Dalam satu pekan terakhir, Amerika diguncang demo besar-besaran di seluruh negara bagian. Penyebabnya adalah kematian seorang warga kulit hitam bernama George Floyd yang diduga membeli rokok dengan uang palsu. Alih-alih menjalankan pemeriksaan sesuai prosedur, tiga oknum polisi yang menangkap Floyd justru melakukan tindakan brutal hingga menyebabkannya tewas.
Tak pelak, kejadian yang direkam oleh beberapa orang tersebut kemudian membangkitkan amarah publik di sana. Selain karena sudah sering kali terjadi, rasisme dan diskriminasi pada keturunan Afrika-Amerika membuat komunitas kulit hitam sering kali tidak mendapatkan akses pelayanan publik sama dengan kompatriot kulit putihnya.
Usai kejadian itu, #BlackLivesMatter kembali trending dan memicu gerakan sama di negeri-negeri Barat lainnya seperti Inggris hingga Australia. Di Indonesia, meski protes juga disuarakan untuk membela teman-teman dari Papua, kenyataan pahit tentang rasisme dan diskriminasi ternyata masih banyak terjadi di dunia nyata. Konon, beberapa tahun terakhir justru semakin parah karena sistem sosial kita yang makin puritan di satu sisi dan kapitalis di sisi lainnya.
Contoh nyatanya bisa kita temukan di komplek-komplek perumahan yang makin eksklusif. Bahkan dalam brosur acap kali dituliskan dengan jelas bahwa pembeli atau penghuni rumah hanya berasal dari agama atau kelompok masyarakat tertentu. Pada kasus lainnya, kos-kosan juga sekarang punya aturan sama: hanya menerima mahasiswa/i muslim. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan bagi kaum minoritas yang harus berjibaku lebih untuk mendapatkan akses dan perlakuan sama.
Terlahir sebagai mayoritas muslim dan keturunan Jawa membuat saya awalnya tidak menganggap ini sebagai suatu masalah karena itu adalah preferensi dari pemilik kos dan pengusaha properti. Namun, saat saya menginjakkan kaki di negara minoritas muslim, saya lalu mengalami hal yang sama. Dan, saya akui bahwa itu menyedihkan. Beberapa kali mengirim email untuk memesan atau menyewa kamar, saya harus ditolak dengan alasan tidak jelas atau bahkan email saya tidak direspon sama sekali.
Untunglah, saya akhirnya dapat menyewa rumah bersama dengan dua teman lainnya yang berbeda negara dan agama: satu orang India beragama Hindu, satu orang lainnya berkebangsaan Cina dan memeluk Konghucu.
Dengan hidup bersama mereka, saya kemudian belajar bahwa tidak akan ada masalah berarti sepanjang kita menghargai dan membuat kesepakatan dari awal. Memang akan jauh lebih kompleks karena dalam beberapa hal kami harus melakukan upaya ekstra seperti harus memisahkan perlengkapan dapur dan melabeli makanan agar tidak terambil atau termakan yang lain karena aturan agama. Namun, hidup dengan teman yang berbeda, membuat saya memiliki pikiran yang jauh lebih terbuka serta berwawasan lebih luas.
Di samping persoalan kos-kosan, beberapa perusahaan jasa, seperti restoran pun kerap melakukan diskriminasi pada warga sendiri. Jika kita melakukan reservasi via telpon dengan Bahasa Indonesia, pengalaman dari beberapa orang menunjukkan bahwa pemilik usaha akan mengatakan penuh. Namun sesaat kemudian, ketika penelpon yang sama menggunakan bahasa Inggris, hal yang berbeda justru terjadi. Dan mendadak yang tadinya penuh, akan dikatakan kosong.
Dengan dalih bahwa warga lokal jarang memberi tips atau kurang membawa lebih banyak profit, hal itu memperlihatkan jika persoalan diskriminasi bukan hanya mengakar di Amerika, tetapi juga negeri kita sendiri. Walau terkesan sepele hal itu jelas memperlihatkan bahwa diskriminasi dan mental inlander masih membudaya di negeri sendiri. Beberapa tahun terakhir semakin diperparah dengan politik kontrak jasa yang dilakukan oleh pemerintah dengan negara asing seperti Cina, sehingga bukan orang lokal yang diprioritaskan mendapatkan pekerjaan, tapi justru orang asing yang diterima padahal memiliki kompetensi sama.
Belum lagi soal teman-teman lain dari kelompok agama minoritas. Seringkali kita menjumpai mereka ditolak untuk beribadah dan kesulitan untuk mendapatkan pelayanan publik yang sama dengan rekan sejawatnya. Hal ini bila dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin akan menjadi fenomena gunung es seperti peristiwa protes masal di negeri Paman Sam, Amerika.
Oleh karenanya, sebelum kita terlambat. Mari bersikap jauh lebih terbuka, longgarkan hati dan pikiran untuk lebih menerima perbedaan serta menguatkan toleransi antarsesama. Sebab, seperti kata almarhum Gus Dur,
“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”
Sumber: islami.co