Social Media

Yi Din

Untuk guruku, guru semua orang…

Yang kini terngiang di benakku justru gelak tawa dan canda beliau, saat para pelayat yang lain sibuk dengan air matanya. Tapi aku sama sekali tak berbeda dengan para pelayat lain yang terus menangis, meratapi kepergiannya yang tak terduga. Teringat pagi tadi, bakda subuh, sebuah pesan masuk di hapeku dari nomor tak dikenal. Isinya mengenai permohonan bacaan surat Alfatihah dan doa agar arwah almarhum diterima di sisi-Nya. Begitu mengetahui kabar itu, kedua mataku langsung berkaca-kaca, hati terasa teriris-iris seolah tak siap mendapat kabar ini.

Aku menangis bukan hanya karena beliau meninggalkanku, meninggalkan kami. Namun juga karena semakin langkanya sesepuh yang membimbingku, juga guru-guru yang lain.

Hari kemarin beliau masih mengajar di madrasah walau dengan keadaan meriang. Akulah orang beruntung yang mendapat kesempatan terakhir mengantarkan beliau ke rumahnya yang berjarak enam kilo dari lokasi madrasah. Dan memang tanda-tanda kepergiannya (setelah kini kusadari) begitu kentara. Mulai ajakannya ngopi di warung Pak Bari, tempat favoritnya (sebelumnya aku tidak pernah diajak ke warung itu) hingga tingkahnya yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kalimat yang diucapkan beliau pun menyaratkan hal itu.

“Ayo dipuas-puaskan ngopinya. Besok sudah tidak bisa ngopi seperti ini bareng saya lagi.”

Aku mengira itu perkataan biasa saja karena memang aku tak suka ngopi. Tapi… Ah! Hingga kini aku belum sepenuhnya percaya bahwa sosok membujur berbalutkan kain mori adalah beliau, guruku. Guru semua orang. Bahkan istri beliau, Bu Saudah mengira bahwa ratusan pelayat yang datang dan siap menyalati adalah orang-orang yang hendak menjenguk. Padahal Bu Saudahlah orang yang menemani beliau dalam keadaan sakaratul maut, yang dalam riwayat sakitnya seperti disayat oleh tujuh puluh pedang.

“Bapak cuma pingsan, jangan ditangisi. Bilang sama orang-orang,” ucapnya kepada anaknya. Beberapa saat kemudian Bu Saudah jatuh pingsan. Ketika sadar, ia mencari-cari sosok anaknya. “Kenapa rumah kita ramai? Apa Bapak sudah siuman? Tidak biasanya Bapak punya tamu sebanyak ini,” katanya penuh igauan. Aku tak sampai hati melihatnya.

Bu Saudah sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri, seperti aku menganggap almarhum sebagai ayahku. Tetapi dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa kulakukan?

***

Kiai Zainuddin, atau yang akrab disapa Yi Din bukanlah seorang kiai besar dengan pondok pesantren yang besar. Orang-orang kampungnya bahkan tak memanggilnya dengan sebutan kiai. Kiai adalah sebutan beliau selama di madrasah. Di kampungnya, Yi Din kerap dipanggil dengan sebutan Mbah Din. Untuk ketenaran, beliau tentu kalah dengan nama besar Kiai Salman, seorang kiai masyhur di kabupaten kami. Atau dengan Kiai Manshur, kiai asal kabupaten sebelah yang terkenal dengan penggabungan antara dakwah dan kesenian wayang golek. Apalagi dengan Kiai Miftah dan Kiai Jamal yang biasa muncul di layar televisi.

Di lingkungan sekolah saja, nama Yi Din hanya tenar di lingkungan anak banin (siswa putra). Beliau memang hanya mengajar di kelas banin saja. Sementara anak banat (siswa putri) yang sekolahnya masuk sore jarang sekali yang mengenal beliau. Kalaupun ada yang mengenal mereka adalah tetangga Yi Din yang bersekolah di madrasah tersebut.

Beliau dikenal sebagai seorang ustaz biasa, namun perilakunya luar biasa. Mengajar selama lima puluh tahun di sebuah madrasah, dan tidak beranjak dari tugasnya sebagai pengajar di tingkat ibtidaiyyah (setingkat sekolah dasar), pada satu mata pelajaran! Padahal di madrasah tersebut terdapat tingkat-tingkat di atasnya, yaitu tingkat tsanawiyah (setingkat SMP), dan aliyah (setingkat SMA). Walaupun begitu, beliau tidak pernah mengeluh.

Ah, Yai. Bagaimana mungkin di zaman sekarang ada orang sepertimu?

