Terus terang saja hak asasi wanita bagi saya masih gelap. Apa yang selama ini dikatakan sebagai hak-hak asasi wanita bagi saya masih merupakan problem, dalam arti belum saya mengerti. Dalam hal ini bukan berarti saya tidak setuju dengan perjuangan hak-hak kaum wanita selama ini, tetapi untuk setuju prasyarat utamanya harus mengerti terlebih dahulu.
Problem itu antara lain tampak pada fenomena yang terjadi di Norwegia. Seorang ibu yang melahirkan, setelah tiga bulan mengambil cuti dan setelah cuti itu habis, maka gantian suami mengambil cuti selama tiga bulan juga untuk mengasuh dan membesarkan anaknya. Gantian cuti seperti itu, saya bingung meletakkannya apakah itu dalam rangka hak asasi wanita atau bukan.
Kalau hak asasi wanita seolah suami harus libur atau cuti bergantian untuk mengasuh anak, padahal seingat saya sepanjang sejarahnya, keharusan seperti itu tidak ada. Keharusan yang ada itu untuk berdua, bukan untuk giliran cuti. Dalam proporsi yang sebenarnya, suami yang bertanggung jawab sebenarnya sudah pontang-panting lebih dari istrinya yang mengasuh dan membesarkan anak. Istri melahirkan dan menyusui anak, suami kerja dan lain-lain. Dengan tugas dan tanggung jawab yang demikian, kalaulah suami harus terlibat menggantikan fungsi istri, sejauh-jauhnya perannya hanya suplementer saja dalam membantu fungsi ibu.
Membicarakan hubungan hak asasi wanita dengan Islam memang ada beberapa problematika yang tidak mudah dipecahkan, sementara yang lain-lain sudah terdapat di dalam Islam sendiri. Kalau kita lihat misalnya al-kulliyat al khams (lima hak-hak dasar dalam Islam). Kelima hak dasar atau lima prinsip umum yang menjadi perhatian pejuang hak asasi itu sudah ada dalam Islam. Pertama, hak dasar bagi keselamatan fisik wanita maupun pria itu sama, yaitu perlindungan bagi warga negara dalam pengertian hak asasi manusia. Warga negara tidak boleh disiksa atau dikenai sangsi fisik apapun, kecuali memang terjadi kesalahan menurut prosedur hukum yang benar.
Kedua, hak dasar akan keselamatan keyakinan. Orang tidak bisa dipaksa untuk mengikuti suatu keyakinan, tetapi ia boleh berkeyakinan menurut pilihannya sendiri dalam hal agama. Ketiga, hak dasar mengenai kesucian keturunan dan keselamatan keluarga. Wanita juga ikut di dalam hak itu, pria maupun wanita sama-sama mempunyai hak dasar yang sama akan keselamatan pribadi (milk al-fardi), setiap orang memiliki harta pribadi yang tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh diutak-atik oleh siapa pun. Misalnya harta yang ada di laci saya, siapa pun tidak boleh membuka, termasuk istri saya, tanpa seizin saya, sebagai pemilik.
Keempat, hak akan keselamatan profesi atau pekerjaan. Satu hak yang dengan sendirinya dimiliki oleh sekaligus pria dan wanita secara bersama-sama. Hak ini ada, baik di dalam Islam maupun dalam hak asasi manusia. Di sini kita melihat beberapa hal yang memang sama. Ada beberapa hak asasi wanita yang masuk dalam kategori hak asasi yang masih dipersoalkan dalam Islam. Dan pembahasan saya akan difokuskan pada masalah-masalah yang masih kontroversial itu.
