Social Media

Spirit Ketauhidan yang Saya Temukan dalam Aswaja dan Ngaji Kebangsaan

Islam merupakan agama yang diyakini sebagai agama tauhid. Agama yang berkeyakinan bahwa tiada sesuatu selain-Nya (Tuhan satu-satunya Dzat) yang mencipta dan mengelola alam semesta sebagaimana bunyi kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah”.

Syahadat merupakan asas dan dasar dari lima rukun Islam, juga sebagai ruh, inti, dan landasan seluruh ajaran Islam. Pengucapan dua kalimat syahadat menjadi syarat pertama bagi seseorang untuk menjadi Muslim.

Secara etimologis, tauhid berasal dari bahasa Arab masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد). Tauhid menjadi pondasi terdalam yang dimiliki oleh seorang Muslim, khususnya bagi para jamaah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) atau kalangan nahdliyin (NU). Sebagai negara dengan penduduk Muslim mayoritas, Indonesia sendiri berlandaskan pada asas Pancasila yang menguatkan konsep ketauhidannya pada sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa (YME).

Spirit ketauhidan menjadi bagian dari ajaran Islam yang bergerak dalam denyut nadi humanisme dan berpadu dengan nasionalisme. Paduan dua hal inilah yang saya temukan dalam program “Ngaji Kebangsaan”.

Program “Ngaji Kebangsaan” yang diprakarsai oleh Ali Masykur Musa tersebut menjadi “lokomotif pembaharuan” tayangan edukasi islami yang diwujudkannya dalam perilaku kepedulian sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan khas tradisi Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) dan menjadi pondasi esensi kemanusiaan.

Sebagai tokoh intelektual yang mengabdikan diri untuk masyarakat banyak, Cak Ali, sapaan akrabnya, memberikan pemahaman tentang syarah dan konstitusi relasi NU-Negara dalam rutinan yang diselenggarakan secara daring setiap Selasa tersebut.

Upaya intelektual yang bersumber dari integrasi Islam dan Keindonesiaan tersebut merupakan wujud komitmen dalam mencari kebaikan dan kebenaran (hanif) dalam beragama dan bernegara. Hal itu sejalan dengan prinsip nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan kemanusiaan (bermanfaat bagi manusia) umat Islam yang ada di Indonesia.

Dalam salah satu kesempatan ngaji daring-nya, Ali Masykur Musa menjelaskan bahwa NU harus mengambil bagian dalam perdamaian atas konflik Arab-Israel, karena masih adanya okupasi Israel terhadap Palestina. Tujuannya agar keduanya bisa menjadi negara yang berdaulat.

Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) tersebut berpendapat, “NU harus berperan untuk menciptakan tatanan hubungan internasional di bidang politik, sosial, ekonomi, dan agama secara bermartabat dan saling membutuhkan, karena tidak ada satu pun negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (self suffiency).

Bagi Cak Ali, hidup berdampingan antarnegara secara damai dan saling menghargai (peaceful coexistency) adalah prinsip dalam hubungan internasional agar tercipta perdamaian yang abadi. Demikian paparnya sewaktu mengisi “Ngaji Kebangsaan” yang juga ditayangkan pada platform Channel Youtube, Ngaji Qolbu.

Hal ini bisa menjadi pedoman dan teladan bagi generasi muda yang semestinya menjadi solidarity maker dan administrator maker untuk mengimplementasikan visi dan misi dari ketauhidan dan moderasi beragama di era kekinian.

Menurut hemat saya, Islam di Indonesia tak hanya menjadi wacana dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara dengan landasan kebangsaan (Pancasila), melainkan prinsip yang menjadikan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi bangsa yang besar dan diakui dunia.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an pada Surat Ar-Rum 30 ayat 22 yang berbunyi ;

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar-Rum 30 : 22)

Maka dari itu ungkapan “Man is the measure of all things (manusia adalah ukuran segalanya)” tentu tidak berlaku se-saklek itu, sebab yang Maha Segala Tahu hanyalah Allah SWT.

Manusia terkadang melewati batas jalur dan menikung dari persepsi kebenarannya, maka dari itu agama adalah tempat terbaik untuk mengatur gas dan menyalakan mesin nilai-nilai ketauhidan sedini mungkin.

Nilai ketauhidan harus disebarluaskan dan diperkuat dalam praktiknya. Tauhid harus diajarkan kepada setiap generasi. Mengawali dari pembentukan masyarakat yang berpemikiran maju dan menata “penampilan” berkeadabannya, harus dimulai dengan membentuk masyarakat yang mencintai agamanya sendiri.

Islam dengan spirit humanismenya membutuhkan pondasi sebagai titik pijak untuk bergerak dan tauhid adalah dasar tersebut. Perilaku hidup yang mencerminkan nilai tauhid telah membuktikan bagaimana sebuah negara bisa bersaing menuju kebangkitan ketika prinsip agama dijalankan dengan baik oleh para pemeluknya.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan melanjutkan mondoknya di Pesantren Al-Qur'an Syihabudin Bin Ma'mun, Caringin Banten. Penulis juga lulusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) di kampus STAI Indonesia, Jakarta.