Social Media

Memaknai Esensi Ketauhidan dalam Berpuasa

Bulan Ramadan adalah salah satu bulan yang penuh dengan rahmat dan kemuliaan. Kedatangannya hampir pasti selalu menjadi momen yang sangat ditunggu oleh umat muslim di seluruh dunia.

Satu hal yang menarik, di antara banyak kewajiban ibadah dalam Islam, berpuasa pada bulan Ramadan menjadi ibadah yang paling meriah dan populer, khususnya di Indonesia. Bagaimana tidak? Kedatangannya selalu dirindukan oleh seluruh umat muslim baik orang dewasa maupun anak-anak. Semua nampak antusias dan berbahagia ketika bulan suci Ramadan tiba.

Tidak berlebihan rasanya jika kita semua menganggap bulan Ramadan adalah bulan yang unik dan spesial. Penuh karunia dan pengampunan-Nya. Al-Qur’an diturunkan (Nuzulul Qur’an) pada bulan Ramadan. Di dalamnya juga terdapat satu malam “Lailatul Qadar”, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu, Allah Swt sang penguasa alam semesta membuka pintu rahmat seluas-luasnya bagi hamba-Nya yang berdoa dan memohon kepada-Nya.

Namun ironisnya, ketika Allah Swt sudah membuka rahmat dan ampunannya, justru banyak dari kita sebagai umat muslim lalai dan cenderung menyia-nyiakan kesempatan untuk beribadah dengan baik dan mengharap ampunan-Nya. Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan esensi daripada berpuasa itu sendiri. Karena sejatinya berpuasa ialah menahan diri dari segala perbuatan jahat dan keji.

Esensi Ketauhidan dalam Berpuasa

“Sudahkah kita benar-benar menjalankan ibadah dengan hanya berharap kepada Allah?”

Pertanyaan di atas sejatinya perlu menjadi sebuah alarm bagi kita semua sebagai umat muslim bahwa sejatinya dalam beribadah kita tidak diperbolehkan untuk berharap kepada selain-Nya. Salah satu tokoh Islam terkenal pernah mengatakan, bahwa seyogyanya ibadah itu antara kita dan Tuhan. Beribadahlah dalam diam dengan niat tulus ingin membangun sebuah relasi yang intim dengan Sang Pencipta untuk memohon rahmat dan ampunan-Nya.

Tetapi pada masa sekarang ini, hal tersebut nampak sulit sekali untuk diwujudkan. Sering kali kita jumpai banyak orang yang beribadah justru hanya ingin sekadar mendapatkan apresiasi dan pujian dari sesama manusia. Hal itu tanpa disadari menjadi sebuah disparitas antara Tuhan dan hamba-Nya. Pada momentum Ramadan inilah kesempatan bagi kita untuk belajar beribadah secara lillahita’ala. Bulan suci Ramadan merupakan sebuah momentum emas bagi kita semua untuk semakin meningkatkan ketakwaan hanya kepada Allah Swt melalui puasa.

Pada hakikatnya, berpuasa di bulan Ramadan adalah perintah dari Sang Maha Kuasa yakni Allah Swt. Puasa juga menjadi salah satu rukun Islam, bersama dengan syahadat, salat, zakat, dan haji yang wajib kita semua tunaikan. Terutama untuk ibadah puasa, kewajiban ini memiliki nilai tersendiri di mata Allah Swt. Allah berfirman dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, “Semua amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya dari sepuluh hingga tujuh ratus kali, Allah berfirman: kecuali puasa, itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang langsung memberikan pahala padanya.” (HR. Muslim)

Namun, apa yang terjadi justru bertolak belakang. Kita beribadah (puasa) namun seperti tidak sedang berpuasa. Rasulullah bersabda, “Bisa jadi mereka yang berpuasa, tidak lebih hanya mendapatkan haus dan dahaga saja” Realitanya memang masih banyak dari kita tidak benar-benar memanfaatkan momentum ibadah puasa sebagai sarana membangun hubungan kepada Allah Swt. Puasa (menahan diri) tidak sepenuhnya mampu kita kuasai. Padahal puasa itu sendiri dapat mengajarkan kita arti ketakwaan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana membangun sebuah relasi yang intim dengan Tuhan dengan berpuasa. Tetapi kita masih saja terlena dengan nikmatnya dunia.

Buktinya, setiap menjelang datangnya penghujung bulan Ramadan, toko, mal, supermarket, dan pusat perbelanjaan lainnya menjadi ramai sesak dipenuhi pengunjung yang ingin memuaskan hasratnya. Alhasil, uang belanja pun meningkat secara drastis. Jika uang tidak mencukupi, kita bahkan rela mencari pinjaman dengan berbagai cara. Semua hal itu rela kita lakukan demi terpenuhnya hasrat untuk tampil keren di hari raya.

Supermarket memperpanjang waktu buka hingga tengah malam hanya demi memenuhi hasrat konsumtif dari para manusia yang gila. Disparitas antara Tuhan dan hamba-Nya kian nampak terlihat dengan berbondong-bondongnya para manusia memuaskan hasratnya. Semua itu lebih terlihat sebagai sebuah “balas dendam” terhadap bulan Ramadan daripada sekadar sebuah persiapan untuk menyambut kemenangan.

Segala hal yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi seakan memperdaya kita dan menjauhkan kita dari esensi puasa itu sendiri. Padahal pada malam-malam terakhir di bulan puasa, rahmat dan ampunan Allah semakin deras mengalir bagi para hamba-Nya yang memohon dan meminta ampunan. Tapi apa yang terjadi? Masjid, musholla, dan tempat-tempat ibadah justru sepi. Kita bisa lihat dari semakin sedikitnya jumlah shaf solat ketika Tarawih. Kian hari jumlahnya kian menipis.

Disadari maupun tidak, kebiasaan buruk yang telah membudaya ini sampai memengaruhi kegiatan perdagangan ekonomi Negara. Presiden dan para staf menterinya sibuk untuk memenuhi segala permintaan dan kebutuhan konsumtif para rakyatnya yang melonjak.

Seruan Iklan Kalahkan Panggilan Tuhan

Kegilaan para manusia di kala Ramadan hampir menuju akhir tidak hanya merugikan bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain yang kurang mampu. Mereka yang malang, lemah secara ekonomi secara langsung terkena dampak dari ulah para manusia yang doyan akan duniawi. Zakat fitrah yang biasa mereka terima tentu jauh nilainya dibandingkan dengan kerasnya perjuangan hidup yang harus mereka lalui. Belum lagi, perasaan iba dari mereka kepada kita para manusia gila dunia yang rela menghamburkan uang dengan jumlah yang besar hanya untuk sekedar memamerkan harta benda yang sifatnya sementara.

Sampai di situ, seharusnya para manusia yang mengaku beriman kepada Tuhan apa sebenarnya yang telah kita lakukan. Kembali memahami makna dan esensi puasa. Kembali meratapi bahwa hidup hanya sementara. Sudah seharusnya dari puasa kita belajar untuk menahan segala macam nafsu buas dari diri kita. Belajar untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dan menjauhi larangannya yang mana sudah sesuai dengan nilai-nilai puasa.

Semoga di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan ini, kita semua diberi keistiqomahan dalam berpuasa dan beribadah demi mengharap ridho-Nya. Jadikan bulan Ramadan sebagai ajang untuk kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Mahasiswa tingkat akhir yang aktif sebagai penulis lepas di berbagai media. Tulisannya bisa dijumpai di Qureta, Hipwee, dan Kumparan.