Membincang Papua, saya teringat Bumi Manusia, salah satu judul dari seri buku Tetralogi Buru karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer.
Buku pertama dari empat seri buku Pram itu, kini menjadi judul film di bawah besutan sutradara Hanung Bramantyo yang diangkat ke layar lebar. Saya sendiri belum menonton film tersebut, sehingga tak ingin berkomentar tentangnya atau membandingkannya dengan cerita asli dalam novel yang telah saya baca sekira enam tahun yang lalu. Apalagi saya juga mulai pikun akan alur cerita dan runtut peristiwa yang didedahkan oleh Pram dalam karyanya yang monumental itu. Namun, kesan dari spirit yang dikandungnya dengan gaya bercerita Pram yang begitu apik, masih membekas begitu kuat.
Bumi Manusia dan tiga seri berikutnya (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) kurang lebih berkisah tentang bagaimana ide nasionalisme mula-mula tumbuh dan berkembang di Hindia-Belanda, tanah jajahan yang didiami berbagai komunitas agama, suku, dan ras yang beraneka rupa. Komunitas-komunitas itu lalu — meminjam istilah Benedict Anderson — diimajinasikan sebagai bangsa, musabab adanya perasaan senasib sepenanggungan. Novel itu merekam jejak-jejak awal ide kebangsaan lewat lahirnya berbagai persyarikatan, baik yang berlatar primordial-kesukuan, maupun yang berlatar agama.
Minke, sang tokoh utama dalam novel, ditampilkan sebagai sosok progresif dengan ide-ide pembebasan untuk bangsanya dari jerat kolonialisme. Siapa saja yang membaca novel berlatar era pergerakan awal abad ke-20 itu tentu tahu dari mana nama Minke bermuasal. Ia bukan hanya sekadar nama atau panggilan, ia adalah isyarat tentang bagaimana kolonialisme bekerja. Ujaran apa yang paling dekat dengan kata “Minke” dalam perbendaharaan bahasa Eropa yang bernada penghinaan?
Label stigmatik dan stereotyping adalah sisa-sisa reruntuhan konialisme yang masih menjejak di pikiran banyak orang. Ia terus beranak-pinak lewat pewarisan yang bekerja di alam bawah sadar. Dahulu Sukarno menentang keras penggunaan kata Inlander untuk menyebut rakyat pribumi. Karena di balik kata itu, terdapat kuasa kolonial yang ingin membenamkan kesadaran rakyat pribumi, agar takluk di hadapan kolonialisme. Dibuatlah undang-undang kolonial yang berisi pengaturan warga negara secara segregatif dan diskriminatif. Inferioritas dan perasaan rendah diri di hadapan bangsa-bangsa Barat adalah warisannya yang masih awet hingga kini.
Saat memori perjuangan anti kolonialisme yang terekam dalam novel pascakolonial itu, ingin kembali dihidupkan lewat film Bumi Manusia, sebuah tragedi memilukan justru terjadi di tanah latar cerita itu berasal, Indonesia. Provokasi rasial dan kekerasan yang menimpa mahasiswa Papua di sejumlah daerah beberapa waktu yang lalu, adalah potret bagaimana watak kolonial bisa menjangkiti siapa saja. Di era digital, penyebaran informasi bernada hasutan tak lagi dapat dibendung. Orang-orang dalam hitungan menit dapat bergerak ke satu titik tanpa komando, lalu bertindak dengan buas di luar batas kemanusiaan.
Meski akar persoalannya masih terus diselidiki, kita patut khawatir dan prihatin. Ternyata pengalaman pernah terjajah tak mampu menjadi jaring sosial untuk mencegah hal itu berulang. Bisa jadi karena keterjajahan yang kebanyakan kita alami hanya dalam bentuk cerita, bukan pengalaman nyata. Sehingga kita enggan, paling tidak coba merasai perihnya diskriminasi dan intimidasi rasial.
Tuntutan kemerdekaan dari mahasiswa Papua dalam unjuk rasa peringatan Perjanjian New York 1962, memiliki sejarah panjang dengan konstelasi sosial-politik yang kusut. Sejak bergabungnya Papua (dulu Irian Jaya) menjadi bagian dari NKRI, narasi tentang ke-Papua-an mengalami marjinalisasi. Politik integrasi yang represif di era Orde Baru semakin memperburuk situasi.
