Social Media

Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an

Minggu ini kelas “religious pluralism” mendiskusikan pandangan al-Qur’an tentang keragaman agama. Saya memilih surat al-Ma’idah karena surat itu sangat intens bicara agama lain, dari soal kitab suci hingga debat Kristologi.

Para mahasiswa dengan cepat menangkap kesan tersebut, hingga muncul pertanyaan: Siapa sih sebenarnya audien al-Qur’an? Sulit dibayangkan kitab suci kaum Muslim ini muncul dari iklim paganistik, seperti digambarkan sumber-sumber Muslim. Lebih mungkin audien al-Qur’an itu masyarakat multi-religius.

Saya jelaskan, sebenarnya penyebaran umat Kristiani di Arabia lebih luas dari yang umum diasumsikan. Perjanjian Baru secara implisit menyebut orang-orang yang berbahasa Arab termasuk yang cukup awal memeluk Kristen. Misalnya, lihat “Kisah Para Rasul” pasal 2 ayat 11.

Dalam surat ke jemaat di Galatia (1:17), Paulus mengatakan bahwa setelah meninggalkan Damaskus, momen yang menjadikannya mengimani Yesus, ia pergi ke Arabia. Memang tidak jelas daerah Arabia mana yang dia kunjungi.

Yang jelas, penyebaran orang-orang Kristen di Arabia dikonfirmasi oleh penulis-penulis Kristen, seperti Sebeos, Sozomen, dan lain-lain. Saya lebih yakin konteks historis kemunculan al-Qur’an adalah lingkungan Yahudi dan Kristen. Ini menjelaskan kenapa banyak ayat al-Qur’an menyinggung mereka.

Aspek yang banyak menyita perhatian kelas ialah ambivalensi sikap al-Qur’an terhadap agama lain. Sejumlah ayat tampak membuka kemungkinan pluralisme agama, seperti ayat 48. Ayat 5 membolehkan kawin dengan ahlul kitab dan menghalalkan makanan mereka. Maka, aneh sekrang orang sibuk dengan label halal MUI.

Tak ketinggalan mahasiswa minta penjelasan ayat 69, yang tampaknya membuka jalan keselamatan bagi orang-orang Yahudi dan Kristen. Kriterianya hanya dua: iman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat baik. Saya jelaskan ini ayat favorit kawan-kawan yang mendorong dialog agama.

Namun demikian, banyak ayat lain mempromosikan teologi eksklusivis. Ayat 3 dan 51 disebut sebagai contoh. Beberapa ayat dalam surat tersebut memperkenalkan model Kristologi yang berbeda dari yang umum diyakini umat Kristen. Bahkan, banyak ayat bersifat polemik terhadap keyakinan Kristen.

Saya betul-betul menikmati diskusi tentang tema-tema tersebut yang terjadi secara dinamis. Yang menarik, mahasiswa-mahasiswa tampak tidak tertarik bagaimana seharusnya pandangan al-Qur’an yang ambivalen itu disintesiskan. Saya kira memang tidak perlu. Pandangan-pandangan itu ada di sana, dan solusinya bukan sintesis.

Saya juga tidak suka pada teori abrogasi, nasikh-mansukh. Sangat mungkin pandangan yang beragam itu merefleksikan faksi-faksi dalam komunitas Nabi Muhammad. Seperti saat ini, dalam setiap agama ada beragam sikap. Meminjam komentar kawan, “kadrun ada di mana-mana.”

Saya sepenuhnya paham mahasiswa lebih tertarik pada Kristologi al-Qur’an yang unik. Misalnya, al-Qur’an menyebut Yesus sebagai al-masih, tapi kenapa tidak menyematkan kekuatan redemptive untuk keselamatan. Apa implikassi teologis menyebut Yesus sebagai al-masih?

Juga, mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus dirinci dalam surat itu, yakni ayat 110. Bahkan, al-Qur’an memasukkan mukjizat-mukjizat Yesus yg tidak terdapat dalam injil resmi. Menariknya, mukjizat2 tersebut tidak dikaitkan dengan misi Yesus, tapi dilakukan karena “dengan izin Allah.”

Hal tersebut jelas berbeda dari bagaimana Alkitab menggambarkan mukjizat Yesus, yang tak menunggu izin Tuhan. Mukjizat itu dilakukan dari otoritasnya sendiri. Orang bisa sembuh hanya dengan menyentuh pakaian Yesus, bahkan tanpa sepengatahuannya. Jadi, Yesus sendiri adalah mukjizat.

Saya jelaskan, keunikan Kristologi al-Qur’an perlu dipahami dalam konteks teologi tertentu yang dikembangkan al-Qur’an sendiri. Yesus itu, disebut sebagai Isa dalam al-Qur’an, adalah Nabi, salah seorang Nabi yang agung. Al-Qur’an meneguhkan keagungannya, tapi membatasi kekuatan ilahiyah-nya.

Di akhir kelas, kita menyadari perbedaan teologi Kristen dan Islam tak perlu direduksi. Biarlah perbedaan itu ada. Tugas kita mengajarkan agar umat Kristiani dan kaum Muslim saling menghargai perbedaan. Tak perlu memaksakan persamaan. Perbedaan klaim teologis itu nyata, tak perlu ditutupi.

Merasa klaim teologisnya paling benar itu boleh. Tapi jangan diumbar-umbar. Jika diumbar, maka klaim kebenaran (truth claims) menjadi bersifat ideologis. Itu yg berbahaya, karena bisa menjadi landasan sikap diskriminatif, intoleran, bahkan kekerasan. Selamat berakhir pekan ya!

Sumber: Facebook Mun’im Sirry