Social Media

Moderasi Beragama yang Saya Pahami

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. 2.143).

Ada tiga agama yang diturunkan Tuhan kepada nabi-Nya, yang dalam istilah Ali Syariati, cendekiawan muslim asal Iran, disebut sebagai “agama Ibrahimik”. Hal itu dikarenakan ketiga agama ini berasal dari keturunan Nabi Ibrahim dari kedua istrinya Sarah dan Siti Hajar. Dari jalur Siti Sarah banyak lahir nabi-nabi, mulai dari Nabi Ishak sampai Nabi Isa. Dari jalur inilah lahir agama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi dibawa oleh Nabi Musa dengan kitabnya Taurat dan agama Nasrani dibawa oleh Nabi Isa dengan kitabnya Injil.

Kemudian dari jalur Siti Hajar hanya melahirkan dua orang nabi, yakni Ismail dan Muhammad. Pada prinsipnya ketiga agama Ibrahimik ini adalah membawa misi yang sama, yakni misi tauhid, mengesakan Tuhan. Cuma dalam detail-detail ajarannya, ada perbedaan dari ketiga agama ini. Agama Yahudi yang dibawa oleh Nabi Musa lebih berorientasi pada hukum, sangat formalistik, dan kaku. Hal itu dikarenakan umat Nabi Musa bersifat keras dan susah diatur. Maka secara bahasa Taurat itu berarti hukum. Sedangkan agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa lebih berorientasi pada kasih sayang, ajaran kasih yang menjadi inti dari agama ini.

Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh Muhammad mencoba menggabungkan antara orientasi hukum yang ada dalam agama Yahudi dan orientasi kasih yang ada dalam agama Nasrani. Itulah yang dalam bahasa Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, bahwa agama Islam adalah agama tengah, agama wasat, atau agama yang menyatukan antara sisi hukum agama Yahudi dan sisi kemanusiaan dalam agama Nasrani. Dan di situlah letak kesempurnaan agama Islam sebagai agama pamungkas dari agama Ibrahimik.

Lalu apa yang menjadi karakter dari “ummatan wasatan” atau “umat tengah”, sebagaimana maksud dari ayat di atas? Dalam hal ini Nabi juga menjadi saksi bahwa ummatan wasatan adalah masyarakat yang diperjuangkan oleh Nabi, baik ketika berada di Mekkah, terlebih sewaktu berada di Madinah.

Di ayat lain yang juga terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 151-152: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dan hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.

Salah satu cendekiawan muslim yang merupakan dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Hamim Ilyas, yang juga merupakan kader dari Muhammadiyah, mencoba memberikan interpretasi tentang karakter yang ada dalam ummatan wasatan dengan mencoba mengurai ayat di atas.

Yang pertama menjadi ciri khas dari ummatan wasatan adalah sifat “Pencerah”, sebagai interpretasi dari potongan ayat “yatlu alaikum ayatina“. Bahwa peran Nabi Muhammad selama dalam tugas misinya adalah mencerahkan atau sebagai pencerah terhadap masyarakat di sekitarnya. Nabi selalu aktif membacakan ayat-ayat Tuhan terhadap masyarakat yang dia hadapi, baik terhadap kafir Quraisy, lebih-lebih terhadap para sahabatnya.

Yang kedua adalah “Bersih”. Islam adalah agama yang sangat mengedepankan tentang kebersihan. Teks-teks keagamaan sangat banyak menyinggung tentang kebersihan. Namun kebersihan di sini bukan hanya kebersihan secara lahiri. Ayat dalam Qur’an yang berbicara tentang kebersihan lahir dan batin adalah “Bersihkanlah pakaianmu”. Di sini ada dua penafsiran terhadap ayat ini, bisa dengan pendekatan fiqh formal, atau pendekatan tasawuf atau batini. Penafsiran yang lebih mendalam terhadap ayat ini adalah hendaklah kita membersihkan sifat-sifat tercela dalam diri kita, penyakit penyakit hati, maupun pemikiran-pemikiran yang kotor.

