Social Media

Resensi Buku: Sikap NU dan Muhammadiyah pada Perkawinan Anak selama Pandemi

Judul Buku: Sikap Organisasi Keagamaan terhadap Perkawinan Anak pada Masa Pandemi

Penulis: Dr. Moh Fauzi, M.Ag; Siti Rofi’ah M.H; Faqih Muqoddam

Penerbit: Lawwana

Tebal Buku: 107 halaman

Cetakan Pertama: September 2021

Perkawinan anak akhir-akhir ini masih menjadi tema bahasan yang menarik dan krusial. Di beberapa daerah khususnya di Jawa Tengah kasus perkawinan anak dari tahun ke tahun masih melaju sangat tinggi. Mengingat efek berbahaya dari perkawinan anak seperti kematian saat melahirkan, rahim muda, tingginya angka perceraian, kemiskinan, dan kekerasan dalam rumah tangga, hal ini menjadi keprihatinan bersama.

Hadirnya buku Sikap Organisasi Keagamaan terhadap Perkawinan Anak pada Masa Pandemi sebagai buku penelitian yang diteliti oleh Mohammad Fauzi, Siti Rofi’ah, dan Faqih Muqoddam tentang sikap dan otoritas organisasi keagamaan di provinsi Jawa Tengah dalam menyikapi perkawinan anak di masa pandemi dapat menjadi rujukan untuk meninjau kasus-kasus perkawinan anak yang berkembang di masyarakat.

Perkawinan anak sendiri dalam Hukum Islam masih banyak perbedaan pendapat. Misalnya mayoritas ulama fiqih (jumhurul ulama) memperbolehkan pernikahan anak dikarenakan tidak ada aturan yang tegas dan khusus dalam kajian fiqih soal batasan umur dalam melangsungkan pernikahan. Pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA: “Rasulullah saw menikahiku dalam usia 6 tahun“, hadis tersebut sangat jelas memperbolehkan pernikahan anak tanpa persetujuanya. Hal ini dalam kajian kitab fiqih masuk dalam pembahasan wali mujbir.

Sementara kelompok lain di antaranya Ibnu Syubrumah dan Abu Bakar Asham melarang pernikahan anak dikarenakan dapat menimbulkan berbagai keburukan atau madharat, terutama bagi anak yang dinikahkannya. Pelarangan ini juga atas dasar nilai utama dalam berkeluarga yaitu berupa ketenangan (sakinah) dan kedamaian (mawadah), dan kasih sayang (warahmah) sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an QS. Ar-Rum (30:21), perkawinan anak justru akan membuat penderitaan dan ketidaknyamanan dalam hidup. (hlm 42-43)

Buku ini membahas upaya-upaya yang dilakukan oleh tokoh agama dalam lingkup organisasi keagamaan, baik dalam mencegah perkawinan anak maupun dalam menangani beberapa kasus yang sudah terjadi. Organisasi keagamaan yang menjadi objek penelitian ini di antaranya adalah LKKNU (Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama) dan Nasyiatul Aisyiyah.

Organisasi Keagamaan

Kedua lembaga yang berada di bawah naungan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini memiliki tugas yang sama dalam mensejahterakan masyarakat perihal keluarga. Dalam Nahdlatul Ulama, LKKNU melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan keluarga, sosial, dan kependudukan. Tugas utama yang diemban oleh LKKNU melaksanakan kegiatan yang sifatnya produktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan keluarga sebagai unit terkecil. (hlm 53-54)

Secara spesifik LKKNU memegang kebijakan soal pendidikan dan kependudukan dalam peningkatan kualitas masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Beberapa tugas tersebut kemudian menjadi program yang berada dalam ruang lingkup peningkatan kualitas masyarakat seperti konsep keluarga maslahah sebagai citra ideal keluarga di kalangan Nahdlatul Ulama. Tentu saja program ini bersentuhan dengan praktik perkawinan anak dan bahayanya.

Organisasi keagamaan kedua adalah Nasyiatul Aisyiyah (NA). Lembaga ini adalah otonom dari organisasi Muhammadiyyah yang bergerak di bidang keperempuanan, keagamaan, dan kemasyarakatan. NA dalam mengambangkan organisasi memiliki upaya untuk melaksanakan dakwah Islam melalui pembinaan putri Islam yang berarti bagi bangsa. Dalam tugasnya NA memiliki andil besar terhadap perkembangan kemaslahatan, pendidikan, dan kesehatan perempuan di kalangan Muhammadiyyah.

Buku penelitian ini mengupas upaya otoritas keagamaan di wilayah Jawa Tengah seperti kinerja kedua organisasi tersebut. Selain itu buku tersebut dilengkapi dengan data perkawinan dari tahun ke tahun. Disebutkan data yang diperoleh dari Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah diketahui sejak 2016 jumlah perkawinan anak sebanyak 1.622 peristiwa untuk anak laki-laki dan 1.422 peristiwa untuk anak perempuan. Di tahun 2017 angka pernikahan anak sebanyak 1.633 peristiwa untuk anak laki-laki dan 1.141 untuk anak perempuan peristiwa. Di tahun berikutnya 2018 menjadi 1.942 bagi laki-laki dan 1.264 peristiwa bagi perempuan. Di tahun 2019 menurun menjadi 672 kasus pada perempuan dan 1.377 kasus laki-laki. Lonjakan signifikan pun terjadi di tahun 2020: pernikahan anak terjadi 11.301 peristiwa pada perempuan dan 1.671 pada laki-laki. Tentu saja ini menjadi sangat memprihatinkan dalam hubungan keselamatan dan kesehatan keluarga.

Dalam menangani meningkatnya kasus ini Nasyiatul Aisyiah membuat program PASHMINA (Pelayanan Remaja Sehat Milik Nasyiatul Aisyiyah) kegiatan ini tidak secara langsung dapat dihubungkan dengan isu perkawinan anak, namun NA mengemasnya dengan isu kesehatan reproduksi remaja. Artinya secara spesifik belum ada program berupa pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Hal ini berbeda dengan LKKNU yang sama sekali belum memiliki program yang masuk ke arah sana. Karena LKKNU bukan organisasi badan otonom, sehingga program kerjanya hanya meneruskan program di PWNU. (hlm 80-81)

Sementara di bagian penutup buku ini menyimpulkan bahwa organisasi keagamaan seperti LKKNU dan Nasyiatul Aisyiyah tidak memiliki relevansinya dengan tinggi rendahnya data kasus perkawinan anak di Jawa Tengah. Hal ini karena ada beberapa faktor.

Pertama, luas dan sempitnya wilayah dan banyak sedikitnya jumlah penduduk di wilayah kabupaten kota tersebut. Kedua, tinggi rendahnya tingkat pendidikan mayoritas penduduknya. Namun meskipun keberadaan mereka tidak memiliki relevansinya akan tetapi keberadaan tokoh agama masih dipandang memiliki otoritas di tengah masyarakat untuk mendukung kesuksesan program pemerintah. (hlm 98)

Buku penelitian ini dilengkapi data wawancara dari beberapa kalangan keagamaan dan beberapa data soal keorganisasian di Jawa Tengah. Namun buku ini terlalu tipis untuk menjadi rujukan yang menuntut data yang lebih luas.

Penggerak GUSDURian Semarang. Alumnus Ponpes Apik Kaliwungu dan Ponpes MUS Sarang.