangkan prinsip idelogi politiknya, melawan dominasi dan hegemoni apartheid. Penderitaan di dalam penjara yang panjang ini, tidak membuat goyah sedikit pun bagi Mandela untuk berbalik arah mencabut prinsip politiknya, bahkan semakin memperkokoh perjuangan Mandela, yang akhirnya mendapatkan dukungan dunia internasional dan terbebas dari penjara setelah keruntuhan pemerintahan apartheid pada tahun 1990, yang akhirnya mengantarkan Mandela terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan pada tahun 1994 secara demokratis.

Gus Dur menjadi Presiden ke-4 Indonesia salama 21 bulan pada tahun 1999 hingga 2001, setelah era reformasi tercetus dan melewati pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Jabatan Presiden tersebut didapat setelah Gus Dur juga secara konsisten mempertahankan ideologi politiknya, dan selama 15 tahun bertahan dari tekanan politik Soeharto ketika Gus Dur memimpin NU.

Soeharto pernah memberi sinyal mendukung kepemimpian Gus Dur pada muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, karena pada waktu itu Gus Dur memelopori khittah NU yang mengembalikan NU menjadi organisasi keagamaan murni dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal bernegara. Di tangan Gus Dur, Pancasila menjadi seperti agama sipil yang terus mendorong maju akan pencerahan demokrasi dan pemerintahan yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang menjadikan Soeharto kehilangan kesabaran terhadap Gus Dur, dan menjadikan tekanan terhadap Gus Dur semakin meningkat. (Greg Barton; The Authorized Biography of Abdurahman Wahid; 2003).

Pejuang Demokrasi yang Humanis

Nelson Mandela mampu memukau dunia dengan menerima Nobel Perdamaian tahun 1993, karena konsistensi perjuangannya yang membebaskan Afrika Selatan dari tekanan politik pemerintah yang didasarkan pada politik ras oleh kamu pendatang kulit putih. Mandela secara konsisten menyuarakan dan bertindak untuk melawan politik yang menempatkan keunggulan ras kulit putih dibanding dengan ras kulit hitam (politik apartheid). Mandela sadar sepenuhnya, jika politik apartheid ini dibiarkan, maka akan menindas hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan kesamaan hak politik mereka. Tidak boleh ada lagi kelas suatu bangsa itu ditentukan oleh warna kulit, latar belakang, atau agama.

Mandela juga berjuang dengan menggunakan prinsip anti kekerasan. Dunia waktu itu memperkirakan kalau Mandela akan mengguncang habis dengan membalas secara politik kaum ras kulit putih, akan tetapi perkiraaan itu dijungkirbalikkan oleh Mandela dengan mengendalikan pengikutnya agar mengerem syahwat dendam dan kekerasan kepada lawan politik mereka, dan lebih spektakuler lagi Mandela menyeru kepada pengikutnya untuk memberikan maaf atau pengampunan kepada lawan politiknya tersebut.

Gus Dur selain dikenal sebagai kiai, politikus, juga dikenal sebagai tokoh pluralisme dan humanisme. Gus Dur secara konsisten memperjuangkan hak setiap orang sebagai manusia yang utuh, tidak boleh dibedakan dari mana mereka berasal. Gus Dur akan berdiri di barisan terdepan ketika ada sebagaian kaum minoritas yang tidak terpenuhi hak-hak manusiawinya, termasuk dalam hal berkeyakinan. Oleh karenanya Gus Dur mengakui Konghucu sebagai agama atau kepercayaan, dan memberikan hak hari libur pada perayaan Imlek.

Gus Dur menerapkan prinsip demokrasi yang memanusiakan ketika menjadi Presiden. Dimana kebebasan pers dan kebebasan berpendapat bukan menjadi hal langka lagi, yang diimplementasikan dengan membubarkan departemen penerangan, karena dianggap sebagai pengahambat berkembangnya kebebasan berdemokrasi. Selain itu, terhadap kelembagaan kepresidenan, Gus Dur juga membuat terobosan dengan mejadikannya sebagai lembaga yang tidak kaku, dengan mengubah istana presiden menjadi lebih terbuka, sehingga membuka akses yang cukup longgar bagi masyarakat. Gus Dur berkeinginan agar lembaga kepresidenan ini lebih dekat dengan rakyat dan bukan sekedar sebagai kesakralan simbol negara saja.

Hikmah Warisan (Legacy)

Kesamaan antara kedua tokoh besar ini tentunya akan memberikan hikmah yang akan menjadi warisan berharga untuk pembelajaran bagi perkembangan demokrasi suatu bangsa. Dan yang paling mengesankan dari semua kesamaan yang dimiliki keduanya, adalah penolakan terhadap politik balas dendam dan kekerasan.

Nelson Mandela memberikan pembelajaran bagi dunia, ketika beliau terbebas dari penjara dan beberapa tahun kemudian menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan. Alih-alih melakukan pembalasan terhadap lawan politiknya, yang juga minoritas, tetapi justru memberikan ampunan dengan menerapkan politik rekonsiliasi, dan mengajak secara bersama-sama membangun kebangkitan Afrika Selatan. Gus Dur, ketika menjadi presiden mendorong rekonsiliasi terutama pada Soeharto untuk memberikan maaf tetapi terlebih dahulu harus diadili. Dan setelah kejatuhannya, Gus Dur juga masih memperlakukan dan berkawan baik dengan lawan politik yang menjatuhkannya dari kursi presiden.

Keteladanan yang mengisnpirasi dari kedua tokoh ini, dan yang sudah menjadi milik sejarah, maka tugas kita selanjutnya adalah mendorong agar nilai-nilai warisan tersebut bisa diimplementasikan untuk kemajuan negara kita.

Penulis adalah Professional Bisnis dan Dosen Tamu Leadership di FEB UB Malang.