Yang ketiga dari karakter ummatan wasatan adalah “Unggul”. Terinspirasi dari ayat “wayuallimukumul kitab“, yang mengajarkan kepadamu Al-Qur’an. Masyarakat Arab sebelum munculnya Muhammad adalah masyarakat yang tertinggal jika dibandingkan dengan Romawi dan Persia, dua kerajaan yang paling berpengaruh pada waktu itu. Dengan kemunculan Muhammad di jazirah Arab, dia berhasil mengangkat masyarakat Arab menjadi masyarakat yang unggul. Masyarakat Arab adalah masyarakat yang berperadaban tinggi. Dengan Al-Qur’an, Muhammad berhasil menciptakan suatu peradaban yang Agung dan sangat disegani oleh Persia dan Romawi. Peradaban yang lahir dari rahim Al-Qur’an adalah peradaban iman dan ilmu, yang oleh Buya Syafii Ma’arif kedua model peradaban tersebut disebut sebagai peradaban yang tahan bantingan sejarah. Itulah yang membuat unggul masyarakat pada masa Nabi sampai lima abad berikutnya.

Yang keempat adalah “Hikmah” atau walhikmah. Bahwa ummatan wasatan adalah umat yang mengedepankan kebijaksanaan dalam bertindak. Umat yang menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran selalu menggunakan pendekatan hikmah dan nasihat-nasihat yang baik.

Yang kelima adalah “Berwawasan yang luas”, atau dalam bahasa ayat di atas “wayuallimukum malam takunu ta’lamun“. Karakter ini sangat penting, karena inilah yang menjadi misi pertama dari umat Muhammad. Keluasan wawasan tidak pernah terlepas dari hasil pembacaan terhadap ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah. Semakin tinggi bacaan seseorang, akan membuat dia semakin bijak dan tidak mudah menyalahkan dan mengafirkan kelompok-kelompok lain. Demikian sebaliknya, semakin rendah bacaan seseorang, dia akan semakin mudah menyalahkan kelompok yang lain, dan merasa kelompoknyalah yang paling benar.

Keenam adalah “Religius”, yang merupakan terjemahan dari “padzkuruni adzkurkum“. Umat yang religius adalah umat yang banyak mengingat Tuhan. Manusia harus memanfaatkan potensi yang mereka miliki sebagai makhluk yang punya potensi keilahian. Apabila potensi-potensi itu dikembangkan lewat ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan, niscaya manusia akan menjadi makhluk yang religius, manusia yang dekat dengan Tuhan.

Selanjutnya adalah “wasykuruli wala takfurun“. Bahwa umat wasatan itu adalah umat yang selalu bersyukur. Kesyukuran bagi manusia adalah suatu keniscayaan. Salah satu bentuk kesyukuran bagi manusia adalah memanfaatkan potensi yang kita miliki untuk kemaslahatan kemanusiaan. Ketika manusia gagal memanfaatkan potensi yang mereka miliki maka akan terjadi kekufuran.

Dalam perspektif keindonesiaan di tahun 1970-an sampai tahun 2000-an, ada beberapa cendekiawan muslim Indonesia yang mencoba menawarkan keislaman yang bercorak moderat dengan berbagai perspektif. Tapi pada prinsipnya semuanya menginginkan suatu pemahaman Islam moderat dengan mengedepankan visi kebangsaan, kemanusiaan, dan keadilan. Di antara cendekiawan itu adalah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Komarudin Hidayat, Quraish Shihab, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, dan sederet pemikir-pemikir moderat lainnya. Mereka memberikan nuansa-nuansa pemikiran keislaman yang progresif dan akomodatif terhadap budaya-budaya keindonesiaan. Para pemikir ini sangat paham dalam memaknai Islam dalam konteks keindonesiaan.

Dalam konteks historis, Nabi dalam mendakwahkan ajaran-ajaran yang diterima dari Tuhannya, disampaikan dengan cara damai. Nabi tidak memaksakan ajaran yang dia bawa kepada masyarakat Quraisy. Betul-betul dengan cara hikmah, nasihat-nasihat yang baik, dan kadang juga beradu argumentasi dengan baik. Begitulah Nabi dalam menyampaikan ajaran-ajaran dari Tuhannya, baik dalam periode Makkah yang berlangsung selama 13 tahun maupun dalam periode Madinah yang berlangsung selama 10 tahun. Ada perbedaan titik tekan dakwah dalam kedua periode tersebut. Kalau periode Makkah lebih menekankan aspek keimanan karena masyarakat Makkah waktu itu adalah masyarakat politeistik, sehingga Nabi dalam menyampaikan dakwahnya lebih berorientasi tauhid.