Menurut pengertian hak asasi, wanita dan pria memiliki derajat dan status yang sama dengan pria. Wanita dan pria memiliki persamaan hak, kewajiban, dan kesamaan kedudukan. Tapi masalah ini sering dikacaubalaukan dengan pernyataan bahwa Islam menentang persamaan hak. Dalam Islam memang, lelaki dan wanita tidak sama, lelaki punya hak lebih banyak dan boleh jadi hal ini sama dengan pengertian antropologis. Terminologi ayat “arrijalu qawwammuna” asasi manusia. Tetapi yang terpenting ‘ala an-nisa’, sebenarnya antropologis. Diputar balik, pria memang qawwam. Lebih tegar, lebih bertanggung jawab atas keselamatan wanita daripada sebaliknya. Pengertian antropologis bisa juga berlaku dalam terminologi psikologis, yaitu pria melindungi wanita sebagai makhluk yang dianggap lemah. Tetapi ada kekuatan pada wanita, yakni ia bisa memilih pria. Misalnya, seorang mahasiswi yang ingin diantar pulang karena kemalaman, maka wanita bisa memilih siapa yang mengantar si A atau si B. Artinya, dalam kelemahannya itu, wanita memiliki kedudukan yang lebih kuat.
Di muka undang-undang, wanita dan pria memiliki persamaan hak dan derajat. Tetapi yang harus dicatat, bahwa hal itu merupakan perlakuan konstitusional, bukan persamaan yang sifatnya teologis. Misalnya, jangan menyerahkan urusan-urusan penting kepada wanita, maka pandangan seperti itu mungkin terjadi secara teologis (‘aqidy, I’tiqody). Tetapi secara konstitusional, konstitusi negara mana pun memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan wanita. Di sini kita melihat perbedaan antara cara melihat persamaan hak, derajat, dan status di muka hukum lebih penting daripada yang lain. Di negara kita juga demikian halnya, undang-undang tidak membedakan lelaki dan wanita.
Kini kita melihat kepada Islam. Secara normatif ada yang di dalam fiqh dan ada yang ada di dalam akhlak, bahkan mungkin juga di dalam tasawuf atau pada I’tiqody (keyakinan). Bisa saja hal itu berbeda dengan hak asasi manusia. Tetapi yang terpenting adalah apakah dalam masyarakat kaum muslimin, kedudukan wanita dan pria sama di muka hukum. Jika dikatakan “Jangan serahkan urusan penting pada wanita”. Saya punya argumentasi bahwa hadis semacam itu hanya berlaku pada zamannya. Karena masa lampau—jika dikembalikan kepada masalah pemerintahan—adalah model suku atau masyarakat suku. Dalam masyarakat seperti itu, kedudukan kepala suku adalah segala-galanya. Dia pemberi hukum, pemimpin peperangan, pengatur ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak dan keamanan terkumpul dalam diri satu orang.
Dengan kata lain kepemimpinan dipersonalkan, dijadikan kepribadian dan melekat pada pribadi pemimpin. Pantas saja dalam keadaaan demikian, hadis itu keluar. Apalagi bila melihat realitas kesejarahannya, masyarakat kabilah pada waktu itu saling berjarahan, merampas, memburu satu dengan yang lain, untuk menyerang lelaki dan membunuhnya, serta wanita bisa dirampas dan diboyong ke tempat musuh.
Sekarang, zaman kepemimpinan negara tidak lagi dipersonalkan. Presiden Soeharto misalnya, ia sebagai kepala negara, tapi ia tidak bisa membuat undang-undang sendiri. Ada DPR, ada yudikatif yang melaksanakan undang-undang. Kepemimpian sudah dilembagakan dan dikolektfikan. Kita ambil contoh sekarang di Pakistan dengan PM Benazir Butto, ia Perdana Menteri wanita dan tidak ada maalah. Secara protokoler ia adalah seorang PM, pemerintahannya presiden. Undang-Undang baru sah kalau presiden yang tanda tangan. Lalu mana yang dijadikan patokan? Posisinya Benazair Butto sebagai PM yang sifatnya posisi politis, ataukah presiden sebagai penandatangan undang-undang dalam posisi yuridis. Di sini bila kita mempersoalkan kepemimpinan negara dalam kaitannya dengan wanita, sepanjang menyangkut ajaran Islam, sudah tidak relevan lagi kalau kita menggunakan norma-norma yang ada dalam fiqh yang masih kita pegangi sekarang ini.
Kondisi sosial dan budayanya sudah berubah total. Saya bisa menunjukan dalam hal norma yang ditetapkan dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Syarat dari seorang qadi (hakim) yang empat itu di antaranya adalah lelaki (dzukur). Tetapi di Indonesia Menteri Agama, para kiai NU dan pesantren, yang berpegang pada fiqh justru memutuskan bahwa Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHA) boleh menerima siswi-siswi wanita. Ini artinya mereka memperoleh ijazah-ijazah dan dibolehkan untuk menjadi juru hakim agama. Dan lama kelamaan menjadi hakim agama. Hal itu berlanjut ke Fakultas Syariah Jurusan Qadha, yang menjadi sumber utama dari para hakim agama kita. Fenomena selanjutnya, seperti tampak sekarang ini banyak wanita-wanita yang menjadi hakim di pengadilan agama. Orang Saudi Arabia bingung melihat hal ini, demikian juga orang Mesir. Sementara di Mesir sampai sekarang wanita tidak boleh membaca tilawatil Qur’an dengan suara keras.
Dari sudut pandang yuridis atau sudut pandang konstitusional apa yang terjadi di Indonesia, wanita dan pria yang kedudukannya sama itu tidak mengurangi keislaman mereka. Untuk beberapa hal yang sifatnya cabang, memang terjadi ketidaksamaan tetapi ada hal lain yang umum juga, yakni persamaan di muka undang-undang. Memang seluruh produk legal kita—kitab fiqh dll—bisa sangat tinggi memenangkan pria terhadap wanita. Di sini, jika ingin dibuat fiqh Indonesia, maka entry point-nya harus dari soal ini. Artinya, melalui fiqh yang melihat kenyataan wanita boleh menjadi guru agama, hakim agama, menjadi presiden. Kenyataan paling niscaya dalam hal waris, banyak orang melaksanakan al-washiyat al-wajibah. Sebelum meninggal ahli waris mendapat bagian yang jumlahnya sama pria dan wanita, kemudian sisanya yang sedikit setelah meninggal, baru harta warisan itu dibagi secara Islam.
Dengan kata lain, masyarakat memang menghindar dari fiqh formal, dan mereka membuat fiqh mereka sendiri. Itu apa artinya? Wanita di Indonesia mendapat hak-hak sendiri setelah tentunya melalui perjuangan yang berat. Kasus harta warisan misalnya, yang di kampung-kampung harta ini merupakan segalanya. Demi harta warisan seringkali keluarga bentrok, dan fiqh dijadikan “alat” menindas. Tetapi di kota-kota yang anak-anaknya sudah dibekali profesi ilmu, mereka tidak memikirkan harta warisan lagi. Mau dibagi rata atau cara lain sebelum orang tua mereka meninggal, tidak masalah. Dan disisakan sedikit untuk kemudian dibagi menurut fiqh formal (fara’id), juga tidak masalah. Maka kalau kita lihat di dalam praktik, bias-bias yang memenangkan pria atas wanita, oleh keadaan juga berubah dengan sendirinya.
Sekarang ini perubahannya sudah sangat jauh. Di Saudi Arabia contohnya yang kerja adalah lelaki, perempuan di sana sebagai “mesin pembuat anak,” selalu di rumah dan tidak ada kegiatan lain. Tetapi pria di sana memegang kewajiban. Mereka mengerjakan pekerjaan keluarga, seperti belanja dan segala keperluan keluarga. Semua suami yang melakukan. Suami di sana konsekuen dengan kewajibannya. Sementara di Indonesia tidak ada fenomena semacam itu. Perbedaannya suami membebaskan istri, mau ke luar rumah atau di dalam rumah boleh saja. Berbeda dengan di Arab Saudi, istri tidak boleh keluar. Di Indonesia ini kalau perlu istri juga kerja. Ini artinya fiqh Indonesia ini sudah berjalan dan sudah menjadi fenomena umum. Ibu-ibu yang jualan tempe, tahu dsb di pasar, dan bapaknya mencangkul di sawah. Dan itu menjadi pemandangan umum sehari-hari di Indonesia. Maka hukum khalwat (bersepi-sepi) di Indonesia juga berubah, wanita pria boleh tidak kumpul di satu tempat, atau wanita berangkat tanpa dikawal suaminya atau anaknya? Boleh saja.
