Social Media

Semarak Festival Film Toleransi dalam Forum 17-an bersama GUSDURian Banjarmasin di Aula Gereja Paroki Veteran

GUSDURian Banjarmasin ikut serta menyemarakkan peringatan Hari Toleransi Internasional pada Senin malam, 21 November 2022, melalui Festival Film Toleransi. Festival ini merupakan kegiatan bersama Jaringan GUSDURian dengan seluruh komunitas GUSDURian yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dalam agenda Forum 17-an (satu tujuan).

Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap 16 November setiap tahunnya menjadi salah satu momentum dalam menghidupkan Nilai, Pemikiran dan Keteladanan (NPK) dari sosok Gus Dur yang begitu memperjuangkan nilai-nilai perdamaian di Indonesia, melalui sikap toleransi atas kebhinekaan yang telah lama menjadi identitas bangsa.

Agenda yang bertemakan “Perdamaian Tanpa Keadilan Adalah Ilusi” ini menghadirkan dua pemantik, yakni Pdt. Ripaldi, dosen tetap di STT GKE Banjarmasin, serta Mariatul Asiah, ketua Komunitas Pelangi Banjarmasin (Jaringan Perempuan Interfaith untuk Kesetaraan, Keadilan dan Perdamaian). Keduanya memberikan paparan menarik dalam melihat dan menganalisa film pendek Liyan yang berdurasi sekitar 15 menit.

Selain diskusi dan nonton bersama, festival film toleransi juga diramaikan dengan penampilan musik dari kawan-kawan Katolik. Peserta yang hadir sekitar 30 orang, terdiri dari berbagai komunitas atau personal yang beragam.

Pdt. Ripaldi menyampaikan paparan terkait film pendek Liyan. Dia menangkap adegan yang menarik dari permintaan Bu Waroh, karakter dalam film yang sederhana, yakni ingin sepatu untuk anaknya agar tidak diejek oleh teman-temannya. Di sisi lain karakter Hazil yang ditampilkan sebagai sosok yang dapat memenuhi segala permintaan, mempunyai pandangan bahwa seharusnya bentuk permintaan itu yang dapat mendatangkan kebahagiaan, semisal sekolah yang baik, kemewahan, dan hal-hal yang besar lainnya. Dalam adegan akhir, keduanya ditampilkan dapat menerima perbedaan pandangan masing-masing.

Mariatul Asiah, juga menyoroti adegan yang menjelaskan bagaimana seorang ibu menginginkan kondisi yang kondusif buat anaknya, agar dia juga bisa menikmati kehidupan yang nyaman, tidak seperti orang tuanya. Karena itu, bagaimana kemudian, dia tidak ingin anaknya itu akan mendapatkan perundungan, sederhana. Selain itu, agar dia juga bisa setara dengan yang lain, cukup dengan sepatu. Barangkali bagi orang lain, bukan itu. Tetapi bagi Mbak Waroh dan keluarganya itu sudah cukup.

Di samping paparan dari kedua pemantik tersebut, beberapa respons dari peserta juga hadir meramaikan diskusi. Misalnya Rangga, salah satu peserta yang hadir memberikan respons atas film pendek Liyan yang dijelaskan, bahwa menampilkan sisi toleransi tidak hanya sebatas persoalan SARA (suku, agama, ras, dan Antargolongan), melainkan juga persoalan sebatas keinginan yang berbeda.

Peserta lainnya yang turut hadir, Frater Lino juga memberi respons bagaimana toleransi menurutnya terbagi pada dua hal, toleransi atas perbedaan yang sudah menjadi takdir, seperti black and white, katanya memberi contoh. Juga toleransi terhadap pilihan yang berbeda, seperti pilihan beragama dan pilihan-pilihan yang lainnya.

Di samping itu, Mukhibullah Ahmad, Seknas Jaringan GUSDURian juga memberikan tanggapan atas acara ini sebagai penutup. “Beginilah GUSDURian dalam setiap berkegiatan, menghadirkan pembicara yang beragam dari sisi agama juga gender, begitu pun pesertanya,” ucap pria yang kerap disapa Mukhib tersebut.

Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan.