Social Media

Panggilan Sejarah

Pusaka hati wahai tanah airku

Cintamu dalam imanku

Jangan halangkan nasibmu

Bangkitlah, hai bangsaku.

Indonesia biladi

Anta ‘unwanul fakhoma

Kullu man yaktika yauma

Thomiha yalqa himama

Indonesia negeriku

Engkau panji martabatku

Siapa datang mengancammu

Kan binasa di bawah dulimu

Mars “Syubbanul Wathon” beberapa tahun terakhir ini menjadi lagu yang makin sering berkumandang di berbagai penjuru negeri, utamanya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Lagu ini menggelorakan kembali semangat hubbul wathon minal iman (cinta bangsa adalah sebagian dari iman) yang diajarkan oleh tokoh legendaris pendiri NU, KH. Abdul Wahab Chasbullah.

Sejak didirikan pada 1926, para pemimpin NU aktif memperjuangkan kemaslahatan umat sebagaimana amanat Khittah NU. Dalam konteks inilah, kecintaan kepada bangsa menjadi kunci untuk keterlibatannya dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Para pemimpin perjuangan di masa penjajahan kerap berkonsultasi dan bekerja bersama para pemimpin NU. Ini terekam misalnya dalam kisah Nyai Solichah Wahid Hasyim menyelamatkan dokumen saat tentara Jepang datang ke Pondok Pesantren Tebuireng mencegat utusan Jenderal Sudirman. Nyai Solichah membawa dokumen penting itu ke sumur, lalu mendudukinya sambil pura-pura mencuci. Tentara Jepang tentu tak akan curiga kepada perempuan muda yang sedang mencuci baju di sumur.

Pemimpin laskar perjuangan Jawa Timur, Bung Tomo, pun sering kali hadir di Tebuireng. Dan medio Oktober 1945, ia menyampaikan bahwa Sekutu akan kembali untuk mengambil alih Indonesia melalui Surabaya setelah Jepang kalah Perang Dunia II.

Sebagai respons, tanggal 22 Oktober 1945, berdasarkan amanat KH Hasyim Asy’ari, Pengurus Besar NU mengeluarkan Resolusi Jihad bagi para santri dan warga Nahdlatul Ulama. Menengarai kembalinya Sekutu, Resolusi Jihad menyerukan fardlu ’ain (wajib pribadi) setiap umat Islam dalam radius 94 km dari ”tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh” dan di luar radius itu sebagai fardlu kifayah (boleh diwakili sebagian warga saja).

Para santri dan warga NU di Surabaya dan sekitarnya serentak turun bersama warga lainnya, melawan tentara Sekutu yang mulai memperkuat pasukannya. Sejak 25 Oktober 1945, ribuan pejuang syahid meregang nyawa mempertahankan Surabaya, yang memuncak pada perang 10 November 1945.

Resolusi Jihad ini menunjukkan investasi dunia-akhirat yang diberikan oleh warga NU dan umat Islam di Indonesia kepada Republik Indonesia. Komitmen ini menjadi roh kehidupan mereka, bukan hanya slogan, dan bukan melulu soal kekuasaan.

Keterikatan mereka terhadap Tanah Air bukan hanya sesuatu yang bersifat duniawi, melainkan juga bersifat ibadah penghambaan kepada Tuhan. Karena itu, warga NU menjadi salah satu elemen bangsa yang paling peka (sehingga bahkan bagi sementara pihak dinilai berlebihan) terhadap hal-hal yang dianggap mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.

Komitmen ini ditunjukkan secara konsisten sepanjang perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia. Kehadiran NU terasakan penuh saat Indonesia membutuhkannya. Resolusi Jihad muncul dalam berbagai bentuk, sesuai konteks bangsa saat itu. Posisi NU di pada 1965-1966, misalnya, walau kontroversial, tak dapat dilepaskan dari semangat pembelaan kepada bangsa. Juga dalam bentuk pengorbanan Riyanto, Banser Ansor yang gugur saat membawa lari kantong plastik berisi bom dalam misa Natal di sebuah gereja di Mojokerto.

Saat ini, panggilan sejarah tersebut kembali menguat. Pasalnya, banyak kelompok menawarkan praktik kehidupan eksklusif dengan mengatasnamakan agama dan mayoritarianisme. Kelompok-kelompok ini gencar mempromosikan bahwa agama adalah identitas tertinggi bagi seseorang dan bahwa nasionalisme harus tunduk kepada identitas tersebut. Ini tentu sangat bertolak belakang dengan pandangan Hadratussyaikh bahwa keislaman dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang saling menegasikan, melainkan justru saling memperkuat.

Eksklusivisme agama ini dimulai dari sikap enggan berbaur dengan elemen bangsa yang lain. Sikap ini meningkat menjadi superioritas alias merasa lebih berhak atas negeri ini, apalagi bila bertemu dengan mayoritarianisme di mana muncul sikap adikuasa sebagai mayoritas.

Dalam konsep amplification spiral of why religions and ideologies are particularly susceptible to promoting conflict, Lynn Davis dan Patrice Brodeur menyebutkan bila sikap ini tidak dikelola dengan baik, ia bisa tumbuh menjadi sikap intoleran, diskriminasi, bahkan bisa berujung konflik terbuka yang menghancurkan masyarakat.

Warga NU, karena panggilan sejarahnya, gigih merespons kecenderungan eksklusivisme agama yang diproyeksikan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi warga NU, persaudaraan kita memiliki ruangnya masing-masing dan bersifat paralel: persaudaraan sesama Muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia. Ketiga persaudaraan ini bersifat sejajar.

Inilah yang menyebabkan lagu ”Syubbanul Wathon” semakin sering berkumandang, menandai semangat untuk membela keutuhan bangsa. Hampir di setiap acara, warga NU menyertakannya, bahkan dalam acara resepsi pernikahan. Tanpa pamrih, hanya bermodalkan keyakinan sebagai satpam Indonesia sebagaimana dipercakapkan Gus Mus dengan karibnya: Gus Dur.

Gus Mus mengeluhkan nasib NU yang memanggul panggilan sejarah untuk menjaga Indonesia di saat-saat sulit, tetapi setelahnya tertinggalkan di pojokan dan tak ikut menikmati di saat-saat Indonesia makmur. Gus Mus menyampaikan betapa NU diperlakukan hanya sebagai satpam Indonesia. Dan Gus Dur menjawab, ”apakah masih kurang mulia, dapat menjadi satpam Indonesia?”

Selamat Hari Santri, semoga semangat menjadi satpam Indonesia terus menyala.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 21 Oktober 2018)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.