Social Media

Pemimpin Absurd

Paruh kedua bulan Juni ini, kondisi pandemi menggenting. Kabar kematian menderas. Kabar persoalan dan kesulitan datang silih berganti. Fasilitas layanan kesehatan tak mampu menangani banjir pasien. Menipisnya persediaan oksigen. Tenaga kesehatan terjangkit Covid-19.

Pasien berhari-hari mencari RS, sebagiannya meninggal dalam penantian. Kelompok sukarelawan kewalahan mendampingi warga yang membutuhan bantuan. Sukarelawan pemakaman bekerja siang malam, tanpa sempat beristirahat. Sukarelawan pembawa pasien ke RS harus berjibaku berkeliling sampai menemukan RS yang masih bisa menampung, bahkan mengalami pasien meninggal di dalam ambulans setelah ditolak berulang kali.

Selain berhadapan dengan beban fasilitas layanan kesehatan, beberapa daerah menanggung beban lainnya: sikap warga yang tidak kooperatif, seperti kasus kericuhan di Jembatan Suramadu.

Di sela-sela situasi genting penting ini, terekam juga berbagai situasi absurd. Dari sejumlah kota didapati perbedaan antara hitungan data lapangan dan data resmi pemerintah. Muncul pemerintah kabupaten yang menolak aturan dari kepala daerah di atasnya. Kota tertentu tidak menunjukkan perubahan data kematian sejak beberapa bulan lalu 2021. Kota lain mengorting data. Beberapa tenaga kesehatan bercerita tentang larangan mengunggah dan menyebarkan foto kondisi di lembaga tempatnya bekerja.

Menteri Kesehatan bahkan terbuka mengkritik greening (mendapatkan kategori kota warna hijau) yang dilakukan beberapa kepala daerah, yaitu manipulasi atau rekayasa sosial dengan cara mengurangi jumlah 3T (trace, test, treat), dengan memilah data atau strategi lainnya.

Belum lagi perilaku personal beberapa kepala daerah yang membuat publik ”takjub” seperti yang ditunjukkan oleh Wakil Bupati Lampung Tengah, berjoget dan bernyanyi tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Ada juga kepala daerah yang mempromosikan sikap antiprotokol kesehatan, baik secara terbuka maupun tidak langsung, baik melalui ucapan lisan maupun melalui contoh tindakan.

Dampak dari pandangan, keputusan dan sikap para pemimpin daerah ini adalah kebijakan penanggulangan pandemi di daerah yang menjadi tidak memadai untuk menghadang lajunya pandemi. Begitupun, mereka bergeming dan bertahan dengan sudut pandangnya. Masukan dari para tenaga kesehatan dan kelompok-kelompok masyarakat yang bekerja di garis depan pun diabaikan.

Banyak pakar kepemimpinan dan manajemen mengatakan bahwa pandemi ini mengekspos banyak hal tentang kepemimpinan dan manajemen krisis, terutama pada sektor kepemimpinan publik. Beberapa kepala negara dianggap menunjukkan absurditas yang sangat tinggi karena menolak realitas pandemi, menyepelekan, dan akhirnya menjerumuskan negaranya dalam krisis kesehatan yang buruk. Paling banyak diulas adalah sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dianggap memperparah krisis kesehatan, yang kemudian teratasi dalam kepemimpinan Presiden Joe Biden.

Sebelum pandemi, berbagai penelitian tingkat global menunjukkan meningkatnya ketidakpuasan warga terhadap pemimpin produk demokrasi, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Diyakini, banyak pemimpin hasil pemilihan umum ternyata tidak memberikan kebaikan kepada warga, hanya melayani kepentingan pemodal kampanyenya, dan tidak kompeten menjalankan tugasnya. Pandemi Covid-19 semakin memperjelas fenomena ini.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak pemimpin terpilih, baik sekelas Presiden Brasil maupun di tingkat bupati atau wali kota di Indonesia, bersikap dan berperilaku absurd sedemikian? Dr Tomas Chamorro-Premuzic, pakar psikologi organisasi dan kepemimpinan, mengatakan bahwa pemimpin inkompeten biasanya dihasilkan oleh perangkap kultural dalam memilih pemimpin.

Perangkap pertama adalah ketidakmampuan kita membedakan rasa percaya diri dengan kompetensi. Kita menganggap orang yang percaya diri adalah orang yang kompeten. Tentu saja tidak. Bahkan fenomena Efek Dunning-Kruger membuktikan sebaliknya: mereka yang percaya diri berlebihan biasanya terlalu tinggi menilai dirinya, tak sesuai dengan kompetensi riilnya.

Perangkap kedua adalah kita terpesona oleh karisma. Padahal, para pemimpin besar justru menunjukkan kerendahan hati, sebagaimana ditunjukkan oleh Nelson Mandela atau Mahatma Gandhi. Alih-alih memilih figur yang rendah hati dan andap asor, kita memilih figur yang tampak karismatik.

Narsisisme menjadi ciri terakhir yang memerangkap para pemilih kepala daerah. Publik kita pada dasarnya suka mengelu-elukan narsisisme, contohnya dalam fenomena narsisisme para influencer media sosial. Karena itu, dalam pemilihan kepala daerah pun, figur yang menarik hati para pemilih adalah mereka yang justru mampu ”menunjukkan” dirinya.

Dilengkapi dengan narasi populis, cengkeraman tiga perangkap ini menjadi semakin kuat. Ini pun diperparah oleh loopholes otonomi daerah, yang membuat gamang hubungan pusat-daerah. Semua aspek ini menjadikan kepala daerah pilihan rakyat setempat menjadi figur omnipoten, sulit dipengaruhi ataupun dikendalikan, dan sulit dikejar akuntabilitas pandangan dan keputusannya. Misalnya, Bupati Banjarnegara bergeming dengan keputusannya untuk membolehkan hajatan di tengah pandemi, walaupun gubernur telah melarangnya.

Problem kepemimpinan daerah yang makin sulit terkendali ini telah cukup lama menyedot perhatian. Pandemi Covid-19 ini membantu menyingkapnya, terutama tentang kepemimpinan publik dalam masa krisis. Inilah tantangan demokrasi yang sesungguhnya, ketika prinsip dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dalam demokrasi justru menghasilkan figur yang populis, tanpa mekanisme fundamental untuk mengaturnya.

Barangkali, pandemi inilah yang akan mengubah cara kita mengukur dan memilih pemimpin, itu pun apabila publik menyadarinya. Seperti kata Chamorro-Premuzic, yang dibutuhkan adalah pemimpin dengan kompetensi, kebesaran jiwa, dan integritas. Pekerjaan rumah kita, bagaimana mendidik warga untuk mampu memilih yang terbaik?

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 4 Juli 2021)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.