Kemunculan Organisasi Papua Merdeka (OPM) direspons secara militer dan tidak hanya menyasar orang-orang yang terlibat aktif dalam organisasi separatis itu, tetapi juga masyarakat sipil tak berdosa. Sejumlah penelitian mengemukakan bukti terjadinya pelanggaran HAM selama kurun Orde Baru (dan mungkin hingga kini) di wilayah-wilayah konflik separatis di Papua.
Pendekatan militeristik nan represif ala Orde Baru terhadap Papua, ditambah eksploitasi sumber daya alam yang melimpah, namun tidak sebanding dengan upaya pemerintah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Papua, mewariskan masalah yang kian kompleks. Kesenjangan karena ketidakadilan pembangunan, kekerasan, dan diskriminasi menjadi akar persoalan yang tak mudah diurai.
Pascareformasi, Gus Dur di masa menjabat sebagai presiden, aktif melakukan langkah-langkah dialog secara langsung dengan berbagai elemen rakyat Papua. Hal itu dilakukannya untuk mendengarkan aspirasi rakyat Papua tanpa perantara, menempatkan mereka sebagai warga negara yang memiliki hak yang setara dengan warga negara lainnya.
Dalam menyikapi konflik separatis di Papua, sebagaimana ditulis Ahmad Suaedy (2018:142) Gus Dur melihat timbulnya penentangan terhadap pemerintah lewat gerakan separatisme bukanlah penentangan terhadap kebangsaan. Gus Dur melihatnya disebabkan oleh ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah yang menimbulkan ancaman kebinekaan dan disintegrasi bangsa.
Krisis kebangsaan dan kewarganegaraan terjadi, karena kebijakan pemerintah yang menyingkirkan sebagian anggota bangsa ke pinggiran, bahkan dikeluarkan secara paksa. Karena ketidakmampuan negara mengakomodir aspirasi lokal.
Oleh Gus Dur, sejumlah aspirasi lokal rakyat Papua diakomodir dengan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembalinya identitas kultural orang Papua adalah jasa besar Gus Dur dalam upaya membangun keadilan-kesetaraan bagi Papua.
Pendekatan yang humanistik dan non-diskriminasi adalah jalan terang bagi masa depan Papua. Segala bentuk rasisme dan tindakan kekerasan bagi orang Papua yang menuntut keadilan-kesetaraan, tak boleh punya tempat di bumi manusia ini, jika masih mengaku berpancasila, berbineka tunggal ika dan anti penjajahan.
Cara-cara penyelesaian konflik melalui dialog dan nirkekerasan harus terus digalakkan. Dialog adalah cara paling bermartabat yang bisa ditempuh manusia untuk menyelesaikan masalah. Karena dalam dialog kita belajar untuk mendengarkan sambil sesekali berbicara. Kita belajar untuk memahami isi pikiran orang lain, sambil mengecek dan mengoreksi asumsi-asumsi sepihak atau prasangka-prasangka yang ternyata kerapkali menjadi panglima dalam mengambil keputusan. Kita belajar untuk sabar dalam mengupayakan kehendak diri berdampingan dengan keinginan pihak lain.
Pada akhirnya kita akan sadar, bahwa menghadapi manusia yang punya hati dan pikiran, tidak bisa dengan ancaman dan kekerasan. Manusia haruslah diperlakukan secara manusiawi. Karena bagaimanapun situasinya, fitrah kemanusiaan tak boleh dibiarkan mati teronggok nafsu menegasi sesama.
Begitulah Gus Dur melakukan cara-cara penyelesaian konflik separatisme Papua, begitu pun Aceh di masa lalu. Gus Dur berpijak pada kaidah kemanusiaan universal. Bahwa mereka yang menuntut kemerdekaan karena ketidakadilan, haruslah dihadapi dengan mengedepankan sikap ingin tahu akar persoalannya. Lalu menempuh jalan penyelesaian masalah dengan memperhatikan terpenuhinya hak-hak asasi manusia para penuntutnya.
Sumber: islami.co