Tanggal 30 Desember ini, tepat dua tahun Gus Dur wafat menurut hitungan Masehi. Haulnya diperingati dalam minggu-minggu ini, sebab dalam hitungan Hijriyah, tanggalnya sudah tiba beberapa waktu yang lalu. Tahun pertama sejak wafatnya Gus Dur boleh dianggap sebagai tahun berduka-cita bagi yang merasa kehilangan tokoh ini. Namun tahun kedua dan ketiga, duka-cita itu boleh dianggap sudah reda, dan kini tiba waktunya untuk membahas tentang warisan.
Apakah warisan utama yang ditinggalkan Gus Dur bagi kita? Banyak pihak menilai Gus Dur sebagai seorang tokoh pluralisme yang amat penting di Indonesia. Di Tebuireng, saat pemakaman Gus Dur, Presiden SBY tanpa ragu menyebut tokoh ini sebagai ‘Bapak Pluralisme’. Saya pun sepakat bahwa pluralisme adalah sebuah gagasan penting yang secara konsisten dipegang oleh Gus Dur, dan ‘diajarkannya’ pada bangsa ini.
Namun sebenarnya, pluralisme bukanlah satu-satunya warisan gagasan yang ditinggalkan oleh Gus Dur pada kita. Bahkan dalam upaya menemukan esensi gagasan Gus Dur dalam formulasi yang sederhana, kita bisa melihat bahwa pluralisme hanyalah derivasi dari nilai-nilai inti. Pluralisme hanyalah tampak-permukaan dari nilai dasar yang secara konsisten ditunjukkan oleh Gus Dur.
Nilai dasar yang dipegang Gus Dur bersumbu pada ketauhidan. Nilai ini dibentuk dalam keluarga inti dan keluarga besarnya, yang sangat kental bernuansa pesantren. Sumbu ketauhidan ini bercabang ke sejumlah nilai, termasuk kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, dan pembebasan.
Saya memandang bahwa nilai yang amat menarik dalam hidup Gus Dur justru adalah pembebasan. Sahabat dekat Gus Dur, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), selalu menyebutkan bahwa Gus Dur tak cuma cerdas, namun juga berani. Itulah yang membedakan Gus Dur dengan tokoh-tokoh lain: keberanian untuk bertindak secara otonom, yang kerap membuatnya nampak gegabah dan inkonsisten. ‘Keberanian’ ini berakar pada nilai pembebasan.
Pembebasan yang secara konsisten ditunjukkan oleh Gus Dur adalah nilai dasar untuk melepaskan manusia dari segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh manusia lain. Tak hanya bagi dirinya sendiri, setiap manusia harus berupaya membebaskan manusia lain dari segala bentuk penindasan. Dengan nilai ini, Gus Dur selalu tidak rela melihat adanya orang dan kelompok yang mengalami diskriminasi dan ditindas atas dasar apa pun. Gus Dur konsisten membela siapa pun yang sedang dalam posisi lemah, bahkan Inul saat berhadapan dengan Rhoma Irama sekalipun.
Pembebasan juga mengandung makna otonomi. Setiap manusia dilahirkan sebagai insan yang bebas, sehingga harus selalu terbebas dan mampu membebaskan diri dari kungkungan akibat kepentingan kekinian semata. Menjadi seorang pembebas, membutuhkan jiwa merdeka dan bebas dari segala bentuk ketundukan kepada manusia. Pembebasan menjadikan setiap orang sebagai pribadi yang otonom dan otentik. Ketika seseorang terbebas dari kungkungan kepentingan yang serba kini, maka pilihan langkahnya menjadi mudah dan otonom. Keberanian (atau kenekatan?) yang dilihat orang pada diri Gus Dur adalah hasil pembebasan diri semacam ini. Gus Dur selalu dinilai sebagai orang yang berani, dan tak takut risiko dalam berucap dan bertindak.
Dinilai dari aspek pencapaian jangka pendek, beberapa keuntungan seperti nampak lepas, karena Gus Dur melakukan perbuatan yang kelewat nekat. Saat diawancarai dengan Adam Schwarz, Gus Dur pernah menyebutkan bahwa “stupidity” (kebodohan)-lah yang membuat Soeharto menolak beberapa gagasannya. Ini membuat Gus Dur sempat ‘dimusuhi’ oleh Pemerintah. Sebagai presiden yang disokong oleh Poros Tengah, Gus Dur juga terlalu ‘otonom’ terhadap kekuatan ini. Ujung-ujungnya, Poros Tengahlah yang mendongkel Gus Dur.
Pada lingkup kemasyarakatan, nilai pembebasan itu terefleksi dalam semangat emansipasi sosial yang selalu ditekankan oleh Gus Dur. Pembebasan sosial untuk menjadikan setiap orang sebagai individu yang otonom dan otentik adalah eleman penting dalam langkah pemberdayaan yang dilakukan Gus Dur. Demokrasi yang deliberatif adalah ide sekaligus tindakan yang selalu dijadikan Gus Dur sebagai cara untuk mewujudkan emansipasi sosial itu.
Nilai itulah yang perlu kita kembangkan bagi Indonesia ke depan: pembebasan. Gus Dur lebih dari sekadar seorang pluralis. Ia adalah seorang pemimpin yang pembebas. Ia didukung banyak orang karena semangat pembebasannya. Di tengah kecenderungan pemimpin politik yang serba mengungkung dalam klaim loyalitas dan pencitraan, maka pemimpin dengan elan pembebasan ini amat kita butuhkan di masa depan. Itulah warisan penting Gus Dur yang harus dirawat dan dikembangkan.
Kedaulatan Rakyat, 30 Desember 2011
(Tulisan ini sebelumnya juga dipublikasikan di agkarim.staff.ugm.ac.id)