Adapun dalam periode Madinah lebih berorientasi sosial kemasyarakatan, karena Nabi sudah menjadi kepala pemerintahan yang lebih banyak berkiprah dalam menciptakan masyarakat yang berperadaban atau masyarakat madani. Di sinilah Nabi dalam menyampaikan ajaran agama lebih mengutamakan aspek sosial. Hal itu disebabkan oleh beragamnya masyarakat Madinah: ada berbagai suku, agama, budaya, sehingga Nabi mencoba menciptakan suatu masyarakat yang mengedepankan aspek kebersamaan di antara pemeluk agama. Nabi berhasil menciptakan aturan bersama atau kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Piagam Madinah terdiri dari beberapa pasal yang mengatur tata cara bermasyarakat yang beraneka ragam suku, agama, dan budaya. Isi piagam ini betul-betul mengedepankan keadilan. Usulan-usulan dari berbagai suku dan agama dicoba diakomodir semua oleh Nabi, demi kemaslahatan bersama. Dan di sinilah puncak keberhasilan Nabi sebagai pemimpin umat. Madinah di bawah pemerintahan Nabi sangat maju, baik dari aspek keagamaan maupun sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat Madinah dikenal sebagai masyarakat yang berperadaban (civil society).

Nabi berhasil menciptakan “kalimatun sawa“, atau titik temu dari berbagai agama yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Keberhasilan Nabi dalam visi dakwahnya disebabkan oleh ajaran-ajaran yang didakwahkannya berupa ajaran Islam wasatiyah atau moderat dalam memahami agama, dan tentu saja ditopang oleh pribadi Nabi atau teladan Nabi yang begitu agung. Nabi memiliki akhlak yang agung. Ajaran yang ditopang dengan akhlak yang agung itulah yang menjadi kunci keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat Madinah yang egaliter dan berperadaban tinggi.

Dalam peristiwa hijrah, Nabi sudah meletakkan dasar-dasar dalam membangun Madinah ke depan. Langkah awal Nabi dalam membangun masyarakat Madinah adalah meletakkan dasar-dasar atau fondasi berperadaban, yakni membangun masjid dan memberikan wawasan keilmuan kepada para sahabatnya dan masyarakat Madinah pada umumnya.

Masjid sebagai simbol dzikir dan sekolah sebagai simbol fikir. Itulah modal peradaban yang sangat ampuh dalam membangun suatu komunitas yang kuat. Ini sangat sejalan dengan ayat Al-Qur’an, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu ke derajat yang tinggi.” Dalam sejarahnya, kejayaan Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-12 juga tidak terlepas dari kedua modal peradaban tersebut, yakni peradaban keimanan dan peradaban keilmuan.

Dalam konteks keindonesiaan, kehadiran peradaban Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para ulama dan para pedagang tidak tidak terlepas dari keyakinan yang kuat dan keilmuan yang dimiliki oleh para pembawa misi dakwah ke Indonesia. Islam disebarkan dengan cara-cara damai, penuh toleransi, tidak memaksakan ajaran-ajaran keislaman kepada mereka yang sudah memeluk kepercayaan sebelumnya.

Islam yang disebarkan oleh para ulama adalah Islam yang fleksibel atau Islam yang dinamis, bukan Islam yang kaku. Sebelum misi dakwah sampai ke Indonesia, sudah ada agama yang berkembang sebelumnya yakni Hindu dan Buddha. Para pembawa misi dakwah keislaman di Indonesia tidak menghapus ritual-ritual agama sebelumnya, tetap mempertahankan kebiasaan-kebiasaan agama sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keislaman dan tetap mengakomodir budaya-budaya tersebut. Hal itu jugalah yang menjadi daya tarik tersendiri dalam proses dakwah atau misi Islam di Nusantara.

Keislaman yang berkembang di Indonesia sejak kedatangannya adalah keislaman yang sangat akomodatif terhadap budaya-budaya yang sudah berkembang sebelumnya. Suatu model keberagaman yang sangat kaya dengan ritual-ritual keagamaan. Itu yang menjadi akar pemikiran tokoh-tokoh moderat untuk mengembangkan visi Islam yang berwawasan kemanusiaan dan keindonesiaan. Suatu visi yang memandang jauh ke depan tanpa meninggalkan aspek kesejarahan. Penggabungan antara aspek kesejarahan, yakni masuknya Islam ke Indonesia dan pengembangan pemikiran adalah faktor yang membuat Islam di Indonesia berkembang dengan cepat.

Apa yang diperbuat oleh para pembawa Islam ke Indonesia dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh moderat itulah yang harus tetap kita pertahankan dalam menjaga kerukunan beragama di Indonesia yang dikenal sangat beraneka ragam agama dan budaya ini. Indonesia harus dipertahankan sebagai bangsa yang sangat menghargai toleransi dalam beragama dan tetap berpikir moderat dalam memahami agama.




Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.