Dalam bilangan minggu kita akan segera disuguhi formasi resmi calon presiden-wakil presiden yang akan berlaga demi mendapatkan tampuk kekuasaan Indonesia pada 2019 nanti. Ketidakpastian akan segera berakhir, spekulasi akan terjawab. Wajah-wajah dalam baliho yang menjadi pemandangan ”alam” kita beberapa waktu ini pun akan segera berganti. Akhirnya!
Pesta demokrasi Indonesia memang semakin menarik. Transparansi dan akuntabilitas terus meningkat. Pintu partisipasi publik semakin lebar terbuka dengan pemilihan langsung. Sekelompok orang bisa mendirikan partai politik. Warga bisa memilih sendiri siapa yang dikehendakinya untuk menjadi anggota parlemen, untuk menjadi bupati/wali kota dan gubernur, serta untuk memimpin bangsa dan negara ini.
Berbeda dengan saat saya pertama kali berhak mencoblos dalam pemilihan umum di awal tahun 1990-an. Hanya ada tiga partai politik, jangankan mencoblos presiden pilihan hati, memilih secara spesifik siapa nama calon anggota parlemen pun tak bisa. Di masa Orde Baru, di mana kekuasaan terkonsentrasi penuh, saya hanya perlu memilih partai politik.
Menariknya, sebagian besar orang menganggap perubahan ini sekadar masalah prosedur demokrasi. Padahal, sejatinya, ada banyak dinamika di baliknya. Coba kita perhatikan apa yang terjadi dalam langkah-langkah transaksi yang sedang terjadi untuk berebut kuali koalisi ini.
Pendekatan dan lobi antar-partai politik terus berlangsung. Baik rayuan maupun intimidasi lunak juga mengalun makin kencang. Kadang lucu juga membaca bagaimana tuan-puan politisi menjilat ludah pernyataan-pernyataan pedas di masa lalu demi memuluskan peluang koalisi.
Koalisi partai politik kita hampir tidak pernah dibangun oleh keselarasan ideologi berbagai partai politik, tetapi oleh tawar-menawar elektabilitas dan kekuatan logistik. Yang penting menang. Mereka seperti lupa bahwa salah satu makna dasar politik adalah tata kelola kebijakan untuk rakyat. Itu yang seharusnya menjadi tujuan dan guiding principles dalam berpraktik politik. Bukan mengejar kekuasaan semata.
Menganalogikan konsep pusat kehidupan oleh Covey (1996), ideologi politik menjadi pusat kehidupan ekosistem partai politik. Semua sumber daya diarahkan sesuai dan untuk ideologi politik. Partai Demokrat Amerika Serikat mengusung liberalisme sebagai ideologi. Hampir tidak bisa dibayangkan Partai Demokrat menggunakan paradigma konservatif agama dalam politik mereka. Demikian juga misalnya Partai Buruh di Inggris yang berideologi democratic socialism.
Ideologi inilah yang akan menjadi arah gerak partai politik dalam pengembangan kebijakan negara. Kesetiaan kepada ideologi ini membuat warga negara akan lebih mudah menyalurkan aspirasinya melalui partai politik yang dianggapnya paling mewakili.
Di Indonesia, partai-partai politik juga menyatakan ideologi politik mereka, mulai dari ideologi agama sampai nasionalisme. Namun, jika kita melihat praktik koalisi menjelang pemilihan umum, ideologi politik ini hilang ditelan hasrat berkuasa. Politik direduksi menjadi perebutan takhta kekuasaan dan akses kepada sumber daya negara dengan kecenderungan machiavellianistik yang kuat.
Jangankan memikirkan nasib rakyat, ideologi politik pun dapat digadaikan untuk kepentingan kekuasaan selama 5-10 tahun. Partai-partai politik yang berseberangan ideologi bisa berkoalisi dalam sebuah pemilihan umum untuk gubernur. Sementara di ruang yang lain, semisal di provinsi lain atau di pemilihan kepala daerah tingkat dua, mereka bersaing. Akibatnya adalah konsekuensi yang mungkin luput dari amatan kita.
Rakyat diminta untuk terus bersatu. Namun, alih-alih mencontohkannya dengan bekerja bersama demi rakyat, para politisi berkonspirasi saling menjatuhkan. Mereka mengajari rakyat untuk bersatu hanya jika punya kepentingan taktis, lalu melazimkan pecah belah masyarakat jika kepentingan telah berubah.
Rakyat diharapkan setia kepada negara. Namun, koalisi partai politik mengajari rakyat untuk rela mencederai kepercayaan kepada musuh walaupun dulunya adalah sekutu. Bangsa ini diajari untuk selalu berprasangka buruk karena tidak ada lagi integritas yang dapat dipegang.
Contoh yang paling profan adalah sentimen dogmatis jangan memilih pemimpin beda agama yang diusung koalisi di sebuah provinsi, tetapi tidak berlaku di pilkada lain. Bangsa ini mereka ajari untuk plin-plan, mudah saja mengingkari prinsip atau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Your actions speak so loudly, I can’t hear what you say. Nyaring sekali bunyi tindakan kalian sampai-sampai kami tak mampu mendengar ucapan kalian. Tuan-puan dalam partai-partai politik jago beretorika, tetapi sudah makin banyak rakyat yang cukup kritis melihat tindakan tuan-puan.
Seorang teman politisi mengatakan, dalam politik jangan baper (bawa perasaan) supaya bisa cepat move on. Setelah perebutan kekuasaan usai, setelah tak lagi perlu membakar sentimen warga dengan kebencian, tuan-puan politisi sudah asyik kongkow lagi. Mungkin sambil bertransaksi partai mana mendapatkan jatah direktur BUMN apa.
Namun, sampah kebencian sudah menyobek tali persatuan di lingkungan-lingkungan perkampungan. Luka-luka masih bersisa di grup Whatsapp keluarga, alumni sekolah, dan kelompok sosial lain. Membutuhkan upaya yang ekstra keras untuk memulihkan ini. Siapa yang akan melakukannya? Tentu bukan Anda, tuan-puan politisi, tetapi anggota masyarakat sendiri.
Lalu, bagaimana mungkin kami rakyat jelata ini tidak baper?
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 29 Juli 2018