Negara yang Bukan-bukan

Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler, maka paling tepat Indonesia disebut sebagai negara yang bukan-bukan. Demikian salah satu pandangan jenaka Gus Dur yang membawa sebuah muatan kritis yang sangat fundamental: betapa tidak mudahnya menjaga keseimbangan antara prinsip demokratik dalam sebuah negara yang tidak berasaskan agama, tetapi di sisi lain sangat kuat kehidupan keberagamaannya. Tergelincir ke satu sisi akan membawa ketegangan yang luar biasa karena sisi diametralnya akan meregang dan meradang.

Di negara ini, agama adalah salah satu hal paling penting dalam kehidupan warganya, sebagaimana diperlihatkan dalam riset oleh Pew Research Center. Tahun 2017, lebih dari 90 persen warga Indonesia mengakui hal tersebut dan menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Etiopia secara global. Mudah untuk membayangkan bahwa ini akan diterjemahkan menjadi dominasi perspektif agama dalam setiap sudut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meski demikian, Indonesia justru selama ini dipuji sebagai negara yang demokratis dan secara umum tidak ditekan oleh pengaruh doktrin agama tertentu. Keberagamaan dapat terjaga dalam keberagaman, sedangkan keberagaman tidak mati ditindas praktik keberagamaan.

Justru di sinilah letak keajaiban Indonesia yang menyebabkannya dikagumi dunia. Ini dapat terjadi karena watak dan tradisi kehidupan beragama di Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad merupakan watak dan tradisi moderasi beragama atau beragama secara moderat (jalan tengah). Watak ini tampil dalam ciri-ciri tradisi moderasi beragama di bumi Indonesia, yang oleh Kementerian Agama (2019) dikemas menjadi empat indikator praktik moderasi beragama.

Ciri pertama adalah komitmen kebangsaan. Setiap agama dan kepercayaan di Indonesia memiliki komitmen yang dinyatakan dengan jelas tentang cinta tanah air. Misalnya, umat Katolik di Indonesia terikat dengan ajaran Mon Soegijopranoto tentang 100 persen Katolik 100 persen Indonesia. Anggota Muhammadiyah meresapi pandangan resmi organisasi bahwa negara Republik Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah (negara kesepakatan nasional yang harus dibangun bersama). Kaum Nahdliyin hidup dengan doktrin hubbul wathon minal iman (mencintai bangsa adalah sebagian dari iman).

Ciri kedua adalah toleransi antarkelompok yang kuat. Sudut-sudut Indonesia memberikan bukti tentang praktik kehidupan yang saling menghargai dan memperkuat. Semisal tradisi pela gandong di Maluku dan bakudapa di Manado.

Bahkan, tradisi toleransi ini dikukuhkan oleh Sunan Kudus saat mengajari warga muslim Kudus untuk menyembelih kerbau karena sapi adalah hewan suci bagi penduduk Hindu yang banyak mendiami daerah pantai utara Jawa di seputar Kudus. Terdapat penerimaan yang tulus atas perbedaan yang ada, saling memahami kebutuhan kelompok yang berbeda.

Praktik inilah yang akhir-akhir ini digerus oleh sikap menuntut dan memaksa kelompok lain untuk memenuhi kebutuhan kelompoknya sendiri, biasanya atas dasar mayoritarianisme atau identitas pribumi.

Ciri ketiga adalah sikap anti-kekerasan yang mengikuti dan menjamin ciri toleran di atas. Tanpa sikap pendamai, tidak mungkin toleransi mendalam dapat diwujudkan selama ratusan tahun di Nusantara ini. Kita menyaksikan betapa berbahayanya jika merebak kekerasan atas nama agama dalam dua dekade terakhir ini, baik di Ambon, Poso, maupun dalam kasus-kasus gesekan antarkelompok yang meningkat dalam satu dekade terakhir ini.

Penerimaan terhadap tradisi dan adat setempat merupakan ciri terakhir praktik moderasi beragama. Dalam konteks masyarakat Islam, Gus Dur menamakannya sebagai praktik pribumisasi Islam, saat tradisi dan adat dapat menjadi pewujudan nilai-nilai universal agama Islam. Demikian pula praktik agama-agama lain di Indonesia yang saling menyelaraskan dengan tradisi dan adat setempat.

Dari keempat ciri ini, kita dapat menarik dua prinsip utama yang menghidupi praktik moderasi beragama di Indonesia: adil dan berimbang. Prinsip adil menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama yang beragam untuk dapat hidup bersama dengan damai. Prinsip berimbang membuat warga bangsa tidak gamang antara menjadi umat beragama dan menjadi warga negara yang baik, antara beribadah dan menghormati tradisi/adat, antara kepentingan kelompok dan kepentingan bersama sebagai warga bangsa.

Tujuh kata kunci: moderasi, adil, berimbang, cinta tanah air, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Inilah yang menjaga bangsa kita melintasi ruang sejarah sampai saat ini dalam keselarasan antara kehidupan keberagamaan dan kehidupan kebangsaan. Demikianlah wujud hidup bersama Pancasila.

Ini tidak berarti kita boleh terninabobokan oleh kebanggaan itu. Akhir-akhir ini, garis kecenderungan kita mengarah pada tumbuhnya sikap eksklusivisme beragama, yang di media sosial ditandai dengan kalimat-kalimat khas, seperti ”agamamu apa?” untuk membangun tembok antara kelompok kita dan kelompok liyan. Ini terjadi karena praktik- praktik di atas tergerus oleh praktik-praktik baru yang tak selaras dengan moderasi beragama.

Sejatinya, untuk menahan gerusan tersebut, dan demi menjaga integritas kita sebagai bangsa, praktik serta prinsip moderasi beragama perlu diperkuat kembali.

Alih-alih deradikalisasi yang membawa suasana batin yang reaktif dan defensif, moderasi beragama dapat menjadi strategi yang lebih efektif karena ia berangkat dari kearifan sejarah bangsa Indonesia yang telah berlangsung berabad- abad.

Rupanya betul kata Gus Dur: negara ini adalah negara yang bukan-bukan dan justru di situlah senjata rahasia kita untuk menjaga keseimbangan prinsip demokrasi dan kehidupan keberagamaan yang kuat, sebagaimana diilhamkan oleh Pancasila. Mampukah kita menjaga senjata rahasia itu?

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 22 Desember 2019)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.