Setiba di Kairo pada 1960-an, Syukri Zarkasi muda sowan ke satu markas pelajar Indonesia di Mesir. Ia disambut dengan hangat. Gus Mus segera memasak air. Gus Dur segera masuk ke kamar, keluar membawa sepotong pakaian dalam lelaki, dan mulai menggunakannya untuk mengelap gelas yang akan dipakai minum. Kiai Syukri dan Gus Mus terperanjat, lalu Gus Mus protes. Gus Dur menjawab santai, ”Ini celana dalam masih baru, belum dipakai. Sama kainnya dengan serbet bersih.”
Bagi sebagian pembaca, kisah ini sebatas betapa jahilnya Gus Dur. Namun, di baliknya, tersimpan filosofi yang sangat dalam: bagaimana imaji kita sangat memengaruhi sikap kita atas sesuatu, bahkan sampai melupakan esensi.
Kain bersih yang sama menimbulkan perasaan dan pandangan yang berbeda hanya karena bentuk luarnya sebagai pakaian dalam atau serbet. Rasa dan pandangan yang bias ini sering kali menjebak kita dan menciptakan persoalan yang tak substansial.
Gus Dur memang manusia substantif. Terhadap segala sesuatu, ia mengembalikannya kepada nilai dan tujuan yang fundamental. Kalimat ”Tuhan Tidak Perlu Dibela”, misalnya, ia maksudkan untuk mengingatkan betapa kalimat itu meletakkan Tuhan pada posisi lemah dan kita merasa lebih perkasa sehingga membela-Nya.
Demikian pula dalam berpolitik. Bagi Gus Dur, politik adalah jalan atau wasilah menuju pewujudan hakikat kemanusiaan yang terbaik. Politik bukanlah jalan untuk semata mendapatkan kekuasaan atau untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya (Indonesia), juga bukan jalan untuk mendapatkan kemuliaan penghormatan. Politik juga bukan alat untuk melanggengkan dinasti. Apalagi untuk kepentingan kejayaan kelompok dengan mendiskriminasi kelompok lain.
Karena itulah, Presiden Gus Dur tidak segan meminta maaf atas berbagai peristiwa berdarah yang terjadi selama Timor Leste menjadi bagian Negara Indonesia. Saat itu, sentimen publik Indonesia masih negatif, menyesalkan lepasnya Timor Leste. Harga diri sebagai negara masih terluka. Namun, Gus Dur melampauinya. Kepada Presiden Xanana Gusmao, Gus Dur mengatakan, yang penting rakyat Timor diberi kebebasan memilih ke Indonesia atau ke negara baru tersebut tanpa tekanan.
Dalam pertemuan dengan anggota parlemen Asia tahun 2016, Jose Ramos Horta ditanya siapa negara yang membantu di awal kehidupan negara baru Timor Leste. Horta menyampaikan justru pemerintahan Presiden Wahid yang paling membantu sehingga hubungan kedua negara sampai saat ini menjadi baik.
Jejak lain Gus Dur adalah Keppres tentang Taman Nasional yang memberikan ruang untuk Orang Rimba yang masih tinggal berpindah di dalamya. Menurut Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dengan keppres tersebut, Orang Rimba tidak boleh dipindahkan paksa karena Taman Nasional justru diperuntukkan melindungi hak hidup Orang Rimba sebagai warga negara Indonesia.
Dalam isu Papua, Presiden Gus Dur menanggalkan pendekatan opresif. Berulang kali Gus Dur berdialog dengan masyarakat Irian Jaya saat itu dan mengundang Dewan Adat Papua pada 2000-an. Para tokoh mengungkapkan kekecewaan karena Jakarta bahkan tak memedulikan martabat manusia Papua dengan memaksa mereka menggantinya dengan nama baru Irian Jaya.
Karena itu, Presiden Gus Dur mengembalikan nama Papua sebagai bentuk penghormatan kepada jati diri masyarakat Papua. Inilah mengapa sampai saat ini, banyak warga Papua yang menganggap Gus Dur sebagai bagian tetua mereka.
Dan tentu salah satu jejak paling terkenal Gus Dur adalah mengakhiri pembatasan dan diskriminasi kepada warga negara Indonesia dari kelompok Tionghoa yang berlaku sejak 1966. Tidak dengan dalih kepentingan ekonomi ataupun lainnya. Namun, demi memastikan perlindungan atas harkat dan martabat warga negara Indonesia secara merata, bukan hanya untuk kelompok tertentu.
Hal-hal ini hanya sedikit dari jejak-jejak Gus Dur yang menunjukkan ungkapan Gus Dur bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, bukanlah pepesan kosong atau gimmick kampanye belaka. Bagi Gus Dur, kekuasaan politik adalah ruang untuk mendorong perubahan.
Gus Dur meyakini risalah perjuangan para Nabi untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah teladan dan mandat bagi para pemimpin untuk meneruskannya. Kaidah keputusan pemimpin haruslah demi kemaslahatan umatnya memandu setiap langkah Gus Dur dalam mengambil keputusan terbaik, tanpa peduli pada konsekuensinya terhadap kekuasaan itu sendiri.
Gus Dur tidak selalu berhasil, banyak kegagalan yang dialami. Musuhnya pun tak terbilang, terbukti dari kekalahannya dalam pertarungan politik mempertahankan jabatan kepresidenan. Namun, soal komitmen kepada rakyat dan negara bangsa ini, hampir tak ada yang dapat menyangkalnya.
Di tahun politik ini, jejak-jejak Gus Dur menjadi relevan untuk dikaji. Saat kelompok-kelompok sibuk dengan perebutan takhta politik. Saat politik hanya diaktualkan dalam bentuk pemenangan kursi-kursi kekuasaan. Saat kekuasaan dijadikan jalan untuk mengeruk kekayaan negeri demi kantong sendiri. Saat jabatan publik dijadikan alat untuk menajamkan beda hak antara mayoritas dan minoritas.
Di saat-saat inilah kita memerlukan wajah politik yang berbeda: politik untuk kemanusiaan. Di sana jejak-jejak Gus Dur berada.
Sembilan tahun sudah Gus Dur berpulang, tetapi jejaknya terus mengilhami bangsa ini. Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita meneruskan.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 23 Desember 2018)
Sumber: kompas.id