Lalu hujjah-nya bagaimana? Berbeda dengan jaman dulu, sekarang situasi dan kondisinya aman. Orang jualan di pasar aman, di ruang kelas aman, maka campur wanita dan pria di kelas tidak masalah. Sekarang di Indonesia sudah banyak pria yang menggantungkan kepada istri dalam penghasilan, meskipun memang hal ini juga menimbulkan banyak eksesnya. Termasuk di sini adalah meningkatnya hubungan seksual di luar nikah, terutama wanita karir.
Lalu bagaimana menanggulanginya, ini adalah masalah lain lagi. Penanggulangan masalah ini sangatlah kompleks. Karena ia menyangkut soal etika, moral, ekonomi, dan pekerjaan. Ada suami yang biar selesai kuliah di kedokteran, memperbolehkan dan bahkan menyuruh istrinya melacur. Tetapi ini bukan ukuran umum. Ukuran umumnya wanita karir di Indonesia baik adanya. Saya banyak punya kenalan wanita karir. Mereka sering datang, antara lain Lili Munir, seorang pengarang, ia bikin cerita “Rumah Besar”. Trilogi tentang seorang pengusaha tampan yang dikejar-kejar wanita cantik akhirnya tergaet, tapi ujungnya tidak jadi, lalu ia kembali ke istrinya. Istrinya sabar dan memaafkannya. Dia bertanya sama saya, “Apa citra wanita yang begini baik atau buruk?” Saya jawab ini wanita mulia yang bisa memaafkan pasangannya. Terus dia bertanya lagi, “Apa itu tidak berarti menunjukan wanita Indonesia itu lemah?” Jawab saya sama saja. Kalau seandainya ada istri yang tidak karuan, maka suaminya harus mengerti. Harus mawas diri dan terus hidup bersama. Ini pandangan saya.
Dalam realitas sosial, kita melihat bahwa pengertian-pengertian fiqh mengenai kedudukan dan posisi wanita mengalami perubahan-perubahan dengan sendirinya, baik menyangkut waris maupun lainnya. Pertanyaan kita kemudian adalah apakah akan sampai pada masalah hilangnya lembaga rumah tangga? Bolehkah orang kumpul kebo? Bolehkah wanita kawin dengan sejenisnya?
Hemat saya, masalah kumpul kebo tidak sama dengan lesbi atau gay, sebab kumpul kebo merupakan penyakit sosiologis. Kalau di satu tempat banyak orang kumpul kebo dibiarkan, maka akan semakin banyak. Dengan demikian, kumpul kebo akan semakin banyak. Tetapi kalau diberantas akan hilang. Dengan demikian kumpul kebo sesungguhnya bukan merupakan penyakit menetap yang memerlukan pengobatan khusus tetapi cukup diberantas dengan cara meningkatkan kebiasaan masyarakat untuk mengontrol lingkungannya. Di sini akhirnya kembali ke kita juga, kalau kita percaya kepada kesucian rumah tangga maka kita tegaskan ukuran-ukuran keluarga dan bagi mereka yang kumpul kebo, kita minta untuk berkeluarga.
Mengapa hal itu penting? Karena kumpul kebo banyak menyangkut urusan-urusan legal seperti yuridis, sosiologis, dan sebagainya. Bisa saja misalnya sudah kumpul kebo sekian tahun tiba-tiba lelakinya minggat tanpa ada perlindungan terhadap wanitanya. Nah di sini, pentingnya kita menegaskan ukuran-ukuran keluarga itu tidak lain untuk menjaga agar wanita tidak menjadi korban.
Kemudian soal gay dan lesbi. Lesbi dan gay itu masalah sakit jiwa. Kita tidak bisa bilang anti atau tidak anti kepada mereka, karena yang melakukan itu orang sakit. Saya berani berhadapan dengan siapa pun, termasuk lesbian sendiri, untuk mengatakan bahwa mereka orang sakit. Jangankan lesbi-nya, bagi mereka yang merasa dirinya waria, wanita dan pria, bagi saya, itu sudah termasuk penyakit.
