Social Media

Nilai Toleransi Gus Dur di Komunitas NU Backpacker

KH. Abdurrahman Wahid atau lebih masyhur disebut Gus Dur dikenal sebagai Bapak Demokrasi, Perdamaian dan Toleransi. Pikiran-pikiran, pandangan dan tindak tanduknya mengubah cara pandang banyak anak-anak muda NU di era 1980-1990-an, menjadi semakin inklusif. Sampai kini, melalui Jaringan GUSDURian atau buku-buku, tulisan-tulisan serta videonya yang berserakan di internet dan media sosial, ia masih menginspirasi dan menjadi referensi. Salah satunya adalah NU Backpacker, sebuah komunitas kultural yang berisi para petualang NU.

Ketika Muktamar NU ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus 2015 silam, sekelompok anak muda NU dari Purworejo, Jawa Tengah, datang dengan berseragam kaos bertuliskan “NU Backpacker.” Tujuan dari NU Backpacker datang ke acara ini adalah untuk silaturrahmi dan ngalap berkah kepada para kiai, ziarah ke makam pendiri NU dan mengikuti side event muktamar seperti Musyawarah Kaum Muda NU yang digelar oleh beberapa aktivis muda NU, termasuk Jaringan GUSDURian. Waktu itu, pembicara utamanya adalah KH. Maimoen Zubair, selain Ny. Hj. Nuriyah Abdurrahman Wahid. Selain tiga poin itu, tentu tujuannya adalah sambil backpacker-an, traveling, jalan-jalan, dan berwisata secara murah.

Lambat laun, karena aktivitasnya dipublikasi di media sosial, banyak yang tertarik untuk ikut gabung dalam NU Backpacker. Singkat cerita, karena saking banyaknya daerah yang meminta, dalam acara Gathering Nasional di Puncak Becici, Yogyakarta, 19-20 Januari 2019, NU Backpacker mendeklarasikan diri menjadi sebuah komunitas. Disusul kemudian Silatnas NU Backpacker pada 24-25 Agustus 2019 di Taman Edukasi Mangrove Demang Gedi, Kecamatan Purwodadi, Purworejo, Jawa Tengah. Dari event terakhir ini, komunitas dirapikan dengan adanya sedikit “aturan,” mesti tak seketat organisasi.

Sebagian besar nilai-nilai yang dibawa dari Muktamar NU ke-33 di Jombang menjadi semacam program utama. Traveling atau backpacker-an, ziarah, mengaji, sowan, camping, dan mendaki gunung, menjadi event-event yang banyak digelar di daerah-daerah. Isu lingkungan, sampah, dan kepencinta-alaman juga menjadi bagian dari gerakan.

Lingkar Pusat NU Backpacker, sebagai “dirijen” komunitas ini, tidak saklek terhadap program dan agenda yang ada di daerah. Mereka membebaskan kegiatan NU Backpacker, selagi itu “positif” dan menjaga almamater NU. Sehingga, hal ini justru mewarnai kreativitas dan agenda NU Backpacker yang ada di daerah. Selain kegiatan insidentil seperti disebut di atas, mereka menjadi “bebas” membuat agenda masing-masing. Ada yang memiliki kajian rutin, semaan atau tadarus Al-Qur’an, mengaji kitab, diskusi, serta pembacaan Ratibul Haddad. Ada juga yang condong bergerak pada filantropi, pelestarian lingkungan, dan kepencita-alaman. Pergaulannya, secara umum, juga relatif acceptable oleh berbagai kalangan.

Sebagai gambaran umum, sebut saja NU Backpacker Bogor, Jawa Barat, yang berdiri terakhir, 2-3 Oktober 2021 lalu. Pada acara “launching”, istilah populer di kalangan sobat-sobat NU Backpacker untuk menyebut peresmian, dihadiri oleh bukan saja orang di kalangan Muslim, tetapi juga non-Muslim. Ini menarik bagi saya. Selama ini, ada juga beberapa sobat yang menginformasikan adanya anak yang dari latar belakang bukan NU – organisasi “sebelah,” yang tak perlu saya sebutkan di sini – ingin bergabung dengan NU Backpacker. Tapi ketika di Bogor, anak muda yang tertarik itu bukan dari keluarga besar Islam, melainkan non-Muslim. Ia, seperti disampaikan kepada utusan Lingkar Pusat NU Backpacker, tertarik kepada NU Backpacker. Tentunya semua sobat NU Backpacker – merasa bangga jika komunitas disukai oleh “outsider”.

