Karantina Covid-19: Saat Tepat Membangun Ketahanan Keluarga

Covid-19 telah membuat kehidupan berkeluarga berubah. Belum pernah sepanjang sejarah ada semacam cuti serentak dalam kurun waktu yang cukup panjang. Inilah saatnya menguatkan ketahanan keluarga. Artikel ini akan membahas sepuluh faktor kunci ketahanan keluarga yang telah diungkapkan Keri Black (2015). Kesepuluh faktor yang bisa kita praktikkan adalah positive outlook, spiritulitas, family cohesion, komunikasi, financial management, family time, rekreasi bersama, flexibility, ritual dan rutin, serta support network.

Pertama, positive outlook (pandangan positif). Untuk mampu melewati masa pandemi ini, peran keluarga dalam menyemai pandangan positif sangatlah penting. Karena Covid-19, banyak keluarga yang jatuh dalam pesimisme, bahkan depresi. Kepala keluarga yang terkena masalah psikologis karena PHK. Oleh karena itu, pandangan positif harus disemai dan ditumbuhkan dengan saling menguatkan antaranggota keluarga.

Banyak keluarga yang terbukti mampu melewati masa krisis dengan menerapkan pandangan positif. Dalam kaitannya menghadapi Covid-19 ini, anggota keluarga bisa menyemai pandangan yang positif bahwa keadaan akan berangsur baik dan anggota keluarga akan baik-baik saja. Orang tua bisa menjadi contoh bagaimana mengahadapi masa krisis dengan tetap berbaik sangka kepada Sang Pencipta.

Kedua, saat karantina Covid-19 ini, keluarga bisa menguatkan spiritulitas. Spiritualitas adalah nilai-nilai ruhaniah dalam kehidupan. Pada saat krisis seperti ini, keluarga berkesempatan untuk meneguhkan sistem kepercayaan bersama yang memungkinkan keluarga menjadi lebih kuat. Inilah saatnya untuk mengasah rasa tentang nilai-nilai kebaikan.

Ayah dan ibu bisa mengarahkan anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berjuang bersama menyemai harapan dan kebergantungan hanya kepada Yang Maha Kuasa untuk menghentikan wabah. Keluarga mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain. Keluarga juga harus berfungsi sebagai sumber kenyamanan dan keamanan (DeFrain 1999; McAdoo 1999; Parke 2000).

Ketiga, family cohesion (kerekatan keluarga). Karantina ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya untuk membangun kohesi keluarga. Keluarga modern jarang sekali punya waktu bersama. Di saat karantina ini jangan biarkan anggota keluarga sibuk sendiri-sendiri dan mengunci diri di kamar masing-masing atau sibuk dengan gadget-nya sendiri-sendiri. Waktu yang sangat langka ini harus digunakan untuk saling mengeratkan hubungan antaranggota keluarga.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kohesi keluarga meningkatkan kepercayaan anggota keluarga. Setelah melewati masa krisis dan saling bisa menguatkan di saat krisis, keluarga akan mengalami peremajaan organisasi yang akan menambah ketangguhan keluarga.

Keempat, komunikasi. Di saat keluarga bisa berkumpul dalam waktu yang relatif lama, kesempatan ini harus digunakan untuk membangun komunikasi yang harmonis antaranggota keluarga. Black (DeFrain, 1999) menemukan bahwa komunikasi yang harmonis adalah inti dari bagaimana keluarga menciptakan suatu kebersamaan yang bermakna, mengembangkan strategi dalam mengatasi masalah, dan memelihara kesepakatan dan keseimbangan.

Ada tiga aspek penting komunikasi telah dicatat oleh Walsh (1998) untuk ketahanan keluarga: kejelasan, ekspresi emosional yang terbuka, dan pemecahan masalah secara kolaboratif. Kejelasan komunikasi menyiratkan pesan yang jelas dan konsisten. Berbagi emosi terbuka diungkapkan dalam keluarga yang berfungsi baik melalui perilaku, nada, kata-kata, ketersediaan, dan pola komunikasi. Iklim rasa saling percaya berlaku ketika anggota keluarga merasa bebas untuk mengekspresikan perasaannya tanpa takut akan penilaian orang lain atau rasa malu.

Sebaliknya, pola komunikasi yang destruktif sering ditandai dengan penarikan diri dan kemarahan yang tidak terselesaikan. Saat karantina ini seharusnya digunakan untuk membangun komunikasi yang sehat antaranggota keluarga. Indikatornya adalah manakala anggota keluarga bisa berinteraksi setiap hari secara lancar, penuh kehangatan dan saling memperkuat satu dengan yang lain.

