Setiap kali memasuki periode percaturan kekuasaan lokal-nasional, Jaringan GUSDURian kerap ikut sibuk. Bukan karena terlibat perebutan kekuasaan yang terjadi dalam politik praktis, melainkan karena klaim bahwa GUSDURian mendukung calon A atau merapat kepada calon B. Keyakinan bahwa kepercayaan publik akan berdampak pada kerja-kerja penguatan masyarakat dalam jangka panjang membuat klarifikasi ini menjadi penting. Berulang kali Seknas GUSDURian perlu menegaskan bahwa Jaringan GUSDURian berfokus pada merawat dan melanjutkan perjuangan Gus Dur di ranah gerakan sosial, bukan di politik praktis.
Orang memang kerap menganggap urusan kepercayaan hanyalah soal personal, dan akibatnya luput memandangnya pada tingkat yang lebih besar. Padahal, ada berlapis tingkat untuk ihwal kepercayaan ini. Dilihat dari besaran pengaruhnya, Stephen Covey Jr dalam buku The Speed of Trust menyebutkan, ada kepercayaan di tingkat personal, di tingkat organisasi, di tingkat pasar, dan di tingkat masyarakat.
Dalam konteks hidup berbangsa, ini berwujud pada kepercayaan kepada figur-figur utama pemimpin negeri, tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama; kepercayaan kepada lembaga pemerintah dan negara; kepercayaan pasar yang berpengaruh pada iklim investasi dan ekonomi; serta kepercayaan pada sistem dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Bagaimana tingkat kepercayaan bisa terbentuk menjadi tinggi atau rendah? Tentu kondisi ini tidak terjadi dengan sendirinya. Pada intinya, tingkat kepercayaan yang tinggi membuat merasa yakin dan nyaman atas niat dan tindakan pihak lain. Sebaliknya, saat tingkat kepercayaan kita rendah, kita merasa curiga atas niat, tindakan, integritas, dan kepentingan pihak lain tersebut. Dan menariknya, praktik kehidupan berbangsa kita saat ini membawa banyak konsekuensi yang mempertebal ketidakpercayaan kita satu sama lain, terutama kepada penyelenggaraan negara.
Dalam sebuah serial diskusi terfokus yang melibatkan 200 keluarga, semua sepakat korupsi merupakan hal yang mengganggu. Ketika saya bertanya mengapa masyarakat tidak banyak terlibat dalam upaya memberantas korupsi, jawaban paling mencengangkan adalah ”tidak ada gunanya, toh pejabat koruptor ditangkap dan diganti pun, nasib kami tidak berubah.”
Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada anggota Parlemen karena banyaknya permainan kekuasaan, juga karena beredar foto dan kisah bagaimana para yang mulia dengan mobil mewah, perjalanan penuh kenyamanan, dan perilaku absurd lainnya menjadi wakil rakyat menikmati kesejahteraan negeri ini.
Harga tingkat kepercayaan di tingkat masyarakat memang sangat mahal. Hal sederhana dan personal pun dapat berdampak sangat besar. Kita tidak percaya orang lain di jalan raya akan menaati peraturan lalu lintas, maka kita main serobot karena khawatir tidak mendapatkan jalan. Lelaki tidak dipercaya dapat menahan syahwatnya dengan kematangan diri, lalu dipaksalah para perempuan untuk ”menjaga dirinya agar tidak menggoda para lelaki”. Melihat orang bercelana di atas mata kaki atau bercadar, kita serta-merta menghakiminya intoleran kepada yang lain. Ada rumah pemuka agama minoritas sering didatangi umatnya, maka kita curiga ia menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah.
Prosedur pemilihan pejabat negara kita lengkap, tetapi kita sering meragukan apakah kandidat terpilih karena program ataukah uang. Hukum tidak dipandang sebagai penegakan keadilan, tapi dirasa parsial terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Maka, seorang nenek yang mengunduh tiga kakao atau mengambil kayu dihukum penjara tahunan, sementara mantan narapidana korupsi bisa mencalonkan dirinya lagi menjadi pejabat publik.
Publik diharapkan bahkan dituntut untuk percaya kepada semua perangkat negara tanpa ada upaya yang jelas untuk meraih kepercayaan masyarakat. Ada beberapa kisah keberhasilan yang pantas dipuji, misalnya pada perubahan paradigma dan tindakan kepolisian dalam kasus-kasus terkait dengan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Tetapi, secara umum, kita masih punya pekerjaan rumah yang besar tentang kepercayaan kepada penyelenggaraan negara.
Bisa kita bayangkan betapa besar biaya materiil ataupun imateriil akibat tingkat kepercayaan yang rendah dalam masyarakat. Di sisi lain, persoalan ini tidak pernah ditanggapi dengan serius. Tidak ada upaya untuk menilai dampaknya dan lalu menyusun langkah komprehensif untuk mengatasi keroposnya kepercayaan ini, kecuali yang terkait dengan iklim investasi dan industri. Revolusi mental yang menjadi program andalan kampanye Presiden Jokowi juga belum mewujud secara signifikan sampai saat ini.
Trust is earned, kepercayaan itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi ia adalah hasil dari upaya. Bukan semacam urusan rasa yang dibiarkan saja mengalir dengan sendirinya sebab bisa-bisa ia mengalir ke comberan. Jadi bagaimana? Entahlah, saya sendiri belum menemukan strategi yang bisa saya percayai.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 18 Maret 2018)
Sumber: kompas.id