Social Media

Seandainya Perancis Tanpa Macron

Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kami tidak hanya melihat ini di negara kami.

Pernyataan frontal tersebut disampaikan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, saat menanggapi kasus pemenggalan kepala Samuel Paty. Tak pelak, pernyataan itu membuatnya dihujani kecaman dari umat muslim di seluruh dunia. Macron dianggap tak bersikap simpatik terhadap Islam.

Umat muslim tentu kecewa kalimat demikian dapat diucapkan oleh seorang kepala negara. Mungkin saja umat muslim membayangkan pernyataan yang lebih sejuk akan terlontar apabila Perancis tidak dipimpin oleh Macron. Mari kita sedikit mengandaikan hal tersebut dapat terjadi.

Pemilu Perancis 2017 adalah pintu bagi Macron untuk duduk di posisinya sekarang. Untuk sejenak, anggap saja sejarah bisa berubah. Apa yang terjadi jika ketika itu Macron gagal dalam Pemilu? Benarkah dunia akan menghadapi sosok Presiden Perancis yang lebih bersahabat dengan umat Islam?

Pemilu Perancis digelar ketika dunia mulai diterpa kebangkitan populisme sayap kanan. Imigran menjadi isu besar di Inggris hingga negara ini harus menghadapi referendum Brexit dan memilih keluar dari Uni Eropa. Di belahan dunia lainnya, Donald Trump memenangkan Pemilu AS 2016 dengan mengumbar kecurigaan kepada Islam dan imigran secara vulgar.

Hal serupa terjadi pula di Eropa. Politisi sayap kanan di Eropa meniru narasi yang sukses dilakukan Trump di AS. Geert Wilders dari Partij voor Vrijheid/PVV menjadi tokoh populer di Belanda. Marine Le Pen dari Front National (kini berubah nama menjadi Rassemblement National) menjadi sosok berpengaruh di Perancis. Keduanya menjadi kekuatan utama untuk menggoyang kedudukan petahana di negara masing-masing.

Sebaliknya, politisi sayap kiri tidak mendapatkan dukungan sekuat tahun-tahun sebelumnya. Sampai-sampai presiden petahana Perancis saat itu, Francois Hollande, memutuskan tidak ikut serta dalam pemilu. Hollande merupakan politisi yang berasal dari Partai Sosialis.

Padahal konstitusi Perancis mengizinkan Hollande untuk mencalonkan diri sekali lagi. Alhasil Hollande mencatatkan diri dalam sejarah Perancis modern sebagai presiden petahana pertama yang memilih tidak berkompetisi untuk memperebutkan periode kedua.

Dengan absennya petahana dari kelompok sayap kiri, pertarungan elektoral di Perancis pun memuncak pada kelompok sayap kanan melawan kelompok moderat. Dunia pada saat itu sudah memperkirakan kemenangan Trump bakal memuluskan langkah Le Pen memenangi pemilu Perancis. 

Tentu saja kemenangan Le Pen membawa konsekuensi populisme sayap kanan akan berhembus semakin kencang di Eropa. Dalam konstelasi politik Perancis, sayap kanan merujuk pada kelompok yang nyaring menyuarakan narasi pro-pribumi, anti-imigran, anti-Islam, dan anti Uni Eropa.

Dalam kampanyenya, Le Pen pun berulang kali menjual ketakutan akan keberadaan imigran (dan muslim) yang mengancam Perancis. Imigran dianggap sebagai sumber masalah kriminalitas, merusak nilai-nilai kebangsaan, dan merebut lapangan kerja warga negara Perancis.

Sedangkan kehadiran Emmanuel Macron sejatinya merupakan representasi dari kelompok moderat. Macron adalah politisi muda independen yang pernah menjabat sebagai menteri ekonomi pada masa kepresidenan Hollande. Dia baru bergabung (sekaligus mendirikan) En Marche! pada 2016. Sebuah partai politik berhaluan moderat yang dijadikan sebagai kendaraan politiknya saat pemilu.

Dalam kampanye terbuka dan pidato-pidatonya, Macron memberikan narasi berkebalikan dengan Le Pen. Macron bersikap lebih terbuka dan hangat dengan imigran dan umat muslim. Ia menganggap mereka sebagai penanda identitas negara Perancis yang multikultural. Macron juga kerap menegaskan dia tidak akan membawa Perancis keluar dari Uni Eropa.

Profil tersebut sudah memberikan gambaran singkat nasib Perancis tanpa Macron. Apabila Le Pen yang memenangi kontestasi politik tiga tahun lalu, Pemerintah Perancis bisa jadi justru bersikap lebih keras terhadap umat muslim pasca kasus Samuel Paty, alih-alih tetap bersikap simpatik dan bersahabat.

Sebab tidak seperti Macron yang beberapa berganti-ganti haluan politik, agak susah berharap Le Pen bisa melonggarkan pandangan ideologisnya. Le Pen sudah bergabung dengan partai pengusung ideologi ultranasionalisme konservatif ini sejak tiga dekade silam. Ayahnya, Jean-Marie Le Pen, merupakan pendiri dan pemimpin Front National sejak 1972 hingga 2011, sebelum kelak digantikan putrinya sendiri.

Keteguhan sikap politik Le Pen bisa dilacak dari pernyataan publiknya dalam mengomentari kasus Samuel Paty. Le Pen yang kini merupakan anggota Majelis Nasional ikut mendukung pernyataan publik Macron saat menyebut “Islam merupakan sumber segala aksi terorisme yang ada di dunia ini”.

Lebih jauh lagi, Le Pen juga menyerukan untuk mencekal kedatangan warga negara Pakistan dan Bangladesh ke Perancis. Hal ini dikatakannya setelah pemerintah kedua negara berpenduduk mayoritas muslim ini turut mengecam kebijakan Perancis.

Bekas penantang Macron dalam pemilu ini juga menegaskan dukungannya untuk melarang pemakaian jilbab di ruang publik di seantero Perancis. Dia menyatakan “perang ini bukan merupakan perang melawan negara, melainkan perang melawan ideologi”. 

Dalam pandangan Le Pen, Islam dan segala identitasnya merupakan ideologi berbahaya yang mengancam negara dan mesti diperangi.
Jelas susah membayangkan Le Pen sebagai pilihan yang lebih baik bagi dunia muslim dibandingkan Macron. Sementara saat ini belum ada politisi Perancis lain yang popularitasnya melebihi dua tokoh ini di level nasional.

Sementara itu geliat populisme sayap kanan perlahan makin terlihat lagi di Perancis pasca kasus pemenggalan kepala Samuel Paty. Dengan kondisi demikian, Macron masih menjadi figur yang “agak lumayan” bagi dunia muslim dibandingkan politisi Perancis lainnya.

Tentu dengan catatan Macron tetap setia dengan ideologi moderatnya dan terus berusaha memperbaiki hubungannya dengan dunia muslim pasca pernyataan kontroversialnya terhadap Islam.

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.