Social Media

Sikap Jaringan GUSDURian atas Penutupan Paksa Tempat Ibadah Jemaat Ahmadiyah Sintang

Pada tanggal 27 Agustus 2021, Bupati Sintang, Kalimantan Barat, mengeluarkan Surat Bupati yang pada intinya memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk menghentikan secara tetap aktivitas operasional dalam bentuk apa pun di tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang.

Surat ini didasarkan pada aspek perizinan yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.

Pertimbangan lain yang disampaikan melalui Siaran Pers Bupati Sintang adalah potensi ancaman keamanan dan ketertiban. Dalam surat tersebut juga dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Sintang menjamin kebebasan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk beribadat sepanjang mengakui beragama Islam, dan sesuai dengan ketentuan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008.

Sebelumnya, pada 29 April 2021 terbit Keputusan Bersama Bupati Sintang, Kepala Kejaksaan Negeri Sintang, Kapolres Sintang, Kodim 1205 Sintang, dan Kepala Kemenag Sintang yang salah satunya memberi peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.

Tindakan Pemerintah Kabupaten Sintang tersebut secara terang telah menciderai salah satu hak sipil warga yaitu hak untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Tindakan tersebut juga sangat bertentangan dengan konstitusi dan merupakan bentuk diskriminasi yang menodai asas keadilan. Konstitusi Republik Indonesia menegaskan bahwa Negara harus melindungi warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Oleh karena itu Jaringan GUSDURian menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, mengecam tindakan sewenang-wenang Pemerintah Kabupaten Sintang yang menutup paksa tempat ibadah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Kedua, meminta agar Pemerintah Kabupaten Sintang untuk memfasilitasi perlindungan bagi warga Ahmadiyah agar bisa menjalankan ibadahnya dengan aman dan nyaman. Bupati Sintang harus menjalankan amanat konstitusi, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia termasuk kebebasan (kemerdekaan) beragama dan berkeyakinan setiap warga negara. SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tidak boleh dan tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang ibadah. Justru Pemerintah Kabupaten Sintang harus memfasilitasi Jamaah Ahmadiyah agar tetap bisa beribadah, termasuk melindunginya dari tindakan melanggar hukum dari pihak luar.

Ketiga, meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut SKB 2 Menteri No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah karena menyebabkan banyaknya rumah ibadah yang dipaksa tutup. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga harus mencabut SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat yang rawan disalahgunakan untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap penganut Ahmadiyah.

Keempat, meminta tokoh agama untuk mengedukasi umatnya untuk menjaga semangat keberagaman sebagai sunnatullah. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang telah mendorong berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis perlu didukung oleh semua pihak, terutama para tokoh agama.

Kelima, mengajak segenap masyarakat untuk menjaga kehidupan yang bermartabat, adil, harmonis, serta tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk membenci atau bahkan menyakiti satu sama lain.

Keenam, mengajak seluruh keluarga besar Jaringan GUSDURian untuk terus merawat semangat kebinekaan dengan melakukan advokasi dan perlawanan terhadap semua bentuk diskriminasi dengan mengusung semangat Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.


Alissa Wahid

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia.