Social Media

Pengelola atau Tukang Perintah

Pilkada serentak 2018 telah kita lewati dengan selamat walau banyak membawa kejutan. Yang jelas, 171 wilayah (provinsi dan kabupaten/kota) di Indonesia telah memiliki pemimpin baru. Lima tahun ke depan kita akan melihat berbagai jenis kepala pemerintahan daerah baru.

Ada yang akan mendapatkan pemerintah dalam arti kata harfiahnya, yaitu mengelola diambil dari kata dasar to govern dalam government. Ada juga masyarakat daerah yang akan mendapatkan pemerintah dalam arti tukang perintah (pe-perintah). Walau sama-sama pemimpin daerah tentu karakter kepemimpinan kedua jenis ini berbeda.

Setiap pemimpin memiliki keunikan masing-masing, baik dalam nilai dan prinsip kepemimpinannya, maupun gaya kepemimpinannya. Kita mengenal gaya Bung Karno yang berapi-api membakar semangat persatuan dan kedaulatan bangsa. Kita mengenal Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang sangat tegas dalam menyusun kebijakan pengelolaan Kota Jakarta.

Kita mengenal Gus Dur yang teguh dalam prinsip tasharruf al-imam ‘ala raiyyah manuthun bi al-maslahah—kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin, karena itu beliau tak segan untuk membuat kebijakan seperti menetapkan kawasan hutan negara untuk menjamin masyarakat adat bisa tetap hidup di sana tanpa risiko hutan itu diperjualbelikan.

Masih banyak pemimpin Indonesia yang dapat kita kenang warisannya, dengan gaya yang berbeda. Sayangnya kita juga mengenal banyak pemimpin Indonesia yang kita nyaris tidak tahu apa yang ditinggalkannya. Bahkan kita juga mengenal pemimpin-pemimpin yang berakhir dengan bui.

John C Maxwell berteori bahwa kepemimpinan memiliki tingkatan khas yang ditentukan oleh karakter dan rupa kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan ini menunjukkan kapasitas sang pemimpin, dan biasanya para pemimpin di tingkat tertentu sulit untuk diatur oleh pemimpin di tingkat yang lebih tinggi.

Kepemimpinan tingkat terendah adalah saat kita menduduki jabatan tertentu dan karena itu orang menuruti kita karena kita adalah atasannya (kepemimpinan berdasarkan rights). Setingkat di atasnya adalah kepemimpinan berdasarkan hubungan (relationship), yakni orang mau dipimpin karena menyukai pribadi kita sebagai pemimpin.

Setelahnya, adalah kepemimpinan karena para pengikut merasakan manfaat kehadiran kita. Mereka bersedia untuk mengikuti kita karena mereka mengagumi kinerja yang ditunjukkan saat kita menjadi pemimpinnya. Ini disebut kepemimpinan berdasarkan result (hasil atau produksi). Tingkat ketiga ini dikembangkan menjadi kepemimpinan di mana para pengikut melihat sang pemimpin mendorong dan memfasilitasi anak buahnya untuk menjadi pemimpin-pemimpin baru (people development).

Puncak tingkat kepemimpinan adalah di mana karisma sang pemimpin menunjukkan kekuatan pengaruh yang tak berbatas. Bahkan, saat ia telah meninggalkan, pengaruh kepemimpinannya masih terus mendorong perubahan. Contohnya adalah Martin Luther King Jr yang kematiannya justru memberi energi untuk mencapai keadilan bagi masyarakat kulit hitam di AS. John C Maxwell menyebut ini sebagai kepemimpinan karena personhood.

Saat ini kita menjumpai banyak kepala daerah yang menonjol. Mereka membuat perubahan yang signifikan, seperti mengubah jati diri warga menjadi bangga karena turisme yang berhasil, mentransformasi birokrasi sehingga lebih memenuhi kebutuhan rakyat, meningkatkan kesejahteraan warga dengan program ekonomi. Atau, meminimalkan angka-angka penting, seperti menurunnya angka kriminalitas, atau meningkatnya angka partisipasi pendidikan atau kualitas pendidikan itu sendiri.

Para pemimpin tingkat ketiga ini memfokuskan perhatian kepada target perubahan yang mereka ingin wujudkan. Mereka menyusun strategi dan mengelolanya dengan serius sehingga menghasilkan kinerja yang kasatmata. Contohnya Bupati Banyuwangi yang berhasil mengubah wajah Banyuwangi menjadi wajah tujuan wisata yang terkenal.

Namun, apa daya, banyak pemimpin Indonesia berhenti di kepemimpinan tingkat pertama: posisi. Hanya diturut oleh pengikut karena jabatannya mengharuskan mereka menurut bila tidak ingin menerima konsekuensi buruk secara struktural.

Pemimpin yang seperti ini tak urung memang menjengkelkan bawahan dan pengikutnya. Ia tidak bisa membedakan takhta kekuasaan dengan pemerintahan. Ia tidak menyadari bahwa sejumlah orang memilihnya berarti sejumlah orang itu mengharapkan ia akan menghasilkan perubahan untuk kehidupan mereka. Ia merasa, sebagai pemimpin ia berhak untuk mendapatkan keuntungan, kenyamanan, dan kekuasaan. Mereka menuntut dihormati dan diperlakukan istimewa.

Sejatinya, para pengikut menghormati jabatan kita, bukan menghormati kita sebagai pemimpin. Dan, bila nanti masa jabatan sudah selesai, pemangku jabatan akan dilupakan begitu saja karena tidak ada peninggalan yang bertahan lama. Bahkan sering terdengar cemooh, ”Dulu sombong sekali sebagai pejabat, coba rasakan sekarang menjadi rakyat biasa”.

Selamat untuk Anda, rakyat yang telah menentukan pilihan bagi calon pemerintah daerahnya. Tinggal sekarang mendoakan agar pilihan kita menjadi kepala daerah yang setidaknya memiliki kepemimpinan di tingkat ketiga, yang berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Dan, semoga yang terpilih bukan calon ”rompi oranye”.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 8 Juli 2018)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.