Pernah suatu ketika Yi Din ditawari untuk mengajar di SD di kampungnya, dengan jaminan biaya penghidupan yang lebih baik. Para warga merasa kasihan dengan kehidupan Yi Din yang serba terbatas. Namun Yi Din dengan halus menolak tawaran itu dan memilih untuk mengajar di madrasah yang jaraknya lebih jauh. Alasannya ia ingin setiap kayuhan sepedanya menjadi amal baik dan kelak bisa menjadi tiket ke surga.

Di lain kesempatan Yi Din mengaku senang srawung (berbaur) dengan anak-anak kecil yang bandel di madrasah. Baginya tawa riang bocah-bocah dapat mengurangi beban hidupnya (tapi aku tidak yakin beliau punya beban. Beliau tipe orang yang riang dan mudah bergaul. Beliau merupakan contoh orang yang khuruj khilaf dengan siapa saja, suka mengalah, serta mengutamakan kebaikan bersama).

Alasan lainnya adalah mata pelajaran yang diajukan kepadanya tidak sesuai. “Bukannya mengajar di sini sama saja, Yi?” tanya Pak Anwar, carik desa. “Ya berbeda, tho.” “Bedanya apa?” “Di sini jatah saya malam, mengajar ngaji. Saya gak bisa ngajar bahasa Jawa. Wong bahasa Jawa saya saja masih kasar,” ungkap Yi Din mencari alasan. Walau dengan gaji tak seberapa, toh ia mampu membiayai anak-anaknya hingga ke jenjang kuliah.

Anak beliau ada empat. Yang sulung sudah menikah dan sekarang menjadi desainer pakaian muslimah. Dua lainnya di Jakarta, tengah menyelesaikan kuliahnya. Sementara satu lainnya masih kelas dua SMA. Padahal kerja sambilannya hanya menjual kayu bakar. Yi Din berkeyakinan bahwa rejeki yang didapat dengan cara ikhlas dan halal akan mendapatkan berkah. Sesedikit apa pun yang didapat dari jerih payah kelak tumbuh menjadi kebaikan. Buktinya adalah anak-anak beliau yang sarat dengan prestasi. Uniknya, walau mengajar di madrasah, Yi Din tidak pernah menyekolahkan anaknya di madrasah.

Keseluruhan anaknya menuntut ilmu di sekolah yang tidak berbasis agama. Hal ini sempat menjadi perbincangan di antara tetangga-tetangganya semasa beliau hidup. Tapi Yi Din tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Saat salah satu warga memberanikan diri untuk bertanya alasan Yi Din tidak menyekolahkan anaknya di madrasah tempat ia mengajar, dengan nada berkelakar, Yi Din menjawab, “Kalau semua di madrasah situ, berangkatnya pakai apa? Wong saya saja pakai sepeda masa anak-anak saya mau naik sepeda juga. Apa kamu mau mengantar pakai mobilmu?”

Setelah beliau wafat inilah rahasia mengapa beliau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah non-agama terungkap. Anak-anaknya menjadi ahli di bidang yang ditekuni, mengungguli anak-anak orang berpunya. Bahkan anak ketiganya mendapat beasiswa di fakultas kedokteran.

“Mbah Din pernah bilang kalau dunia umum juga harus diisi oleh orang-orang yang beragama. Kalau tidak bisa kacau dunia ini,” jelas Pak Mamat, tetangga beliau yang sempat menanyakan alasan mengapa anaknya tidak di masukkan madrasah saja. “Saya adalah madrasah bagi anak-anak saya. Mereka juga punya tugas sebagai pionir bangsa dengan ilmu dan agamnya. Ilmu kalau tidak diimbangi agama ya jadinya nelek-nelek thok.”

Nelek bagaimana, Mbah?”

“Ya contohnya orang yang ngaku pinter jadi dokter, tapi buntutnya banyak malpraktek. Mereka ini yang lebih percaya uangnya daripada otaknya. Jadinya yang diburu ya duit melulu. Ngotor-ngotori baju putih mereka saja! Padahal dulu yang namanya dokter itu siap-siap susah. Tapi sekarang? Dokter mburu-buru sugih (kaya),” kenang Pak Mamat mengenai penjelasan Yi Din di satu malam.

Ternyata pengetahuan beliau begitu luas, jauh lebih luas dari apa yang kuketahui. Aku semakin merindukan suasana bersama Yi Din yang serba renyah, tetapi menyiratkan keluasan makna di setiap ucapannya.

***

Dalam sehari, Yi Din memiliki jatah empat jam di sekolah, dan satu jam di rumah saat bakda maghrib. Keseluruhannya dijalani dengan penuh ketekunan. Sebab mengajarnya yang hanya itu-itu saja, rasa hormat warga terhadapnya tidak berbeda dengan warga kampung lain. Tak seperti kiai-kiai lainnya yang dihormati secara berlebihan. Dan itulah yang memang dicari olehnya.

Yi Din ingin memanfaatkan dan membagikan ilmu yang didapatnya tanpa keterikatan dengan apa pun. Sosok yang khas dengan gaya tampilan sederhana, apa adanya. Untuk berpakaian cukup dengan baju koko dan sarung yang tidak melihat jenis merknya. Gaya bicara khas, ceplas-ceplos dan terkesan mbanyol namun menghibur dan tidak menyakiti orang lain. Sosok sederhana penuh keteladanan dan seharusnya bisa menjadi cermin qona’ah dalam arti sebenarnya.

Kiai Salman, kiai terkemuka di kabupaten kami yang mengisi pidato pemberangkatan jenazah mengatakan bahwa Yi Din adalah teladan bagi orang-orang yang mengaku kiai. Seorang kiai haruslah mampu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, agar ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat.

“Jadi, kiai kalau masih pamrih, ya bukan kiai,” ucapnya. Kiai Salman mengaku bahwa beliau merupakan murid Yi Din di madrasah tempatnya mengajar. Kiai Salman bercerita bagaimana Yi Din dengan gigih mengayuh sepeda menuju madrasah dengan satu tujuan pasti, mengajar para siswa. Hanya faktor usia saja yang membuat Yi Din tidak lagi bersepeda.

Di usia senjanya beliau berangkat naik dokar (delman), dan pulang diantar guru-guru yang lebih muda (guru-guru biasanya berebutan untuk mengantar beliau sampai ke rumah). Di antaranya adalah aku, seorang yang sangat mengagumi beliau. Juga merindukan petuahnya. Konon saat Yi Din berada di jenjang akhir sekolah, Yi Din mendapat arahan dari Mbah Salam, seorang kiai kharismatik untuk menggembala tanpa meminta imbalan. Dikasih ya diterima, tidak ya jangan menuntut. Maka setelah lulus sekolah, Yi Din langsung menggembala kambing milik para tetangganya.

Selang tiga tahun, Yi Din sowan kepada Mbah Salam dan mengutarakan perkembangannya sebagai seorang penggembala.

“Alhamdulillah, Mbah. Kambing-kambing yang saya gembala tambah gemuk-gemuk. Tapi saya yang tambah kurus,” akunya polos. Mbah Salam langsung tertawa mendengar pengakuan Yi Din muda.

“Yang saya maksud menggembala, ya bukan gembala kambing. Gembala itu menuntun. Maksudnya ya mengajar anak-anak para tetangga, bukan kambing tetangga.” Setelah itu Mbah Salam menugasinya mengajar di madrasah, tempat di mana Yi Din menuntut ilmu.

Sampai akhir hayatnya, Yi Din sangat telaten menekuni amanah yang diberi oleh gurunya itu. Dengan penuh keistiqomahan dan keikhlasan tiada tara. Mbah Salam pula yang menjamin Yi Din bisa hidup dan membiayai penghidupan keluarganya dengan mengajar.

“Kalau kamu sampai tidak makan gara-gara mengajar, besok guncangkan saja pathok (nisan) kuburan saya,” jamin Mbah Salam. Petuah ini yang dijadikannya sebagai pegangan hidup. Dalam pidatonya itu, di samping menyingkap misteri tentang Yi Din yang unik dari sisi sosial dan dari sisi keagamaan, juga sempat disinggung cerita detik-detik menjelang beliau wafat.

Dalam pangkuan istrinya, Yi Din yang merasa sudah tidak enak badan berkata, “Aku tak semaput sedelok yo! (Aku mau pingsan dulu ya!)” Karena menganggap itu hanya banyolan suaminya, istri Yi Din menjawab, “Iya, pak. Semaput saja.” Tapi setelah ditunggu-tunggu semaputnya kok tidak siuman-siuman juga.

“Mungkin nyawanya sudah nyaman waktu semaput di pangkuan bidadarinya,” timpal Kiai Salman. Tak pelak semua pelayat merespons dengan tawa. Aku yang biasa guyonan dengan almarhum ikut-ikutan geli mendengarnya.

Ya Allah…, dalam kondisi seperti ini saja njenengan masih bisa membuat orang tertawa? Batinku.

Yi Din meninggalkan dunia ini tanpa menyusahkan siapa pun. Untuk bersedekap saja, beliau tidak meminta bantuan orang lain. Banyak orang menyaksikan (termasuk aku) wajah beliau ringan, cerah, sumringah, dan nyaris tersenyum. Kiai Salman berpendapat bahwa mudahnya proses kematian Yi Din dikarenakan keikhlasan beliau selama hidupnya. Subhanallah

Cerita ini ditulis dari berbagai referensi, dari cerita-cerita mengenai seorang guru yang penulis kagumi.

GUSDURian. Aktif menulis di berbagai media daring.