Pada suatu hari, penulis membeli buku di Gladak (Solo). Buku itu berwarna hijau, terbitan Kanisius, Jogjakarta. Buku berjudul Harta dan Surga: Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern (1990) dengan editor A Budi Susanto.
Buku terbaca, setelah penulis khatam buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam (Ahmad Wahib). Buku itu juga berwarna hijau. Oh, hijau di buku bertema Islam dan Jesuit.
Dua buku itu penulis beli dalam kondisi bekas, berharga murah. Sekian tahun lalu, Ahmad Wahib sering terucap dalam obrolan penulis bersama teman-teman di Solo. Penulis tak ada keinginan meniru kebiasaan Ahmad Wahib menulis catatan-catatan harian. Penulis cuma kecipratan girang membaca berita atau artikel bertema agama di majalah Tempo, dari masa ke masa. Dulu, Ahmad Wahib menjadi wartawan di Tempo.
Di Jogjakarta, Ahmad Wahib kuliah dan mengadakan komplotan diskusi. Ia tinggal di Asrama Realino. Romo Stolk memberi kesaksian pendek mengenai Ahmad Wahib di Asrama Realino. Pada suatu hari, Romo Stolk ke Jakarta bertemu Chris Verhaak, pengajar STF Drijarkara.
Ia bilang: “Ahmad Wahib tidak pernah akan menjadi Katolik/Kristen; tetapi ia akan menjadi orang Islam yang amat baik karena keterbukaannya dan usahanya yang ikhlas dan jujur untuk menyerap sebanyak mungkin nilai kristiani demi pengembangan atau penyegaran iman Islam yang dicintai dan disayanginya.”
Ahmad Wahib betah di Asrama Realino. Ia senang menghuni kamar di pojok, bersua alam. Pada tempat membentuk biografi iman dan keintelektualan, ia menggubah puisi, 31 Oktober 1964: Dalam hujan rintik-rintik begini,/ Kutatap cahaya lampu di sela-sela daun cemara/ Realino, kapankah alammu yang indah itu/ akan bisa kunikmati lagi.
Ia memang harus pergi. Pada 1973, ia pergi menghadap Tuhan, mewariskan segala tulisan. Terbitlah menjadi buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES, 1981). Buku itu terbit, menggegerkan pelbagai kalangan. Pada 1981, penulis pun terbit alias lahir tapi tak menimbulkan gegeran. Ia menunggu belasan tahun untuk bertemu dan khatam buku bekertas buram.
Ahmad Wahib teringat lagi di abad XXI gara-gara membuka Tempo edisi-edisi lama. Tempo, 19 September 1981, memuat resensi dari pembaca ampuh bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di halaman 28-29, resensi bersanding iklan Sakatonik Liver. Iklan bagi orang merasa “badan lemah, mudah lelah, kurang darah, tidur susah”. Pembuat iklan lupa mencantumkan:
“Untuk orang merasa lemah iman atau lelah pikiran.” Eh, Gus Dur memberi judul resensi pamer kekuatan: “Bak Tukang Batu Menghantam Tembok.”
Kita pastikan Gus Dur saat menulis resensi dalam kondisi sehat, belum wajib minum Sakatonik Liver. Gus Dur itu pembaca dan penulis ampuh. Baca saja buku garapan Greg Barton (2003).
Gus Dur galak dalam meresensi: “Di sinilah harus disayangkan kegagalan kata pengantar Prof Dr A Mukti Ali dan pendahuluan Djohan Effendi. Sebagai bekas pembimbing intelektual-keagamaan dan kawan terdekat Ahmad Wahib, seharusnya kedua orang tersebut menjelaskan secara rinci aspek-aspek pergulatannya yang tidak tertangkap orang lain.” Wah, peresensi mengajukan tuntutan dan kritik! Penulis rela berhenti lama di dua kalimat Gus Dur:
“Pemberontakan yang dilakukannya justru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya itu. Bak tukang batu yang menghantamkan palunya ke tembok, untuk menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut.” Kita akui judul resensi itu keren, sulit ditandingi. Isi resensi agak keren saja. Penulis membuktikan kaitan omongan Romo Stolk dan resensi Gus Dur. Begitu.
Sumber: alif.id