Kelima, financial management (pengelolaan keuangan). Black menyimpulkan bahwa keterampilan pengambilan keputusan yang baik untuk manajemen keuangan dan kepuasan dengan status ekonomi dapat berkontribusi pada kesejahteraan keluarga. Sebaliknya, tekanan keuangan dalam keluarga berkontribusi pada ketegangan. Stres keluarga telah terbukti memberi efek pada kesejahteraan emosional dan hubungan interpersonal. Penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi akan memengaruhi kehidupan emosional dan interaksi suami-istri. Dari sini kemudian menyebar ke lingkungan pengasuhan anak-anak.

Di saat wabah Covid-19 ini banyak keluarga yang terdampak secara ekonomis. Hal ini tentu menuntut keterampilan dalam pengelolaan keuangan karena apabila tidak terkelola dengan baik, bisa saja mengganggu interaksi suami istri yang kemudian akan mencederai perkembangan emosional anak-anak dalam keluarga tersebut.

Keenam, family time (waktu keluarga). Menghabiskan waktu bersama keluarga saat makan, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan rileks bersama mempunyai peran penting dalam menciptakan kesinambungan dan stabilitas dalam kehidupan keluarga. Black menunjukkan bahwa keluarga yang menghabiskan waktu bersama selama sekitar dua jam seminggu terbukti mengurangi perilaku berisiko secara signifikan pada anak remaja. Di hari-hari normal, beberapa keluarga cenderung kekurangan waktu untuk menanggapi kebutuhan anak-anak. Sepulang kerja biasanya orang tua sudah kelelahan sehingga tidak mampu memberi pengasuhan yang ideal terutama untuk anak balita. Oleh karena itu, karantina Covid-19 ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya membangun family time untuk menyemai rasa saling menyayangi dan mengasihi yang sangat penting bagi ketahanan keluarga.

Ketujuh, rekreasi bersama. Berekreasi dan menikmati waktu luang bersama keluarga telah terbukti mempunyai pengaruh signifikan terhadap kesehatan dan ketahanan keluarga. Waktu bersama keluarga yang menyenangkan dapat menghasilkan keterikatan, penghargaan intrinsik, kebahagiaan, pembelajaran, humor, dan kesenangan berbagi pengalaman. Rekreasi tidak harus keluar rumah dan juga tidak harus berbiaya mahal. Menikmati film, menonton TV, atau bersenda gurau bersama keluarga adalah bentuk rekreasi yang bisa dilakukan oleh semua keluarga. Jangan biarkan anggota keluarga menghabiskan waktu menikmati gadget sendiri atau mengunci diri di kamar masing-masing.

Kedelapan, flexibility. Keluarga yang tangguh atau mempunyai ketahanan tinggi adalah keluarga yang fleksibel. Keluarga yang kaku dan tidak mau melakukan reorganisasi akan rentan di kala krisis. Pandemi Covid-19 ini menyebabkan perubahan ekonomi dan sosial pada masyarakat. Sedemikian banyak pekerja dirumahkan. Banyak orang yang penghasilannya turun drastis atau bahkan kehilangan penghasilan sama sekali.

Di saat seperti ini, pembagian kerja dalam rumah tangga harus direorganisasi. Kalau istri atau anggota keluarga yang lain bisa berperan menjadi pencari nafkah, keluarga akan bisa tangguh terhadap cobaan. Bagi keluarga yang tidak bermasalah secara ekonomi, adanya waktu luang karena work from home juga bisa dimanfaatkan untuk mereorganisasi peran. Kalau biasanya selalu istri yang memasak untuk keluarga, tidak ada salahnya suami mencoba untuk memasak agar suatu saat bila ada keadaan istri tidak bisa memasak, suami bisa memerankan diri sebagai juru masak keluarga. Nah, fleksibilitas bermain peran ini akan menambah ketangguhan keluarga.

Kesembilan, kegiatan ritual dan rutin. Menurut Black, rutinitas bersama keluarga berkontribusi mempererat hubungan keluarga, menghasilkan pengasuhan anak yang lebih baik, dan mengurangi stres pada saat situasi menekan. Penelitian lain menemukan bahwa melakukan rutinitas bersama dan merayakan hari istimewa terbukti efektif untuk mempertahankan nilai-nilai keluarga. Keluarga Muslim yang mempunyai ritual salat bisa berjamaah lima waktu dalam sehari. Saat ketika semua anggota keluarga di rumah itu adalah saat yang sangat baik untuk membuat kegiatan rutin

Terakhir adalah support network. Keluarga yang tangguh tidak hanya mendapatkan dukungan sosial dari komunitas mereka, tetapi juga memberikan kembali dukungan kepada komunitas. Inilah saat yang tepat bagi keluarga Indonesia untuk saling memperkuat satu sama yang lainnya. Keluarga yang lebih beruntung membantu mereka yang kurang beruntung. Adanya network ini bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak yang menganggap komunitas dan lingkungan mereka aman dan memuaskan akan tumbuh dengan prestasi akademik yang baik dan berperilaku yang positif.

Sumber: arrahim.id

Ketua PSGA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.