Saya pernah dapat surat selebaran dari Semarang, seorang bernama AM, ia menggambarkan dirinya seperti Merriam Bellina. Ia mengirimkan surat berisi pledoi dia tentang dirinya sebagai waria. “Tidak semua waria itu tomboi, tidak semua berakhlak bejad, ada waria yang berakhlak luhur. Tetapi memang sudah kodratnya ia memiliki dua identitas. Saya tidak sombong, banyak lelaki bertekuk lutut di hadapan saya, tetapi saya tidak mau melayani…,” tulisnya. Terhadap yang begini ini, kita tidak bisa memakai hukum umum, dan harus menggunakan hukum khusus. Kenapa? Karena pada dasarnya lesbianisme—penyimpangan seksualitas—adalah hal yang tidak wajar dan tidak kodrati. Dan hal itu sudah terjadi sejak Nabi Luth.
Lesbi dan homoseks merupakan problem sosial. Dan bagi saya, kalaulah sekarang mereka menuntut haknya, tetapi sebenarnya hak itu tidak kodrati sebagai kemanusiaan. Manusia diciptakan untuk bereproduksi. Kalau kita melihat al-Qur’an ada dua ayat yang menunjukan bahwa manusia mempunyai tugas reproduksi (ijabin nasl). “Ya ayyuhan an-nas ittaqu robbakum alladzi kholaqakum min nafsin wahidah wa khalaqa minha zaujaha wa batstsa minhuma rijalan katsira wa nisa.” Fungsi reproduksi ini sudah mutlak dalam diri manusia, lalu ada manusia yang kawin tetapi tidak ingin mempunyai anak, maka sebenarnya itu tidak kodrati. Tetapi apa hal ini tidak boleh? Jawaban saya boleh-boleh saja, karena tidak ada kewajiban punya anak. Tetapi ia rugi sendiri. Kecuali ia punya alasan yang membuat dia tidak bisa mempunyai anak. Dan jika ada suami istri sudah memilih tidak punya anak, lantaran meniti karir masing-masing di tempat yang berlainan, maka hal itu sudah masalah perorangan. Artinya hukumnya tidak lagi pakai hukum umum (am’) tetapi hukum khusus (khas).
Dengan demikian orang gay atau lesbi berarti menyalahi kodrat kemanusiaan, di samping juga kodrat manusia yang lain, seperti kodrat menciptakan keluarga yang mawaddah wa rahmah. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyatakan; “waja’alna bainakum mawaddatan wa rahmah”. Artinya uruslah keluargamu dengan mawaddah wa rahmah. Rahmah di sini artinya ikatan, persambungan tali, dan itu terjadi dalam keluarga yang didahului oleh kasih sayang antara suami dan istri. Dari sini kemudian akan muncul tali yang mengikat anak-anak mereka, tali yang mengikat keluarga besar kedua belah pihak serta mengikat masyarakat.
Dari ayat di atas menunjukan bahwa dari awalnya saja Allah sudah menurunkan mawaddah dan rahmah ini sebagai konteks sosial dalam hubungan pria dan wanita di dalam Islam. Jadi kalau pakai untuk melihat lesbi, homoseksual, jelas tidak akan tercapai mawaddah mungkin bisa dicapai tetapi rahmah tidak.
Persamaan hak antara wanita dan pria itu ada dan perlu seperti hak-hak dipersamakan di muka undang-undang, tetapi yang harus dicatat, kodrat manusia itu bukan kodrat wanita saja. Wanita itu dalam kodrat kemanusiaan bersama-sama dengan pria membentuk keluarga agar bisa melaksanakan reproduksi keturunan, di samping menciptakan ikatan-ikatan sosial yang langgeng atas dasar kekeluargaan.
Pandangan ini sangat penting untuk dijadikan paradigma dalam merumuskan pandangan Islam mengenai hak-hak asasi wanita. Pandangan seperti ini tidak dimaksudkan untuk menghukum lesbianisme dan homoseksual. Bagi kita lesbianisme dan homoseksualitas itu problem, dan aneh jadinya jika sesuatu yang merupakan problem itu dihukum. Tetapi bagaimana jalan keluarnya kita cari. Terus terang saja saya tidak setuju, jika para lesbian dan homoseksual itu dituding-tuding, dimarahi, diancam, dll. Mengapa? Cara seperti itu tidak memecahkan masalah. Dan jalan keluar untuk pemecahan masalah itu harus secara konsultatif dan berangsur-angsur.
Kembali ke soal persamaan hak, sekarang gerakan emansipasi wanita itu pada ujungnya—seperti tampak sekarang gerakan feminisme itu lalu mengarah kepada persamaan yang mutlak—menuntut kebebasan yang mutlak bagi wanita dan pria. Tetapi yang harus dicatat kebebasan mutlak itu hanya ada dalam angan-angan dan ilusi manusia.
Pada umumnya manusia itu saling memerlukan satu sama lain, hal itu biasanya terjadi antara pria dan wanita. Wanita memerlukan kasih sayang untuk mengasihi dirinya, menopang dan membuat dirinya memenuhi kodrat kewanitaannya, bukan kodrat itu malah disimpannya. Dari situ lalu ia mengembangkan karir dan agar bisa lancar wanita memerlukan mitra hidup yang mampu memahaminya.
Saya pernah menjadi konsultan di Wisma Panca Warga di Jl. Kusuma Atmaja. Saya akan kemukakan satu soal yang relevan dengan pembicaraan ini. Ada seorang istri pusing sekali, suaminya pejabat tinggi yang masih sama-sama muda. Istrinya berparas cantik dan sang suami ganteng. Ia dikaruniai anak dua. Suami mengejar karir dan pulangnya pukul 19.00-20.00 karena kerja keras, dan untuk itu ia bergaji besar. Problemnya, ketika pukul 22.00 ketika istri pergi ke pembaringan, suami sudah tidur. Pukul tiga pagi ganti suami yang bangun, dan istri dibangunin untuk berhubungan intim. Istrinya nurut saja. Tetapi karena ia memiliki pemahaman agama yang rigid jadi takut, ketakutan karena sebentar lagi azan subuh. Dia kuatir kalau subuhnya ketinggalan waktu karena dia harus mandi besar terlebih dahulu. Di sini soal agama menjadi pertimbangan. Ia bingung lalu pergi ke Wisma Panca Warga, lalu para dokter di situ melempar ke saya untuk memberi jawaban. Saya bilang, secara agama, jika kamu sedang dalam keadaan junub, habis bersenggama, lalu ada waktu salat masuk maka kamu tidak wajib salat sampai selesai mandi besar. Hal-hal semacam ini menunjukan kodrat pria dan wanita itu saling memerlukan, utamanya dalam konteks perkawinan. Suami dan istri terus menerus saling memerlukan satu sama lain, kecuali rumah tangganya macet.
Satu hal lagi perlu dibahas dalam soal hak asasi manusia, adalah makna dari “matsna”, “tsulatsa” dan “ruba”. Yaitu pengertian al-Qur’an tentang “wain khiftum alla ta’dilu fawahidah”. Pertanyaannya, siapa yang menentukan keadilannya? Subyek atau obyek? Kita dibesarkan dalam tradisi bahwa obyek yang menentukan bukan subyek. Kalau pemerintah membangun, menggusur rumah rakyat kecil, kita protes, karena obyek pembangunan itu, yaitu rakyat tidak diikutkan menentukan. Kenapa dalam soal poligami tidak diberlakukan hal yang sama. Yaitu obyek yang menentukan bukan subyek. Jadi masalahnya adalah siapa yang menentukan keadilan? Terang di sini wanita yang harusnya menentukan. Karena itu maka dalam undang-undang perkawinan kita ditentukan bahwa istri pertama harus memberikan ijin tertulis. Itu saja terkadang tidak adil karena wanitanya terpaksa.
Penyadaran tentang hak-hak wanita perlu dilakukan terutama ditujukan pada kalangan pria. Pria selama ini punya previledge sangat tinggi, dan tidak ingin kehilangan previledge tersebut dan wajar ia tidak mau kehilangan posisi dominannya. Untuk itu kita harus berhati-hati dalam kampanye ini, seringkali upaya ini terganggu oleh sikap wanita sendiri yang sok menggurui. Sehingga membuat pria tetap ngotot, tidak peduli, apriori.
Saya ambil contoh saudari Julia Suryakusuma, isterinya Ami Priyono (teman SD saya). Keduanya akrab dengan saya dan bahkan sering ngobrol-ngobrol. Tetapi Julia ini sekarang begitu keras. Saya pernah guyon di Bentara Budaya tentang feminisme. Saya bilang kita ini kondisinya sudah didominasi oleh pria, jadi berat perjuangannya.
Saya ambil contoh suatu sikap stereotipe tentang wanita Marlyn Monroe (bintang film cantik sepanjang masa) ketemu dengan Dr. Einstein, ahli atom. Marlyn bilang: “Prof, kalau kita kawin dan punya anak alangkah indahnya itu. Otaknya seperti Anda wajahnya seperti saya”. Jawab Einstein: “Itu memang bagus, tapi saya khawatir terbalik, mukanya seperti saya otaknya seperti Anda”. Kemudian Julia marah sekali. Dia bilang saya punya bias terhadap wanita. Ini stereotype yang ada sampai hari ini, dan lama-lama simpati saya terhadap gerakan feminis berkurang gara-gara Julia. Padahal saya ingin menunjukan di sinilah titik yang krusial, pria itu masih merasa dominan, bisa mengagendakan wanita sementara wanita tidak bisa memasukkan pria dalam agenda pembicaraan mereka.
Di sini, di samping dilakukan penyadaran terhadap pria, di sisi lalu juga pihak wanita harus dibuat sebijaksana dan selancar mungkin. Kita memang memerlukan bahasa yang halus dan lancar untuk komunikasi, maka itu artinya resistensi terhadap usaha perjuangan gerakan feminisme dalam ukuran saya memang sah. Jadi lakukanlah upaya penyadaran tapi dengan sangat hati-hati.
Masalah hak-hak asasi juga ada kaitannya dengan pembangunan di Indonesia. Pembangunan kita ini memang mencerminkan bias kecenderungan-kecenderungan yang salah. Pertama, pembangunan dianggap milik pemerintah. Bias-bias ini implikasinya merugikan wanita, yaitu tidak mendukung kedudukan wanita yang tinggi. Ini perlu mendapat koreksi. Wanita desa itu kasihan sekali, sangat berat tugasnya untuk sekadar bisa survive.
Kedua, besarnya kesenjangan antara ajaran Islam dengan kenyataan, memang ada tembok yang sangat besar dan tembok ini mendapat legitimasi dari agama itu sendiri. Karena pandangan syariah sudah menjadi patokan tunggal semenjak berabad-abad lamanya. Tidak seperti zaman abad I-III-IV Islam, di mana syariah itu diletakkan dalam imbangan yang pas dengan tauhid. Sekarang tauhid tidak berfungsi. Kalau tauhid saja tanpa syariah, akan susah. Tariqah saja, jika syariah bilang tidak bisa, ya tidak bisa. Akibatnya, tidak diakui orang. Jadi terlalu berat kepada syariah, dan akibatnya normatif sekali cara penanganan hubungan antarmanusia dalam Islam, termasuk masalah kedudukan wanita. Pendekatannya harus dibuat pendekatan yang tidak terlalu berat kepada satu sisi. Tugas para penulis, pemerhati, dan para ulama, bagaimana memekarkan wawasan dan cakrawala mengenai wanita. Dari situ, baru akan ada pengakuan terhadap posisi wanita dalam Islam secara wajar.
Kalau tidak, maka tidak mungkin terjadi. Belum lagi kalau terjadi salah paham. Ada seorang haji Cengkareng, ia bilang, “Marsinah sih, tidak mau masuk majelis taklim. Kalau mau masuk majelis taklim enggak mati konyol dia”. Dia mengira jalan ke surga hanya melalui majelis taklim. Ini sudah salah paham paling besar. Seolah menjadi antariksawati seperti ibu Pratiwi Sudarmono itu kalah hebat, kurang islami dibanding dengan pekerjaan menjadi ustadzah. Cara pandang seperti ini perlu diubah. Kiai tidak kiai sama saja, yang penting fungsinya, bukan posisinya.
Tulisan ini diambil sepenuhnya dari buku Islam Kosmopolitan, hlm 374-387
Sumber: santrigusdur.com