NU Backpacker: “Tinggi Tanpa Merendahkan”

Dalam perjalanannya, NU Backpacker menjadi wadah kultural bagi generasi muda NU yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi, organisasi, baik santri maupun non-santri. Ikatan yang ada di dalamnya adalah ikatan kekeluargaan dan egaliter, yaitu keluarga besar NU. Sebagaimana diketahui bersama, NU dikenal dengan nilai-nilai tawasut (moderat) dan tasamuh (toleran). Dan dalam hal ini, Gus Dur memberikan banyak kontribusi pemikiran dan tindakan, yang dapat dicontoh oleh generasi muda NU.

Tagline yang menjadi slogan NU Backpacker adalah “Tinggi Tanpa Merendahkan.” Hal ini sangat sesuai dengan nilai humanisme Gus Dur, di mana setiap manusia harus dihormati, apa pun latar belakang agama, suku, dan profesinya. Tak boleh meraih sesuatu dengan menjatuhkan atau bahkan merendahkan orang lain. Gus Dur pun bukan tanpa dasar. Secara historis, secara tegas Nabi Muhammad sudah menyampaikan “pesan humanisme” ini dalam pidato terakhirnya pada Haji Wada. Juga salah satu tujuan syariat Islam sendiri, yaitu hifzhul ‘ird, menjaga martabat (dignity) manusia. Wajarlah, jika pergaulan Gus Dur dengan berbagai kalangan dari yang paling “kiri” sampai yang paling “kanan” membuat generasi muda NU berani unjuk gigi keluar, melampaui batas tradisinya. Tentu, hal itu jangan sampai membuat hilang akar dan jati dirinya, syukur-syukur bisa mewarnai. Namun semata tujuannya untuk saling mengenal di antara sesama umat manusia (lita’arafu), sehingga meminimalisir kesalahpahaman, lebih-lebih konflik.

Gus Dur sendiri banyak memungut nilai-nilai toleransi, kearifan, dan keteladanan dari para kiai dan ulama NU, baik yang semasa dengan beliau maupun ulama terdahulu. KH. Sahal Mahfud, misalnya, yang semasa dengan beliau, ditulis Gus Dur dengan ciamik berjudul: “Kiai Pencari Mutiara”. Dalam tulisannya yang lain, “Tata Krama dan Ummatan Wahidatan”, Presiden Republik Indonesia keempat itu menceritakan polemik antara KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar, dengan wakilnya Kiai Faqih Maskumambang, perihal hukum menabuh kentongan. Meski berbeda pendapat di media secara terbuka, kedua ulama pendiri NU tersebut tetap saling menghormati. “Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut,” simpul Gus Dur.

Nilai-nilai toleransi yang diperjuangkan Gus Dur memang sedikit banyak sudah tertanam di komunitas NU Backpacker. Misalnya, beberapa kegiatan sosial anak-anak NU Backpacker bersama dengan komunitas, organisasi Islam, dan bahkan agama lain. Di komunitas ini pun sudah beragam latar belakangnya. Ziarah anak-anak NU Backpacker ke Makam Gus Dur dan Pendiri NU di Jombang, para wali dan ulama Nusantara, serta sowan kepada para panutan, diharapkan menjadi sebuah pendewasaan. Sebagaimana proses yang pernah disampaikan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, yaitu silatul arham (merajut persaudaraan), silatul afkar (diskusi, penyamaan persepsi), silatul ‘amal (kolaborasi), dan silatul arwah (komunikasi spiritual).

Terakhir, sebagai sebuah komunitas kultural, NU Backpacker tidaklah sempurna. Banyak hal di sana-sini yang perlu diperbaiki. Hal ini mengingat semenjak awal, anak-anak pergi ke Jombang bukanlah untuk membikin komunitas. Namun “takdir” dalam perjalanannya mengubah arah itu, setelah melihat bagaimana antusias anak-anak muda NU di daerah. Semakin diminatinya komunitas ini, tentu tak lepas dari kata “NU” yang dengan bangga disematkan. Untuk itu, mereka selalu ditekankan untuk tetap menjaga relasi baik dengan NU struktural, sehingga ketika ada sesuatu yang kurang sesuai track ada yang menjewer atau mengingatkan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, NU Backpacker merupakan salah satu modal kultural dan sosial yang dimiliki NU saat ini. Setidaknya, wadah untuk mengikat sekaligus wahana memungut pelajaran dari suatu pengalaman dan perjalanan. Semua sobat-sobat yang tergabung di dalamnya, terus didorong untuk belajar, berkarya dan berkontribusi. Komunitas belia ini terbuka diberi masukan, kritik, dan saran. Termasuk berkolaborasi, untuk bersama-sama menghadapi bonus demografi.

______________

Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Penasihat Lingkar Pusat NU Backpacker.